Bolehkah Berdzikir Menggunakan Tasbih dan Tasbih Digital
Tasbih adalah alat yang dibuat berdzikir yang sekarang beragam bentuk, mulai dari kayu, beling, bahkan yang berbentuk digital (angka). Berdzikir dengan tasbih tidak termasuk perbuatan bid'ah dan dibolehkan asal tidak bermaksud riya dalam ibadah.
Rasulullah saw bersabda :
يَا نِسَاءَ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلَيْكُنَّ باِلتَّهْلِيْلِ وَالتَّسْبِيْحِ وَالتَّقْدِيْسِ
وَلاَ تَغْفُلْنَ فَتَنْسِيَنَّ الرَّحْمَةَ وَاعْقُدْنَ بِاْلأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُوْلاَتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ (أخرجه أحمد رقم 27134 والطبرانى رقم 180 وأبو داود رقم 1501 والترمذى رقم 3583)
“Wahai wanita Mukminat, lakukanlah tahlil, tasbih dan taqdis. Janganlah kalian lupa, maka kalian lupa pada rahmat. Hitunglang dengan jar-jari. Sebab jari akan ditanya dan diminta jawaban” (HR Ahmad 27134, Thabrani 180, Abu Dawud 1501 dan turmudzi 3583)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan : “Menghitung tasbih dengan jari itu dianjurkan (disunnahkan). Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para wanita, “Bertasbihlah dan hitunglah dengan jari karena sesungguhnya jari jemari itu akan ditanyai dan diminta untuk berbicara.”
Jari-jari tangan merupakan alat untuk memudahkan menghitung jumlah dzikir. namun bukan berarti menggunakan selain jari tangan tidak boleh. Sebab ada sebuah hadits:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan : “Menghitung tasbih dengan jari itu dianjurkan (disunnahkan). Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para wanita, “Bertasbihlah dan hitunglah dengan jari karena sesungguhnya jari jemari itu akan ditanyai dan diminta untuk berbicara.”
Jari-jari tangan merupakan alat untuk memudahkan menghitung jumlah dzikir. namun bukan berarti menggunakan selain jari tangan tidak boleh. Sebab ada sebuah hadits:
عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِى وَقَّاصٍ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللهِ عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ فَقَالَ أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ فَقَالَ «سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِى السَّمَاءِ وَسُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِى الأَرْضِ وَسُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ بَيْنَ ذَلِكَ وَسُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ وَاللهُ أَكْبَرُ مِثْلُ ذَلِكَ وَالْحَمْدُ لِلهِ مِثْلُ ذَلِكَ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مِثْلُ ذَلِكَ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ مِثْلُ ذَلِكَ ». رواه ابو داود والنسائي والترمذي والطبراني فى الدعاء . (روضة المحدثين - ج 10 / ص 466) قال الحافظ ابن حجر : حسن ( نتائج الأفكار 77/1 )
“Diriwayatkan dari Sa’ad Abi Waqqash bahwa Rasulullah masuk ke (tempat) seorang wanita yang di depannya ada 4000 kerikil yang digunakannya untuk membaca Tasbih. Kemudian Rasulullah Saw mengajarkan bacaan Tasbih….” (HR Abu Dawud, Nasai, Turmudzi dan Tabrani)
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Sanadnya hasan” (Raudlatul Muhadditsin 10/466). Dan disahihkan oleh al-Hakim, al-Hafidz adz-Dzahabi dan al-Hafidz as-Suyuthi
Hadits ini diperkuat oleh Atsar Abu Hurairah:
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Sanadnya hasan” (Raudlatul Muhadditsin 10/466). Dan disahihkan oleh al-Hakim, al-Hafidz adz-Dzahabi dan al-Hafidz as-Suyuthi
Hadits ini diperkuat oleh Atsar Abu Hurairah:
عَنْ نُعَيْمِ بْنِ الْمُحَرَّرِ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ جَدِّهِ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّهُ كَانَ لَهُ خَيْطٌ فِيْهِ أَلْفَا عُقْدَةٍ فَلاَ يَنَامُ حَتَّى يُسَبِّحَ بِهِ (حلية الأولياء لابي نعيم الحلية الاولياء - ج 1 / ص 383)
“Diriwayatkan bahwa Abu Hurairah memiliki tali yang terdiri dari 2000 ikatan (bundelan). Beliau tidak tidur sampai bertasbih dengannya” (Abu Nuaim, Hilyat al-Auliya’ 1/383)
Ibnu Sa’d meriwayatkan Atsar yang lain:
Ibnu Sa’d meriwayatkan Atsar yang lain:
عَنْ حَكِيْمِ بْنِ الدَّيْلَمِي أَنَّ سَعْدًا كَانَ يُسَبِّحُ بِالْحَصَي (الطبقات الكبرى ج 3 / ص 143)
“Dari Hakim ad-Dailami bahwa Sa’d bin Abi Waqqash bertasbih dengan kerikil” (Thabaqat al-Kubra 3/143)
Perselisihan tentang Tasbih
Para ulama berselisih menjadi 3 pendapat besar tentang penggunaan tasbi untuk berdzikir.
Pertama, Sebagian ulama membolehkannya. Inilah pendapat yang Umum
Berkata Ibnu Nujaim Al Hanafi dalam kitab
al Bahri al Râiq sebagai komentar terhadap Hadits Nabi tentang
berdzikir dengan biji-biji tasbih:
قَوْلُهُ لَا بَأْسَ بِاِتِّخَاذِ
الْمِسْبَحَةِ ) بِكَسْرِ الْمِيمِ : آلَةُ التَّسْبِيحِ ، وَاَلَّذِي فِي
الْبَحْرِ وَالْحِلْيَةِ وَالْخَزَائِنِ بِدُونِ مِيمٍ )
قَالَ فِي الْمِصْبَاحِ : السُّبْحَةُ خَرَزَاتٌ مَنْظُومَةٌ ، وَهُوَ يُقْتَضَى كَوْنَهَا عَرَبِيَّةً
وَقَالَ الْأَزْهَرِيُّ : كَلِمَةٌ مُوَلَّدَةٌ ، وَجَمْعُهَا مِثْلُ غُرْفَةٍ وَغُرَفٍ.ا هـ
وَالْمَشْهُورُ شَرْعًا إطْلَاقُ السُّبْحَةِ بِالضَّمِّ عَلَى النَّافِلَةِ
قَالَ فِي الْمُغْرِبِ : لِأَنَّهُ يُسَبَّحُ فِيهَا
وَدَلِيلُ الْجَوَازِ مَا رَوَاهُ أَبُو
دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ
وَقَالَ صَحِيحَ الْإِسْنَادِ عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ { أَنَّهُ
دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى
امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ فَقَالَ :
أُخْبِرُك بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْك مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ ؟ فَقَالَ
: سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ ، وَسُبْحَانَ
اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الْأَرْضِ ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا
بَيْنَ ذَلِكَ ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ ؛
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ مِثْلُ ذَلِكَ ، وَاَللَّهُ أَكْبَرُ مِثْلُ ذَلِكَ ،
وَلَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ مِثْل ذَلِكَ ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ
إلَّا بِاَللَّهِ مِثْلُ ذَلِكَ } : فَلَمْ يَنْهَهَا عَنْ ذَلِكَ .
وَإِنَّمَا أَرْشَدَهَا إلَى مَا هُوَ
أَيْسَرُ وَأَفْضَلُ وَلَوْ كَانَ مَكْرُوهًا لَبَيَّنَ لَهَا ذَلِكَ ،
وَلَا يَزِيدُ السُّبْحَةُ عَلَى مَضْمُونِ هَذَا الْحَدِيثِ إلَّا بِضَمِّ
النَّوَى فِي خَيْطٍ ، وَمِثْلُ ذَلِكَ لَا يَظْهَرُ تَأْثِيرُهُ فِي
الْمَنْعِ ، فَلَا جَرَمَ أَنْ نُقِلَ اتِّخَاذُهَا وَالْعَمَلُ بِهَا عَنْ
جَمَاعَةٍ مِنْ الصُّوفِيَّةِ الْأَخْيَارِ وَغَيْرِهِمْ ؛ اللَّهُمَّ
إلَّا إذَا تَرَتَّبَ عَلَيْهِ رِيَاءٌ وَسُمْعَةٌ فَلَا كَلَامَ لَنَا
فِيهِ
(Ucapannya: tidak mengapa
menggunakan misbahah) dengan huruf mim dikasrahkan adalah alat untuk
bertasbih, ada pun yang tertulis dalam Al Bahr, Al Hilyah, dan Al
Khazain adalah tanpa mim. Disebutkan dalam Al Mishbah: “Subhah adalah
manik-manik yang terangkai, kata ini menunjukkan bahwa ia adalah bahasa
arab asli. Al Azhari berkata: “Itu adalah kata yang muwalladah (tidak
asli Arab), bentuk jamaknya seperti ghurfah dan ghuraf.
Yang masyhur secara syariat adalah
penggunaaan subhah ini terdapat pada shalat sunnah. Disebutkan dalam Al
Maghrib: “karena dia bertasbih padanya.”
Ada pun dalil kebolehannya adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu
Hibban, dan Al Hakim, dia berkata: shahih sanadnya.
أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا
نَوًى أَوْ قَالَ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ فَقَالَ أَلَا أُخْبِرُكِ بِمَا
هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ
مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي
الْأَرْضِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا بَيْنَ ذَلِكَ وَسُبْحَانَ
اللَّهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ وَاللَّهُ أَكْبَرُ مِثْلَ ذَلِكَ
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا
بِاللَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ
“Bahwa dia (Sa’ad) bersama
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemui seorang wanita,
dan dihadapan wnaita itu terdapat biji-bijian atau kerikil. Lalu
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Maukah kau aku
beritahu dengan yang lebih mudah bagimu dari ini atau lebih utama? (Lalu
nabi menyebutkan macam-macam dzikir yang tertulis dalam teks di atas
..)[1]
Lalu katanya: “Nabi tidak
melarangnya. Beliau hanyalah menunjukkan cara yang lebih mudah dan
utama, seandainya makruh tentu Beliau akan menjelaskan hal itu kepada
wanita tersebut. Dari kandungan hadits ini, kita dapat memahami bahwa
subhah tidak lebih dari kumpulan bijian yang dirangkai dengan benang.
Masalah seperti ini tidak berdampak pada pelarangan. Maka, bukan pula
kesalahan jika ikut menggunakannya sebagaimana sekelompok kaum sufi yang
baik dan selain mereka. Kecuali jika didalamnya tercampur muatan riya
dan sum’ah, tetapi kami tidak membahas hal ini.[2]
Al Imam al Syaukani membahas hadits-hadits terkait biji-bijian tasbih dan berkomentar sebagai berikut
بأن الأنامل مسئولات مستنطقات يعني أنهن
يشهدن بذلك فكان عقدهن بالتسبيح من هذه الحيثية أولى من السبحة والحصى .
والحديثان الآخران يدلان على جواز عد التسبيح بالنوى والحصى وكذا بالسبحة
لعدم الفارق لتقريره صلى اللَّه عليه وآله وسلم للمرأتين على ذلك . وعدم
إنكاره والإرشاد إلى ما هو أفضل لا ينافي الجواز
“ … sesungguhnya ujung jari
jemari akan ditanyakan dan diajak bicara, yakni mereka akan menjadi
saksi hal itu. Maka, menghimpun (menghitung) tasbih dengan jari adalah
lebih utama dibanding dengan untaian biji tasbih dan kerikil. Dua hadits
yang lainnya, menunjukkan bolehnya menghitung tasbih dengan biji,
kerikil, dan juga dengan untaian biji tasbih karena tidak ada bedanya,
dan ini perbuatan yang ditaqrirkan (didiamkan/disetujui) oleh Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap dua wanita tersebut atas
perbuatan itu. Dan, hal yang menunjukkan dan mengarahkan kepada hukum
yang lebih utama tidak berarti menghilangkan hukum boleh.” [3]
Syaikh Abu al ‘Ala Muhammad Abdurrahmân bin Abdurrahîm Al Mubârakfûri Rahimahullah Beliau menerangkan dalam Tuhfah al Ahwâdzi, ketika menjelaskan hadits Ibnu Amr dan Yusairah binti Yasir, sebagai berikut :
وَفِي الْحَدِيثِ
مَشْرُوعِيَّةُ عَقْدِ التَّسْبِيحِ بِالْأَنَامِلِ وَعَلَّلَ ذَلِكَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَدِيثِ يَسِيرَةَ
الَّذِي أَشَارَ إِلَيْهِ التِّرْمِذِيُّ بِأَنَّ الْأَنَامِلَ
مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ يَعْنِي أَنَّهُنَّ يَشْهَدْنَ بِذَلِكَ ،
فَكَانَ عَقْدُهُنَّ بِالتَّسْبِيحِ مِنْ هَذِهِ الْحَيْثِيَّةِ أَوْلَى
مِنْ السُّبْحَةِ وَالْحَصَى ، وَيَدُلُّ عَلَى جَوَازِ عَدِّ التَّسْبِيحِ
بِالنَّوَى وَالْحَصَى حَدِيثُ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ أَنَّهُ دَخَلَ
مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى اِمْرَأَةٍ
وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ الْحَدِيثَ ،
وَحَدِيثُ صَفِيَّةَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ يَدَيَّ أَرْبَعَةُ آلَافِ نَوَاةٍ
أُسَبِّحُ بِهَا الْحَدِيثَ .
“Hadits ini menunjukkan
disyariatkannya bertasbih menggunakan ujung jari jemari, alasan hal ini
adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits Yusairah
yang diisyaratkan oleh At Tirmidzi bahwa ujung jari jemari akan
ditanyakan dan diajak bicara, yakni mereka akan menjadi saksi hal itu.
Dalam hal ini, menghitung tasbih dengan menggunakan ujung jari adalah
lebih utama dibanding dengan subhah (untaian biji tasbih) dan kerikil.
Dalil yang menunjukkan kebolehan menghitung tasbih dengan kerikil dan
biji-bijian adalah hadits Sa’ad bin Abi Waqqash, bahwa beliau bersama
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemui seorang wanita
yang dihadapannya terdapat biji-biji atau kerikil yang digunakannya
untuk bertasbih (Al Hadits). Dan juga hadits Shafiyah bin Huyai, dia
berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemuiku dan
dihadapanku ada 4000 biji-bijian yang aku gunakan untuk bertasbih. (Al
Hadits).” [4]
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullâh bin Baz Al Hambali Rahimahullah pernah ditanya tentang seseorang yang berdzikir setelah shalat menggunakan subhah, bid’ahkah?
Beliau menjawab :
المسبحة لا ينبغي فعلها ، تركها أولى
وأحوط ، والتسبيح بالأصابع أفضل ، لكن يجوز له لو سبح بشيء كالحصى أو
المسبحة أو النوى ، وتركها ذلك في بيته ، حتى لا يقلده الناس فقد كان بعض
السلف يعمله ، والأمر واسع لكن الأصابع أفضل في كل مكان ، والأفضل باليد
اليمنى ، أما كونها في يده وفي المساجد فهذا لا ينبغي ، أقل الأحوال
الكراهة
“Berzikir dengan subhah tidak
patut dilakukan, meninggalkannya adalah lebih utama dan lebih hati-hati.
Tetapi boleh baginya kalau bertasbih menggunakan kerikil atau misbahah
(alat tasbih) atau biji-bijian dan meninggalkan subhah tersebut
dirumahnya, agar manusia tidak mentaklidinya. Dahulu para salaf -pun
melakukannya. Masalah ini lapang, tetapi menggunakan jari adalah lebih
utama pada setiap tempat, dan utamanya dengan tangan kanan. Ada pun
membawanya ditangan ke masjid, sepatutnya jangan dilakukan, minimal hal
itu makruh.” [5]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin pernah ditanya tentang hadits: ‘Setiap bid’ah adalah sesat’, artinya tidak ada bid’ah kecuali sesat dan tidak ada bid’ah yang baik, bahkan setiap bid’ah adalah sesat.
Pertanyaan: apakah tasbih dipandang sebagai bid’ah? Apakah ia termasuk bid’ah yang baik atau yang sesat?
Beliau menjawab: tasbih tidak
termasuk bid’ah dalam agama, karena manusia tidak bertujuan beribadah
kepada Allah swt dengannya. Tujuannya hanya untuk menghitung jumlah
tasbih yang dibacanya, atau tahlil, atau tahmid, atau takbir. Maka ia
termasuk sarana, bukan tujuan.
Akan tetapi yang lebih utama darinya adalah bahwa seseorang menghitung tasbih dengan jari jemarinya:
- karena ia adalah petunjuk dari Nabi saw.[6]
- Karena menghitung tasbih dan yang lainnya dengan alat tasbih bisa membawa kepada kelalaian. Sesungguhnya kita menyaksikan kebanyakan orang-orang yang menggunakan tasbih, mereka bertasbih sedangkan mata mereka menoleh ke sana ke sini, karena telah menjadikan jumlah tasbih menurut jumlah yang mereka inginkan dari tasbihnya atau tahlilnya atau tahmidnya atau takbirnya. Maka engkau mendapatkan mereka menghitung biji-bii tasbih ini dengan tangannya, sedangkan hatinya lupa sambil menoleh ke kanan dan kiri. Berbeda dengan orang yang menghitungnya dengan jemarinya, maka biasanya hal itu lebih menghadirkan hatinya.
- Alasan ketiga: sesungguhnya menggunakan tasbih bisa membawa kepada riya. Sesungguhnya kita menemukan kebanyakan orang yang menyukai banyak bertasbih, menggantungkan di leher mereka tasbih yang panjang. Seolah-olah mereka berkata: lihatlah kepada kami, sesungguhnya kami bertasbih kepada Allah swt sejumlah bilangan ini. Aku meminta ampun kepada Allah swt dalam menuduh mereka seperti ini, akan tetapi dikhawatirkan terjadinya hal itu.
Tiga alasan ini menuntut manusia agar
meninggalkan tasbih dengan biji tasbih ini dan hendaklah ia bertasbih
kepada Allah swt dengan jari jemarinya.
Kemudian, sesungguhnya yang utama agar
menghitung tasbih dengan jari tangan kanannya, karena Nabi saw
menghitung tasbih dengan tangan kanannya, dan tanpa diragukan lagi yang
kanan lebih baik dari pada yang kiri. Karena inilah yang kanan lebih
diutamakan atas yang kiri. Nabi saw melarang seseorang makan atau minum
dengan tangan kirinya dan menyuruh manusia makan dengan tangan kanannya.
Nabi saw bersabda:
يَا غُلاَمُ, سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِيْنِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ
“Wahai gulam (anak kecil), bacalah bismillah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah yang dekat denganmu.”[7]
Dan beliau saw bersabda :
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ
فَلْيَأْكُلْ بِيَمِيْنِهِ وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِيْنِهِ
فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ
“Apabila seseorang darimu makan maka
hendaklah ia makan dengan tangan kanannya, dan apabila minum hendaklah
ia minum dengan tangan kanannya. Sesungguhnya syetan makan dengan tangan
kirinya dan minum dengan tangan kirinya.”[8]
Tangan kanan lebih utama dengan tasbih
daripada tangan kiri karena mengikuti sunnah dan mengambil dengan kanan.
Dan Nabi saw menyukai yang kanan dalam memakai sendal, bersisir,
bersuci dan dalam seluruh perkaranya. Atas dasar inilah, maka membaca
tasbih dengan alat tasbih tidak termasuk bid’ah dalam agama, namun hanya
sebagai sarana untuk mencatat hitungan. Ia merupakan sarana yang tidak
utama, dan yang utama darinya adalah menghitung tasbih dengan jemarinya.[9]
Kedua, sebagian ulama menganggapnya Mustahab
Imam Muhammad Abdurrauf Al Munawi Rahimahullah menjelaskan dalam kitab Faidhul Qadir Syarh Al Jami’ Ash Shaghir, ketika menerangkan hadits Yusairah:
وهذا أصل في ندب السبحة المعروفة وكان
ذلك معروفا بين الصحابة فقد أخرج عبد الله بن أحمد أن أبا هريرة كان له خيط
فيه ألفا عقدة فلا ينام حتى يسبح به وفي حديث رواه الديلمي نعم المذكر
السبحة لكن نقل المؤلف عن بعض معاصري الجلال البلقيني أنه نقل عن بعضهم أن
عقد التسبيح بالأنامل أفضل لظاهر هذا الحديث
“Hadits ini merupakan dasar
terhadap sunahnya subhah (untaian biji tasbih) yang sudah dikenal. Hal
itu dikenal pada masa sahabat, Abdullah bin Ahmad telah meriwayatkan
bahwa Abu Hurairah memiliki benang yang memiliki seribu himpunan, beliau
tidaklah tidur sampai dia bertasbih dengannya. Dalam riwayat Ad
Dailami: “Sebaik-baiknya dzikir adalah subhah.” Tetapi mu’allif (yakni
Imam As Suyuthi) mengutip dari sebagian ulama belakangan, Al Jalal Al
Bulqini, dari sebagian mereka bahwa menghitung tasbih dengan jari jemari
adalah lebih utama sesuai zhahir hadits.”[10]
Ketiga, Sebagian Ulama secara tegas melarang dan membid’ahkan penggunaan Tasbih untuk berdzikir.
Inilah yang masyhur dari pendapat al Imâm
al Albâni dan murid-muridnya. Pendapat Ini juga didukung oleh Syaikh
Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr. Bahkan syaikh Bakr Abu Zaid memiliki
risalah khusus yang menegaskan larangan menggunakan biji-bijian tasbih
dalam menghitung Dzikir.
Dalil-dalil mereka adalah sebagai berikut:
- Hal itu menyalahi Sunnah dan tidak disyariatkan oleh Rasulullah bahkan bid’ah yang tidak memiliki asal dalam syariat sedangkan permasalah ibadah adalah Tauqifiyah oleh karena itu ibadah kepada Allah itu hanya boleh dilakukan jika ada syariatnya
- adanya riwayat ketidaksukaan Ibnu Mas’ud dan Sahabat lain terhadap hal tersebut. Ibnu Waddhah[11] berkata dalam kitabnya al Bid’u wan nahyu anha: Dari Ibrahim berkata : “Dahulu ‘Abdullah (Ibnu Mas’ud) membenci berdzikir dengan tasbih seraya bertanya : “Apakah kebaikan-kebaikannya telah diberikan kepada Allah?” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf No. 7667) dengan sanad shohih. Dari as-Shalt bin Bahram berkata : “Ibnu Mas’ud melewati seorang wanita yang berdzikir dengan tasbih, maka segera beliau potong tasbih lalu membuangnya. Kemudian beliau melewati seorang lai-laki berdzikir dengan kerikil, maka beliau menendangnya, kemudian berkata : “Sungguh kalian telah mendahului Rasulullah, kalian melakukan bid’ah dengan zhalim dan ilmu kalian telah melebihi ilmu Sahabat-Sahabat Muhammad.
Dalam Mushannaf Ibnu Abi syaibah disebutkan: telah
menceritakan kepadaku yahya Bin Said al Qatthâni dari Al Taimi dari Abi
Tamimiyah dari seorang perempuan bani Kulaib yang berkata bahwa ia
dilihat oleh Aisyah sedang berdzikir dengan biji-biji tasbih, maka
Aisayah berkata: Mana Syawahid? yang dimaksud adalah jari jemari.
Dari Atsar ini bisa dipahami bahwa Asiyah menegur perempuan tersebut
dan menyuruhnya menggunakan jari, namun sayang dalam atsar ini ada rawi
yang mubham
Pendapat Ibnu Taimiyah dan Tarjih
Ibnu Taimiyah memberi pendapat yang wasath dalam hal ini, beliau mengatakan[12]
وعد التسبيح بالأصابع سنة كما قال النبي للنساء سبحن واعقدن بالأصابع فإنهن مسؤولات مستنطقات
وأما عده بالنوى والحصى ونحو ذلك فحسن وكان
من الصحابة رضي الله عنهم من يفعل ذلك وقد رأى النبي أم المؤمنين تسبح
بالحصى واقرها على ذلك وروى أن أبا هريرة كان يسبح به
وأما التسبيح بما يجعل في نظام من الخرز ونحوه فمن الناس من كرهه ومنهم من لم يكرهه , وإذا أحسنت فيه النية فهو حسن غير مكروه
“Menghitung tasbih dengan jari
jemari adalah sunah, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam kepada kaum wanita: “Bertasbihlah dan menghitunglah dengan jari
jemari, karena jari jemari itu akan ditanya dan diajak bicara.”
Adapun menghitung tasbih dengan
biji-bijian dan batu-batu kecil (semacam kerikil) dan semisalnya, maka
hal itu perbuatan baik (hasan). Dahulu sebagian sahabatpun (Radhiallahu
‘Anhum )ada yang memakainya dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah
melihat ummul mukminin bertasbih dengan batu-batu kecil dan beliau
menyetujuinya. Diriwayatkan pula bahwa Abu Hurairah pernah bertasbih
dengan batu-batu kecil tersebut
hukum menggunakan tasbih sebagai alat
untuk berdzikir adalah boleh dan mubah bukan bid’ah, inilah yang masyhur
dari pendapat para ulama dari 4 Mazhab dan juga ulama-ulama Salafi
serta sesuai dengan kaidah bahwa asal sesuatu adalah Mubah selama tidak
ada dalil yang melarang. Adapun jika ada kesan menganggapnya hasan maka
hal tersebut adalah kelaziman dari hukum mubah yang diniatkan untuk
kebaikan
Dalam matan zubad, Ibnu Ruslan berkata:
و خص ما يباح باستوى الفعل والترك على السواء
لكن إذا نوى بأكله القوى لطاعة الله به ما قد نوى
Dikhususkan kesamaan dalam hukum mubah baik meninggalkan maupun melakukan
Namun jika seseorang makan agar kuat dalam ketaatan kepada Allah, maka ia mendapatkan sesuai yang ia Niatkan.
Syaikh Muhammad bin sholih al Utsaimin menjelaskan ketika membahas tentang hukum Mubah dalam kitab al ushul min ilmil Ushul:
Seandainya ada kaitannya dengan
perintah karena keberadaannya (yakni suatu yang mubah) sebagai wasilah
terhadap hal yang diperintahkan, atau ada kaitannya dengan larangan
karena keberadaannya sebagai wasilah terhadap hal yang dilarang, maka
bagi hal yang mubah tersebut hukumnya sesuai dengan keadaan wasilah
tersebut.
Adapun yang menyunahkan, maka hal
tersebut keliru Karena tidak ada dalil khusus yang mengindikasikan hal
tersebut, bahkan Rasulullah menyarankan agar menggantinya dengan
menggunakan jemari.
Adapun yang mengharamkannya dengan
dalil dari kebencian Ibnu Mas’ud, maka tidak diketahui secara jelas ada
indikasi Ibnu Mas’ud membenci biji-biji tasbih, namun yang dzohir adalah
beliau membenci menghitung tasbih (zikir). Dalam menyebutkan
atsar-atsar terkait hal tersebut, Ibnu Abi syaibah membuat “fasal
tentang orang-orang yang membenci menghitung-hitung tasbih” lalu beliau
menyebutkan riwayat dari Ibnu Mas’ud dan ibnu Umar. Begitu juga yang
terdapat dalam Sunan Al Dârimi, hal tersebut tidak mengindikasikan
secara tegas tentang kebencian beliau. Apakah terkait menunggu waktu
sholat dengan menghitung-hitung zikir dan melakukannya secara berjamaah
dengan pimpinan satu orang ataukah kebencian beliau terkait
kerikil-kerikilnya saja. Namun yang zohir larangan tersebut adalah
terkait yang pertama. Wallahu a’lam
Peringatan
Fatwa-fatwa terkait kebolehan menggunakan
tasbih selalu diiringi dengan beberapa peringatan. Ibnu Taimiyah
mengatakan setelah membolehkan tasbih:
Adapun Tasbih yang dibentuk
seperti manik-manik yang terangkai dan semisalnya, maka sebagian manusia
ada yang membencinya dan sebagian lagi tidak membencinya. Kalau niatnya
baik maka hal itu menjadi baik dan tidak makruh. Adapun menggunakannya
tanpa keperluan atau memamerkannya kepada manusia, misanya digantungkan
dileher atau dijadikan gelang atau semisalnya, maka hal ini bisa saja
riya terhadap manusia atau merupakan hal-hal yang dapat menyebabkan riya
dan menyerupai orang yang riya. Yang pertama (riya, red) adalah haram
sedangkan yang kedua minimal makruh. Sesunggunhya riya kepada manusia
dalam ibadah-ibadah khusus seperti sholat, puasa, zikir, dan membaca
qur’an adalah termasuk dosa yang paling besar.
Allah berfirman:
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4)
الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5) الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ
(6) وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (7)
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat (4)
(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya (5) orang-orang yang
berbuat riya (6) dan enggan (menolong dengan) barang berguna (7)[13]
Allah juga berfirman:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ
يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ
قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا
قَلِيلًا
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan
apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka
bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka
menyebut Allah kecuali sedikit sekali [14]
Senada dengan peringatan diatas juga difatwakan oleh Faqihuzzaman
Ibnu utsaimin dan Ibnu Bâz, oleh karena itu hendaknya kita menggunakan
tasbih jika ada hajat saja untuk menghitung zikir yang jumlahnya cukup
banyak seperti zikir pagi dan petang yang merepotkan jika dihitung
dengan jemari. Adapun untuk zikir setelah sholat dan senantiasa membawa
tasbih ketika sholat atau bepergian seperti berlaku pada sebagian orang
yang diklaim alim, maka hal tersebut makruh menurut Syaikh Ibnu Bâz.
Lagipula yang secara tegas dianjurkan oleh Rasulullah dan disepakati
kesunnahannya oleh ummat adalah menggunakan jemari karena Ia akan
menjadi saksi diakherat atas zikir-zikir yang telah kita ucapkan.
____________________
Fote Note:
[1] HR. Abu Daud No. 1500, At Tirmidzi No. 3568, katanya: hasan gharib. Ibnu Hibban No. 837
[2] Imam Ibnu ‘Abidin, Raddul Muhtar, 5/54. Mawqi’ Al Islam
[3] Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 2/316-317. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah
[4] Tuhfah al Ahwâdzi, 9/458. Cet. 2, 1383H-1963M. Al Maktabah As Salafiyah, Madinah. Tahqiq: Abdul Wahhab bin Abdul Lathif
[5] Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Majmu’ Fatawa wa Maqallat, 29/318. Mawqi’ Ruh Al Islam
[6]
Ahmad 6/270, Abu Daud 1501, at-Tirmidzi 3583, Ibnu Hibban 842, al-Hakim
1/457 (2007) dan ia tidak memberi komentar dan dishahihkan oleh
adz-Dzahabi, dihasankan oleh Albani dalam ‘Shahih Abu Daud’ 1329.
[7] Al-Bukhari 5376 dan Muslim 2022
[8] Muslim 2020
[9] http://www.islamhouse.com/p/278161 . Syaikh Ibnu Utsaimin –Nur ‘ala darb, halqah kedua hal 68
[10] Faidhul Qadir, 4/468. Cet. 1, 1415H-1994M. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut – Libanon
[11]
Al Zahabi menyebutkan biografinya dalam siyar 13/445 : Berkata Ibnu al
Fardhi : dia banyak mengklaim sabda-sabda nabi Shallallâhu Alaihi
Wasallâm padahal itu merupakan kata-katanya sendiri, dia banyak
melakukan kesalahan yang telah diketahui berasal darinya, keliru, dan
melakukan tashif, serta tidak memiliki ilmu dalam bahasa arab dan juga
fiqh
[12] Majmu Fatâwa 22/506
[13] Qs al Mâûn:4-7
[14] Qs Ali Imrân 142
Post a Comment