Risalah 44 Soal dan Jawab Seputar Ramadhan
1. Kapan Waktu Niat Shaum
Soal 1: Apakah
wajib berniat shaum di bulan Ramadhan setiap harinya ataukah cukup satu
kali niat saja untuk sebulan penuh? Dan kapan sempurnanya hal itu?
Jawab: Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
“Setiap amalan bergantung pada niat dan bagi setiap seseorang (akan mendapatkan) apa yang dia niatkan.”
Maka
ini adalah dalil tentang keharusan niat dalam amalan-amalan. Dan yang
jelas adalah seseorang harus berniat di setiap harinya. Dan bukan
artinya ia harus mengatakan, “Nawaitu untuk berpuasa pada hari ini dan
itu di bulan Ramadhan.” Akan tetapi niat adalah maksud atau tujuan,
bangunmu untuk melaksanakan sahur dianggap sudah berniat demikian juga
penjagaanmu dari makanan dan minuman adalah berarti sudah berniat. Dan
adapun hadits,
“Barangsiapa yang tidak bermalam dengan niat shaum maka tidak ada shaum baginya,”
Ini adalah hadits mudhtarib. Walaupun sebagian ulama menghasankannya tapi yang benar adalah mudhtarib.
2. Apa Yang Harus Dilakukan Bila Mengetahui waktu Ramadhan Setelah Terbit Fajar
Soal 2:
Apabila seseorang bangun dari tidurnya setelah terbit fajar pada hari
pertama di bulan Ramadhan kemudian dia makan, sedang dia dalam keadaan
tidak mengetahui kalau hari itu adalah awal bulan Ramadhan dan
diberitahukan setelahnya. Apakah ia terus berpuasa atau berbuka?
Jawab:
Ya, ia berpuasa dan tidak ada mudharat baginya karena ia mengira masih
ada sisa malam kemudian dia berpuasa dan puasanya benar.
3. Puasa Sehari Sebelum Ramadhan Karena Ragu
Soal 3: Apakah boleh bagi seorang yang ragu akan awal masuknya bulan Ramadhan untuk berpuasa sehari sebelumnya?
Jawab:
Dari kalangan Al-Hanabilah (pengikut-nya madzhab Ahmad pent) ada yang
berpendapat seperti itu akan tetapi yang benar adalah tidak dibolehkan
puasa sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasalam:
“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan shaum sehari sebelumnya atau dua hari sebelumnya.”
Dan dari sahabat Ammar bin Yasir,
“Barangsiapa yang berpuasa pada hari syakk (ragu-ragu) maka telah bermaksiat kepada Abul Qasim.” Maka yang shahih sekali lagi adalah tidak boleh berpuasa dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
“Berpuasalah
kalian dengan melihat ru’yah dan berbukalah dengan melihat ru’yah. Jika
tertutupi awan maka sempurnakanlah hitungan Sya’ban 30 hari.”
Maka tidak ada lagi hal yang tersisa setelah keterangan ini.
Shaum wishol (Puasa Lagi Setelah Berbuka)
Soal 4: Apabila
seseorang tertidur dan belum berbuka dan ia tidak bangun dari tidurnya
kecuali pagi-pagi pada hari yang kedua apakah baginya untuk melanjutkan
shaumnya atau berbuka?
Jawab:
Baginya untuk meneruskan shaumnya. Yang demikian itu pernah terjadi
pada Qois bin Sormah, ia pergi bekerja dan waktu itu tepat permulaan
diwajibkannya shaum. Apabila ia tertidur sebelum makan maka ia tidak
membolehkan dirinya untuk makan, kemudian ia pulang ke istrinya dan
bertanya, “Apakah ada makanan?” Istrinya menjawab, “Tidak. Tetapi aku
akan pergi dan memintakan makanan untukmu.” Setelah kembali ternyata
didapatinya ia sudah tidur lalu istrinya berkata, “Engkau telah rugi,”
atau yang semakna dengan ucapan ini. Kemudian ia pergi kerja lagi sampai
pertengahan hari dan tertidur lagi, kemudian Allah menurunkan ayat,
“Dihalalkan
bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri
kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun pakaian bagi
mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, … sampai firman-Nya….
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.”
5. Yang Harus Dilakukan Saat Sahur Ketika Terdengar Adzan Subuh
Soal 5 :
Apabila seseorang sedang makan sahur kemudian muadzin mengumandangkan
adzan apakah wajib baginya untuk membuang/ mengeluarkan apa-apa yang ada
di mulutnya
ataukah memakannya?
Jawab :
Adapun yang ada di mulutnya maka tidak boleh untuk mengeluarkannya akan
tetapi tidak boleh memakan sesuatu apapun setelahnya kecuali air
berdasarkan hadits sunan Abu Dawud dari Abu Hurairah bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
“Apabila
muadzin telah mengumandangkan adzan, sedangkan bejana masih dalam
tangan seseorang, maka hendaklah dia mengambil keperluan darinya.”
Maka
dengan hadits ini tidak mengapa seseorang untuk meminum apabila telah
dikumandangkan adzan oleh muadzin dengan syarat air tersebut masih
dipegang oleh tangannya.
6. Adakah Keutamaan Meninggal di Bulan Ramadhan
Soal 6: Apakah terdapat keutamaan bagi seseorang yang meninggal pada bulan Ramadhan, yang menunjukkan pada kebaikan si mayyit?
Jawab: Memang ada, tetapi tidak ada hadits yang menunjukkan tentang hal ini.
7. Yang Harus Dilakukan Wanita Hamil atau Menyusui Bila Berbuka
Soal 7:
Apa hukumnya seorang perempuan yang hamil jika ia berbuka di bulan
Ramadhan karena takut akan janinnya, dan apapula hukumnya bagi seorang
wanita yang menyusui berbuka di bulan Ramadhan karena takut akan
susuannya?
Jawab: Para ulama berselisih, dari kalangan mereka ada yang mengatakan wajib baginya untuk
mengqadha,
sebagian yang lain mengatakan menqadha dan membayar kafarah, dan
sebagiannya lagi mengatakan tidak ada kewajiban baginya untuk menqadha
tetapi wajib baginya membayar kafarah, serta sebagiannya lagi mengatakan
tidak ada kewajiban baginya baik qadha maupun membayar kafarah. Dan
berdalil dengan hadits Anas bin Malik Al-Ka’bi bahwasanya beliau
datang kepada Nabi, kemudian Nabi mengatakan kepadanya, “Makanlah!” Kemudian Anas bin Malik berkata, “Aku dalam keadaan shaum.” Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam berkata,
“Apakah
engkau tahu bahwasanya Allah ta’ala menggugurkan setengah sholat atas
orang yang musafir (boleh menqashar) dan menggugurkan shaum bagi yang
hamil atau menyusui.”
Maka
mereka berdalil dengan ini, bahwa-sanya tidak ada kewajiban apa-apa
baginya. Dan yang nampak bagiku adalah wajib baginya untuk menqadha saja
dan tidak diharuskan baginya untuk membayar kafarah dan tidak sah
pembayaran kafarahnya, maka dia dituntut untuk menqadha saja.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِیْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةُمِنْ أَیَّامٍ أُخَر
“Barangsiapa di antara kalian sakit atau mengadakan suatu perjalanan maka diganti dengan hari-hari yang lainnya.”
8. Datang haidh sebelum Maghrib
Soal 8:
Apa hukumnya bagi seorang wanita yang haidh, sedang ia dalam keadaan
shaum yang haidhnya itu dengan jarak yang sedikit sebelum berbuka?
Jawab:
Wajib baginya untuk menqadha hari itu jika muadzinnya itu
mengumandangkan adzan tepat pada waktunya. Adapun apabila telah terbenam
matahari kemudian datang haidh tersebut sedangkan muadzin tidak
mengumandangkan adzannya kecuali seperti adzannya Syi’ah yaitu ketika
langit sudah mulai gelap, maka shaumnya dianggap sah dan tidak wajib
baginya untuk menqadha.
9. Berbuka bagi wanita hamil atau melahirkan
Soal 9: Apa hukumnya seorang wanita yang hamil apabila ia berbuka di bulan Ramadhan karena melahirkan?
Jawab: Wajib baginya untuk menqadha.
10. Berbuka Karena Keluar Darah Sebelum Melahirkan
Soal 10:
Dan apapula hukumnya bagi wanita jika ia berbuka sehari atau dua hari
sebelum melahirkan disebabkan karena keluarnya sebagian darah ?
Jawab: Jika keluar sebagian darah, maka ini dianggap sebagai darah nifas dan wajib untuknya menqadha.
11. Berbuka Karena Sakit Bertahun-tahun
Soal 11: Apa hukumnya orang yang berbuka disebabkan karena sakit yang terus menerus sampai beberapa tahun?
Jawab:
Apabila ditetapkan oleh medis bahwasa-nya dia tidak diharapkan lagi
kesembuhan-nya sedangkan Allah Maha Penyembuh dan berapa banyak orang
yang sakit yang telah ditetapkan oleh para dokter bahwasanya tidak
diharapkan lagi kesembuhannya kemudian Allah Ta’ala menyembuhkannya.
Apabila mereka menetapkan tidak diharap-kan sebaikannya, maka tidak
mengapa dia berbuka dan memberikan makanan setiap harinya kepada orang
miskin. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
{وَعَلَىالَّذِیْنَ یُطِیْقُوْ نَهُ فِدْیَةٌ طَعَامُ مِسْكِیْنَ}
“Dan bagi orang-orang yang tidak mampu hendaknya membayar fidyah dengan memberikan makanan kepada orang miskin.”
Demikian
pula Anas bin Malik ketika beliau tidak mampu untuk melaksanakan
shaum maka beliau memberikan makanan setiap harinya kepada orang miskin.
12. Memakai Sikat Gigi/Pasta gigi
Soal 12: Apa hukumnya menggunakan hal-hal di bawah ini di siang hari di bulan Ramadhan, diantaranya memakai siwak dan sikat gigi/odol?
Jawab:
Adapun memakai siwak dari batangnya maka ini tidak mengapa, walaupun
warna-nya hijau. Adapun odol atau sikat gigi maka kami menasehatkan
untuk meninggalkannya di bulan Ramadhan. Dan kami tidak memiliki dalil
bahwa itu akan membatalkan shaum, akan tetapi wajib untuk berhati-hati
sehingga tidak sampai mengalir atau masuk sesuatau ke dalam perutnya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
وبالِغُ فَي الأِستِنشاقإِلاَّ َأنْ تكُونَ صائِما
“Dan sempurnakanlah pada waktu istinsyaq kecuali dalam keadaan shaum.”
Karena sesungguhnya apabila dia dalam keadaan shaum maka ditakutkan akan mengalir atau masuk airnya ke dalam perutnya.
13. Memakai Wangi-wangian dan Cologne
Soal 13:
Dan demikian pula hukum memakai wangi-wangian dengan segala macam
bentuknya seperti al-bukhur, al-’uud, dan wangi-wangian masa kini yang
semerbak?
Jawab:
Adapun wangi-wangian dan bukhur maka tidak mengapa, insya Allah. Dan
seyogyanya seseorang untuk menjauhi wangi-wangian yang mengandung
alkohol di bulan Ramadhan dan selain bulan Ramadhan lebih khusus lagi
adalah dari jenis kolonia (cologne), maka sesungguhnya ini telah
diketahui mengandung alkohol.
14. Memakai Tetes Mata, Tetes Telinga dan Tetes Hidung
Soal 14: Demikian juga apa hukumnya memakai obatobatan yang berupa tetes mata atau tetes telinga atau untuk hidung?
Jawab:
Saya katakan sesungguhnya keluar dari perkara ini adalah dengan cara
berbuka dan sungguh dia sudah diperbolehkan untuk berbuka sesuai dengan
firman Allah Ta’ala,
{فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِیْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةُ مِنْ أَیَّامٍ أُخَر}
“Barangsiapa yang di antara kalian dalam keadaan sakit atau bepergian, maka hendaknya diganti dengan hari-hari yang lainnya.”
Maka
apabila dia terbukti sakit sedang dia membutuhkan kepada pengobatan
maka kami nasehatkan supaya berbuka dan menqadha. Dan apabila telah
dinyatakan oleh para dokter satu obat di siang hari di bulan Ramadhan,
maka jika dia tidak berbuka tidak membatalkannya kecuali apa-apa yang
sampai pada tenggorokannya. Dan kebanyakannya orang yang diobati matanya
dengan obat tetes kadang-kadang mendapat-kan rasanya pada
tenggorokannya, maka kami nasehatkan untuk menjauhi akan hal ini.
15. Memakai Suntikan
Soal 15: Dan begitu pula apa hukumnya memakai suntikan apakah didapatkan perincian tentang masalah ini?
Jawab:
Dari kalangan ahlul ilmi ada yang mengatakan bahwa apabila suntikannya
ini terbukti memberikan tenaga atau mengan-dung bahan makanan, maka
tidak boleh untuk memakainya. Dan apabila tidak mengandung unsur makanan
maka boleh untuk memakainya. Dan telah lalu nasehat kita kepada orang
yang sakit supaya berbuka sehingga tidak terdapat syubhat dalam shaumnya
kemudian setelah itu dia menqadhanya.
16. Mencabut Gigi
Soal 16: Hukum mencabut gigi yang kadang-kadang menyebabkan pada air liurnya terdapat darah?
Jawab:
Air liur yang mengandung darah dari dirinya sendiri maka tidak
membatalkan. Jika sekiranya ditunda mencabut giginya hingga waktu
berbuka maka ini lebih baik karena kadang-kadang ditakutkan akan
membahayakan dirinya jika dia mencabut gigi sedang dia dalam keadaan
shaum. Jika tidak demikian, sekiranya dia akhirkan lagi sampai malam
maka ini adalah lebih baik lagi.
17. Orang Pingsan dan Muntah
Soal 17: Demikian pula apa hukumnya orang yang pingsan dan yang muntah?
Jawab: Adapun orang yang pingsan maka dia tidak dikategorikan membatalkan shaumnya demikian
halnya dengan orang yang muntah. Adapun hadits yang menyatakan,
من قَاءَ فَلاَ قَضاءَ علَيهِ ومن اِستقَاءَ فَعلَيهِ ْالقَضاءَ
“Barangsiapa yang muntah maka tidak ada qadha baginya dan barangsiapa yang sengaja muntah maka hendaknya ia menqadha.” Ini adalah hadits yang lemah.
18. Berenang di Darat dan di Laut
Soal 18: Dan apa hukumnya berenang dengan cara menyelam?
Jawab:
Yang penting adalah tidak sampai ada yang masuk ke tenggorokannya
sesuatu apapun. Akan tetapi adapun berenang di lautan maka ini berbeda
keadaannya, karena apabila airnya itu mengandung asin maka sangat
memungkinkan sekali akan masuk ke tenggorokan. Karena kami pernah
berenang di lautan, dan seseorang tidak merasakan kecuali tiba-tiba
sudah terasa di dalam tenggorokannya maka kami menasehatkan untuk
menjauhi hal ini. Dan adapun kalau airnya tidak mengandung asin maka
tidak akan sampai rasanya ke tenggorokan dan kadang-kadang juga masuk ke
tenggorokan.
19. Mencicipi Masakan
Soal 19:
Apa hukumnya seorang perempuan merasakan masakannya ketika ia memasak
makanan dengan ujung lidahnya supaya mengetahui apa yang kurang dari
bumbu-bumbu masakan tersebut?
Jawab: Tidak mengapa tentang hal itu, insya Allah. Dan jangan sampai ada yang masuk ke tenggorokannya sesuatu apapun.
20. Menggunakan Peralatan Oksigen Bagi Seseorang Yang Menderita Penyakit Sesak Nafas
Soal 20: Apa pula hukum menggunakan peralatan oksigen bagi seseorang yang menderita penyakit sesak nafas?
Jawab: Yang jelas ia bukanlah termasuk makanan atau minuman. Maka aku tidak melihatnya hal ini membatalkan shaum.
21. Kafarat Atas Suami Yang Berjima
Soal 21: Apa yang diwajibkan dari kafarat atas seorang laki-laki yang dia menjima’i istrinya di siang hari bulan Ramadhan?
Jawab:
Telah datang dua hadits yaitu dari Aisyah dan Abu Hurairah dan
keduanya dalam Shahih. Bahwasanya salah seorang laki-laki dating menemui
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan berkata,
“Wahai Rasulullah aku telah binasa.” Kemudian kata Rasul, “Apa yang
membuatmu binasa?” Kemudian ia menjawab, “Aku telah menjima’I istriku
siang hari di bulan Ramadhan.” Dan dalam hadits Abu Hurairah, berkata
seorang laki-laki, “Ya, Rasulullah aku telah binasa.” Beliau berkata,
“Apa yang telah membuat engkau binasa?” Kemudian dia menjawab, “Aku
telah menjima’I istriku di siang hari bulan Ramadhan.” Beliau berkata,
“Apakah engkau punya budak untuk kemudian engkau merdekakan?” Dia
menjawab, “Tidak.” Kata Rasul, “Apakah engkau mampu untuk shaum dua
bulan terus menerus?” Kemudian dia menjawab, “Tidak.”
Kemudian kata Rasul, “Apakah engkau mampu untuk memberi makan 60 orang
miskin?” Dia menjawab, “Tidak.” Kemudian dia duduk.
Kemudian
Rasul mendatanginya denganmembawa satu karung tamr (kurma) kemudian
berkata, “Ambillah ini dan engkau bershodaqoh dengan ini!”. Kemudian
laki-laki menjawab, “Ya Rasulullah, tidak ada yang lebih faqir dari aku
demi Allah– di antara dua kota Madinah ini.” Kemudian Rasulullah
tersenyum dan berkata, “Ambillah ini, dan beri makanlah keluargamu!”
Atau dengan makna yang seperti ini.
Maka
apabila didapatkan seorang budak maka hendaklah dia memerdekakannya,
jika tidak memiliki budak maka berpindah pada shaum dan tidak boleh
berpindah kepada memberikan makanan jika dia mampu untuk melakukan
shaum. Karena sesungguhnya memberikan makanan ini sangat mudah bagi
orang-orang kaya sedangkan shaum dua bulan berturut-turut terdapat di
dalamnya masyaqqah (kesulitan/ keberatan).
22. Kafarat bagi istri yang berjima’
Soal 22:
Dan apa pula hukumnya atas seseorang perempuan apabila ia jima’
tersebut dengan keridhaan darinya dan dia tidak mencegah akan hal itu?
Jawab:
Apabila hal ini timbul dari keridhaannya maka si wanita tersebut
berdosa. Adapun keharusan untuk membayar kafarah maka sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam tidak menyu-ruhnya akan hal itu. Kecuali Rasul mengatakan kepada seorang laki-laki,
“Perintahlah istrimu jika dia ridha untuk mengerjakan hal itu (yaitu membayar kafarah).”
Akan
tetapi apabila si perempuan itu yang menyebabkan suaminya mencumbuinya
sehingga terjadilah apa yang terjadi maka si perempuan itu berdosa, jika
ternyata dia terpaksa maka dosa dikembalikan kepada suaminya.
23. Berjima’ Dalam Keadaan Lupa
Soal 23:
Apa hukumnya orang yang terjadi padanya hal itu (jima’) sedang dia
dalam keadaan lupa bahwa saat itu siang hari dalam bulan Ramadhan?
Jawab: Wallahu a’lam. Apakah ada yang melakukan jima’ dalam keadaan dia lupa bahwasanya dia berada di bulan Ramadhan atau tidak ada.
Apabila
memang didapatkan orang yang lupa maka hukumnya sama seperti hukum
orang yang lupa yaitu tidak menqadha. Akan tetapi aku tidak mengira
bahwa di sana ada yang melakukan jima’ karena lupa bahwa ia berada di
siang hari di bulan Ramadhan kecuali terjadi di awal bulan Ramadhan, dan
apabila dia lupa maka apakah istrinya juga lupa. Adapun mem-bayar
kafarah maka diharuskan padanya.
24. Berjima’ Karena Bodoh Tentang Hukum
Soal 24 : Dan apa yang harus dilakukan oleh orang yang terjadi padanya hal ini (jima’) sedangkan dia bodoh tentang hukum?
Jawab : Dia tetap harus membayar kafarah yang telah aku sebutkan sebelumnya karena sesungguhnya hadits tentang ini adalah mutlak.
25. Mencumbui Istri
Soal 25: Apa hukumnya orang yang memeluk istrinya dan menciumnya tanpa berjima’?
Jawab: Aisyah berkata, “Bahwasanya Nabi memeluknya di bulan Ramadhan.” Kemudian Aisyah mengatakan, “Siapa di antara kalian yang paling dapat menahan kebutuhannya?” Dan Ummu Salamah mengatakan bahwa-sanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam menciumnya, demikian pula Aisyah mengatakan bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam menciumnya. Dan Aisyah mengatakan bahwasanya Nabi adalah orang yang paling dapat menahan kebutuhannya.
Apakah
Ummul Mu’minin ini termasuk seseorang yang paling dapat menahan
kebutuhannya ataukah tidak. Maka yang jelas bahwasanya hal itu tidak
mengapa. Akan tetapi apabila ditakutkan menyebabkan jima’ maka wajib
baginya untuk meninggalkan hal itu.
26. Ihtilam (mimpi) Basah di Siang Hari
Soal 26: Apa hukumnya seseorang apabila dia bermimpi di siang hari di bulan Ramadhan?
Jawab: Tidak ada apa-apa baginya. Dan dia hendaknya melanjutkan shaumnya.
27. Shalat dan ShaumSetelah Ihtilam
Soal 27:
Aku bermimpi pada bulan Ramadhan dan aku tidak tahu apakah aku bermimpi
pada hari pertama ataukah hari kedua dan aku juga tidak mengetahui hal
ini kecuali setelah aku mengganti celana dalam, maka apa hukum shalat
dan shaumnya?
Jawab:
Adapun shalat maka dia shahih, insya Allah dan shaumnya pun shahih. Dan
hendaknya engkau pergi kemudian mandi. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi
wassalam bersabda,
إِنَّ الله تجاوزعن ُأمتِي الخَطَاءَ والنِسيانَ وما ْاستكْرِ هوا علَيهِ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala memberikan keringanan atas umatku dari kesalahan dan kelupaan dan apa-apa yang ia terpaksa atasnya.”
Maka
engkau adalah sebagai orang yang lupa maka dalam hal ini tidak ada
sesuatu apapun bagimu, insya Allah, dan engkau tidak diharuskan untuk
menqadha baik itu shaum maupun shalat karena sesungguhnya qadha dalam
hal shaum itu sudah diketahui yaitu apabila sakit atau dalam keadaan
perjalanan, demikian pula yang haidh.
Adapun shalat maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
“Barangsiapa yang tertidur dari melaksanakan sholat atau ia lupa darinya maka waktunya adalah ketika ia mengingatnya.”
28. Berbuka di rumah bagi orang yang akan bepergian
Soal 28:
Apakah dibolehkan bagi seorang yang bepergian di bulan Ramadhan untuk
berbuka terlebih dulu di rumahnya ataukah harus melewati beberapa cara?
Jawab:
Diperbolehkan bagi orang yang punya azzam (niat) untuk bepergian untuk
makan terlebih dahulu di rumahnya sebelum ia keluar. Dan dalil yang
menunjukkan akan hal ini adalah dari shahabat Anas bin Malik,
bahwasanya ketika beliau hendak bepergian maka kemudian dihadapkan
kepadanya makanan, kemudian dia mengatakan tentang hal itu bahwasanya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam telah
mengerjakannya, atau yang semakna dengan ini. Dan telah lewat bersama
kita yang menunjukkan hal itu di dalam kitab Shahih Al-Musnad mimma
laisa fi Ash-Shahihain. Dan Syaikh Al-Albani telah menuliskan satu
risalah tentang hal ini.
Dan
adapun perbedaan antara shaum dengan shalat bahwa sesungguhnya orang
yang shaum diperbolehkan baginya untuk berbuka sejak di rumahnya apabila
dia hendak bersiap-siap untuk bersafar, berbeda dengan orang yang
shalat yang tidak diperbolehkan baginya untuk menqashar sehingga dia
keluar dari kampungnya.
Berdasarkan apa-apa yang telah datang riwayat dari Anas bin Malik, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam shalat
Dhuhur di masjidnya empat raka’at kemudian beliau shalat di Dzil
Khulaifah dua raka’at, maka ini menunjuk-kan antara perbedaan shaum
dengan shalat.
29. Waktu, Tempat dan Raka’at Sholat Tarawih Sesuai Sunnah
Soal 29:
Di tempat kami sangat banyak sekali masjid, sebagiannya melaksanakan
shalat dengan 8 rakaat dan sebagiannya 20 rakaat, sebagiannya lagi
memanjangkan shalatnya dan sebagian lagi memendekkan. Maka masjid
manakah yang benar yang sesuai dengan perbuatan Nabi?
Jawab :
Jika kalian mampu maka hendaknya kalian melaksanakan shalat di masjid
pada pertengahan malam atau sepertiga malam terakhir dengan sebelas
raka’at atau tiga belas raka’at sebagaimana dalam hadits Aisyah
bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam tidak
menambah raka’at pada bulan Ramadhan atau selainnya dari sebelas
raka’at. Dan telah datang pula riwayat yang mengatakan tiga belas
raka’at. Dan saya nasehatkan untuk mengakhirkan shalat tarawih pada
pertengahan malam atau sepertiga malam terakhir. Karena sesungguhnya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
”Barangsiapa
yang takut akan tertidur padaakhir malam maka hendaknya dia witir pada
awalnya, dan barangsiapa yang menginginkan untuk bangun di akhir malam
maka hendaknya witir pada akhirnya karena sesungguhnya shalat pada akhir
malam adalah disaksikan.” (HR.Muslim)
Dan
ketika Umar keluar, beliau mendapati Ubay bin Ka’ab sedang
melaksanakan shalat bersama mereka (orang-orang). Kemudian ia berkata,
“Alangkah nikmatnya satu hal yang baru ini dan orang-orang yang tertidur darinya juga tidak mengapa.”
Maka
apabila mereka mampu untuk pergi ke masjid kemudian menegakkan sunnah
di sana (di dalamnya) dan melaksanakan shalat pada pertengahan malam
atau setelahnya dengan sebelas raka’at dan mereka memanjangkannya sesuai
dengan kemampuannya. Karena sesungguhnya shalat malam adalah nafilah
dan bukan termasuk ke dalam shalat yang fardhu.
Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
“Sesungguhnya
aku akan masuk (atau barumulai) dalam shalat maka aku menginginkan
untuk memanjangkannya akan tetapi aku tidak meneruskannya karena/ketika
aku mendengar suara tangisan seorang bayi karena kasihan pada ibunya.”
Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam mengatakan
kepada Muadz bin Jabal , “Apakah engkau telah membuat fitnah, wahai
Muadz?” Yaitu disebabkan karena beliau memanjangkannya di dalam shalat.
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam mengatakan juga,
إِذَاصلَّىأَحدكُم لِنفْسِهِ فَلْي َ طولْ ماشاءَ وإِذَا صلَّى
بِالناسِ فَلْيخفِّف َفإِنَّ فِيهِم الضعِيف والمَرِيض وذَا
ْالحَاجةَ
“Apabila
salah seorang di antara kalian shalat sendiri, maka hendaknya
memanjangkan sekehendaknya dan apabila ia shalat bersama orang orang
atau bersama manusia maka hendaklah ia meringankannya karena di antara
mereka ada yang lemah, ada yang sakit dan ada yang memiliki kebutuhan.”
Maka
ini semua adalah di dalam shalat yang fardhu, adapun di dalam shalat
nafilah maka tidak wajib, bahkan seseorang boleh melaksanakan shalat
sekehendaknya dan boleh bagi dia untuk beristirahat dari satu raka’at
menuju kepada rakaat yang lainnya atau dia pergi dulu ke rumahnya. Dan
jika dia mampu untuk melaksanakan shalat di rumahnya, maka ini juga
afdhal. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda ketika beliau shalat bersama manusia atau orang-orang dua malam atau tiga malam di bulan Ramadhan, beliau mengatakan,
”Shalat yang paling afdhal bagi seseorang adalah di rumahnya, kecuali shalat yang wajib atau fardhu.”
Bahwa
yang paling afdhal shalat bagi seseorang adalah di rumahnya, kecuali
shalat yang wajib. Walaupun sebagian orang mengatakan bahwa engkau telah
menepati sunnah yang muakkadah dikarenakan menyelisihi syi’ah, karena
sesungguhnya mereka melihat bahwa shalat tarawih itu adalah bid’ah. Maka
kita tidak menyepakati mereka akan tetapi kita menginginkan untuk
menyepakati atau sesuai dengan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam dan apabila ditakutkan tertidur ataupun
disibukkan di dalam rumahnya dari anak-anaknya atau yang lainnya maka
kami nasehatkan untuk keluar menuju ke masjid.
30. Sholat di belakang imam tarawih 20 raka’at
Soal ke-30 :
Apabila aku shalat di masjid kemudian imam di dalamnya shalat dengan
dua puluh rakaat maka apakah aku ikut menyempurnakan bersamanya dalam
rangka mengikuti imam ataukah aku shalat delapan raka’at lalu aku witir
sendirian kemudian keluar?
Jawab :
Saya nasehatkan hendaknya engkau shalat delapan raka’at saja dan
kemudian engkau shalat witir sendirian. Maka sesungguhnya mengikuti
sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam adalah lebih utama, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam mengatakan,
31.Bolehkah sholat tarawih di rumah
Soal ke-31: Apakah dibolehkan bagi seseorang untuk melaksanakan shalat bersama keluarganya di rumah, yaitu shalat tarawih?
Jawab : Tidak mengapa akan hal itu dan hal itu adalah afdhal sebagaimana yang telah lewat.
32. Wanita Keluar Sholat Tarawih Dengan Wewangian
Soal ke-32 :
Apa hukumnya keluarnya seorang wanita dalam keadaan berdandan dan
memakai wangi-wangian untuk melaksanakan shalat tarawih berdasarkan
keyakinan bahwa ini adalah sebagai realisasi dari firman Allah Ta’ala,”
خُذُوا زِیْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ ”
“Ambillah (pakailah) perhiasan-perhiasanmu pada setiap masjid“
Jawab : Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam memberikan
rukhshah kepada parawanita untuk keluar menuju ke masjid pada shalat
Isya’ dengan syarat mereka keluar dengan memakai (atau menutupi)
pakaiannya (dengan syarat mereka keluar tertutup) yaitu dengan memakai
pakaian yang tidak kelihatan pandangan dan tidak pula memakai
wangi-wangian. Dan Abu Hurairah berkata bahwasanya Nabi Shallallahu
‘alaihi wassalam bersabda,
“Perempuan
mana saja yang keluar dalam keadaan memakai wangi-wangian dengan tujuan
supaya orang-orang mendapatkan baunya, maka ia telah berzina.”
33. Mematikan lampu pada waktu shalat supaya menambah kekhusyu’an
Soal ke-33 :
Mematikan lampu pada waktu shalat supaya menambah kekhusyuan
sebagaimana yang terjadi pada diri kami dalam bulan Ramadhan. Maka apa
pendapatmu tentang hal ini dan apakah hal ini sampai kepada perkara yang
bid’ah?
Jawab :
Tidak, hal ini tidak sampai kepada batasan bid’ah dan bukan pula
merupakan suatu yang sunnah. Maka apabila seseorang merasa menambah
kekhusyu’an apabila ia memejamkan kedua matanya dan memati-kan lampu,
bahkan akan menjadikannya lebih jauh dari sifat riya’ maka hal ini tidak
mengapa. Walaupun memang bahwasanya manusia berbeda dalam hal ini, maka
tidak sepatutnya untuk mewajibkan atau menarik/ menekan seseorang
kepada pendapat-nya dan mematikan lampu. Sebagian orang tidak menyukai
akan hal itu.
34. Tentang hadits, “Tidak ada i’tikaf kecuali di tiga masjid”
Soal ke-34 : Apa pendapatmu tentang hadits, “Tidak ada i’tikaf kecuali di tiga masjid”?
Jawab :
Sebagian di antara mereka (ahli ilmu) ada yang menganggap bahwa hadits
tersebut adalah mauquf kepada Hudzaifah dan sebagian yang lain ada
yang mengatakan bahwa sesungguhnya Hudzaifah berkata kepada Abdullah bin
Mas’ud , “Bahwa sesungguhnya orang-orang itu mereka melaksanakan
shalat antara engkau dan antara ini dan itu.” Dan tampaknya mereka
semuanya berada di Kufah. Maka berkata Abdullah ibn Mas’ud, “Barangkali
mereka-lah yang benar sedang engkau yang salah.” Mereka (sebagian ahli
ilmu) mengatakan, jika sekiranya hadits ini marfu’ maka tidak mungkin
Abdullah ibn Mas’ud berani untuk mengatakan kepada Hudzaifah,
“Barangkali mereka yang benar dan engkau yang salah.”
Dan
jika sekiranya hadits ini benar (shahih) maka tafsirannya menjadi bahwa
tidak ada i’tikaf yang lebih afdhal. Oleh karena itu, maka ini menjadi
dalil keutamaan atau keafdhaliyahan i’tikaf di tiga masjid ini seperti
yang telah terdapat dalil-dalil yang menyebutkan tentang keutamaan
shalat di tiga masjid. Dan kalau tidak demikian maka ayat juga datang
secara mutlak yaitu,
وَلاَ تُبَاشِرُوْهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُوْنَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Dan janganlah kalian menggauli istri-istrimu sedang kalian beri’tikaf di masjid.”
Dan
tidak terdapat keterikatan (pengkhususannya) dengan tiga masjid, lagi
pula hadits ini adalah idhthirab, terdapat di dalamnya kadangkadang
Hudzaifah meriwayatkannya mauquf dan pada riwayat lain meriwayatkannya
dengan marfu’, maka jauhlah dari amalan-amalan kaum muslimin. Dan aku
juga mengetahui bahwa ada sebagian saudara-saudara yang telah menuliskan
risalah tentang hal ini. Akan tetapi tidak semestinya untuk
menyempit-kan manusia (kaum muslimin) dengan se-suatu apapun yang Allah
Ta’ala telah berikan keluasan atas mereka.
35. Lansia Yang Sudah Pikun, Bagaimana Tentang Shoumnya
Soal ke-35 :
Seorang perempuan yang sudah lanjut usianya dan sudah berubah akalnya
dengan sebagian perubahan-perubahan, kemudian ia meninggal dan ia punya
hutang shaum dua kali bulan Ramadhan, sedangkan ia tidak mengetahui
Ramadhan dari selainnya disebabkan karena terjadi hilang ingatan/akalnya
(atau terjadi perubahan akalnya). Apakah bagi anaknya untuk memberikan
makanan untuk menggantikan shaumnya ataukah ia mesti shaum?
Jawab : Keadaan dia adalah termasuk orang-orang yang diangkat atau diberikan rukhshah
kepadanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
رفَع ْالقَلَم عن َثلاََثةٍ عنِ ْالمَجنونِ حتى يفِيق وعنِ الصغِيرِ حتى يبلُغَ و عنِ النائِمِ حتى يستيقِظَ
“Diangkat
pena dari tiga orang, dari orang yang gila sehingga ia sadar, dari anak
kecil sehingga di baligh dan dari orang yang tertidur sehingga ia
bangun kembali.”
Maka tidak ada keharusan apa-apa untuknya.
36.Onani Di Bulan Ramadhan
Soal ke-36 : Apa hukumnya seseorang yang melakukan onani di bulan Ramadhan, apakah ia diharuskan seperti orang yang menjima’i istrinya?
Jawab :
Ia menjadi berdosa. Adapun memberikan kafarah maka ia tidak dituntut
sedangkan tentang dosanya dikarenakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda yang meriwayatkannya dari Rabb-nya,
“…meninggalkan makanannya, minumannya dan syahwatnya karena aku.”
Dan
tidak ada pula atasnya kewajiban untuk mengqadha karena sesungguhnya
mengqadha itu tidak ada kecuali dengan dalil. Sedangkan dalil terdapat
pada orang-orang yang musafir dan yang sakit apabila berbuka.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
{فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِیْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةُ مِنْ أَیَّامٍ آُخَرَ}
“Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan maka hendaknya menggantinya pada hari yang lainnya.”
Demikian
pula dengan wanita yang haidh, dia hendaknya mengqadha shaum
dikarenakan hadits Aisyah dalam Shahihain. Dan juga orang yang
menyusui dan yang hamil apabila ia berbuka diwajibkan untuk mengqadha
dikarena-kan hadits Anas bin Malik Al-Ka’bi. Dan perkara qadha ini
juga adalah dikarenakan ayat yang telah lewat, wallahu a’lam.
37. Tahlil, takbir, tahmid setelah bacaan surat Adh- Dhuha Imam Tarawih
Soal ke-37 : Apakah
hukumya orang yang shalat tarawih pada bulan Ramadhan kemudian ketika
ia membaca surat Adh-Dhuha ia memerintahkan kepada makmum yang ada di
belakangnya untuk mengangkat suara-suaranya atau untuk mengucapkan
kalimat ‘laa ilaha illallahu wallahu akbar wa lillahilhamd’. Dan ia
mengira bahwasanya itu adalah perkara sunnah karena Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam ketika tidak dating kepadanya
wahyu kemudian turun wahyu kepadanya maka ia bertakbir dan
memerintahkan para sahabatnya untuk bertakbir. Dan apakah akan diterima
shalat dengan memberikan tambahan di dalamnya dari jenisnya?
Jawab : Adapun
ucapan ‘laa ilaha illallahu wallahu akbar’ sesudah membaca surat
Adh-Dhuha, maka terdapat satu hadits yang dhaif yang telah disebutkan
oleh Al-Hafiz Adz-Dzahaby di dalam kitab ‘Thabaqatul Qura Al-Kibar’ dan
ia mengatakan di dalam sanadnya terdapat seorang rawi yang bernama Ibnu
Abi Barzah. Dan ia bukan yang dimaksud adalah Qasim bin Abi Barzah,
karena Qasim bin Abi Barzah adalah tsiqah. Akan tetapi yang dimaksudkan
adalah Ahmad bin Muhammad. Maka tidak terdapat hadits dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wassalam tentang perintah untuk hal itu atau untuk mengatakan hal itu akan tetapi justru ucapan itu adalah dikategorikan sebagai bid’ah.
Adapun
membuat tambahan-tambahan di dalam shalat dengan sesuatu hal yang
termasuk dari jenisnya maka tidak boleh, karena kita sesungguhya
bukanlah orang yang membuat keributan di dalam agama Allah. Dan telah
terdapat di dalam Shahih dari Nabi, bahwa beliau berkata kepada Malik
bin Huwairits dan sahabat-sahabatnya,
“Shalatlah kalian seperti halnya kalian melihat aku melaksanakan shalat.”
Kecuali
jika tambahan itu dalam hal doa-doa qunut atau sujud atau tasyahud
sebagaimana yang telah kami terangkan di dalam kitab ‘Riyadhul Jannah
fii Raddi ala A’daai As-Sunnah’.
38. Shaum Sunnah Sebelum Lunas mengqadha shaum wajib
Soal ke-38 : Apakah
boleh mendahulukan shaum yang tathawwu atas shaum yang wajib. Contohnya
seorang laki-laki masih mempunyai hutang shaum di bulan Ramadhan
kemudian ia hendak melaksanakan shaum satu hari, maka apakah ia
mendahulukan yang wajib dulu ataukah yang tathawwu?
Jawab : Apabila
ditakutkan tertinggal hari itu atau hari-hari itu (yaitu hari-hari
shaum tathawwu pent) maka tidak mengapa akan hal ini. Karena
sesungguhnya waktu mengqadha itu adalah waktu yang panjang/waktu yang
luas. Aisyah berkata, “Kami tidak mengqadha kecuali di bulan Sya’ban,”
karena beliau disibukkan dengan Rasul. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi
wassalam bersabda, yang meriwayatkan dari Rabb-nya :
“Dan
tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang
Aku cintai dari perkara-perkara yang Aku wajibkan atasnya dan masih saja
ia mendekatkan diri kepada-Ku dengan yang nafilah sehingga Aku
mencintainya…” sampai akhir hadits.
Maka
yang paling afdhal adalah mendahulukan apa-apa yang telah Allah Ta’ala
wajibkan atasnya. Akan tetapi jika di sana ada hari yang utama dan ia
takut meninggalkannya atau tertinggal, sedangkan waktu mengqadha adalah
waktu yang luas maka tidak mengapa, insya Allah. Seperti enam hari di
bulan Syawal (setelah puasa wajib di bulan Ramadhan pent) atau seperti
tiga hari di setiap bulan dan seperti shaum Senin-Kamis dan juga shaum
hari Arafah dan hari Asyura.
39. Shoum bagi musafir yang berniat tinggal dalam waktu lama
Soal ke-39 : Apa
hukumnya shaum bagi orang yang musafir yang dia berniat untuk tinggal
dalam waktu yang ditentukan, seperti sebulan misalnya?
Jawab : Apabila
ia berniat melebihi 20 hari maka hendaklah ia shaum dan tidak dianggap
sebagai musafir. Dan barangsiapa yang mengatakan bahwa ia dianggap
sebagai musafir maka telah menyelisihi keumuman manusia dan makna secara
bahasa dari makna kata ‘safar’. Sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi
wassalam , beliau tinggal di Tabuk selama 19 hari dan berkata Ibnu Abbas,
“Apabila kami menetap setelah itu maka kami menyempurnakan shalat.”
Yang
berarti bahwa kami tidak lagi sebagai musafir dan ini adalah
pendapat(ijtihadnya) Ibnu Abbas. Akan tetapi ini yang lebih dekat,
insya Allah Ta’ala.
40. Keluar Mani Setelah bercumbu
Soal ke-40 : Seorang
laki-laki mencumbui istrinya disiang hari di bulan Ramadhan kemudian ia
keluar maninya sedangkan ia tidak mengetahui apakah hal itu haram
ataukah tidak haram. Maka apakah diwajibkan atasnya sesuatu ?
Jawab: Apabila
ia mencumbui istrinya dengan tujuan untuk memenuhi syahwatnya dengan
mengeluarkan maninya di luar daripada farji (kemaluan) istrinya maka ia
dianggap ber-dosa. Karena sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam bersabda dari apa-apa yang meriwayatkan-nya dari Rabb-nya,
“…meninggalkan makanannya, minumannya dan syahwatnya karena Aku.”
Dan
apabila ia mencumbui istrinya dalam keadaan tidak mengetahui atau bodoh
akan hukumnya maka hendaknya ia bertaubat kepada Allah dan apabila ia
mengetahui maka hendaknya ia bertaubat kepada Allah jika ia mengetahui
hal itu. Dan apabila ia mencumbui istrinya sedangkan ia dalam keadaan
mengetahui bahwa mencumbui ini adalah hal yang diperbolehkan baginya
kemudian
ia memeluknya dan ia beranggapan bahwa hal ini tidak haram atasnya
kecuali jima’ kemudian setelah itu ia mengeluarkan mani dan ia tidak
bermaksud untuk mengeluarkan mani, maka tidak apa-apa baginya. Dan walau
bagaimanapun maka tidak diwajibkan atasnya untuk memberikan kafarah
jima’ pada setiap keadaan, dan ini adalah ucapan (pendapat) Abu Muhammad
bin Hazm rahimahullah ta’ala dan ini adalah shahih.
41. Zakat Fitrah kepada Pemerintah atau Dalam Bentuk Uang
Soal ke-41 :
Apa pendapatmu tentang zakat yang diberikan kepada pemerintah di bulan
Ramadhan, apakah ia sah ataukah tidak sah? Mohon terangkan kepada kami.
Jawab : Zakat
yang diserahkannya yang dimaksudkan adalah zakat fitrah maka pemerintah
biasanya mengambilnya dalam bentuk uang. Sedangkan zakat fitrah itu
ialah seperti apa yang telah diberitakan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wassalam dari hadits Abdullah bin Umar dan hadits
Abu Said Al- Khudri yaitu satu sha’ dari kurma atau satu sha’ dari
gandum atau satu sha’ dari anggur yang dikeringkan atau satu sha’ dari
akid (keju). Maka jika ia mendapatkan kemudahan dari salah satu dari
empat macam tersebut maka silakan untuk mengeluarkannya dan jika tidak
memudahkannya dari hal tersebut maka hendaknya dari pokok hasil bumi.
Adapun
menggantinya atau menghargakannya dengan uang maka yang shahih dalam
hal ini adalah tidak sah. Akan tetapi apabila pemerintahan
mengharuskannya dengan hal ini dan tidak menguatkannya dengan
dalil-dalil, maka jika seseorang mampu maka hendaklah ia mengeluarkan
dari biji-bijian atau dari empat macam tadi. Kemudian ia memberikan
harganya atau uangnya kemudian ia memberikan atas apa yang diinginkan
atau diharuskan oleh pemerintahan sehingga ia selamat dari kejahatannya.
Dan jika ia tidak mampu untuk mengeluarkan zakat dua kali maka sah
untuknya mengeluarkan dari macam yang pertama. Maka sah baginya untuk
mengeluarkan salah satunya dan dosanya kembali kepada pemerintah.
42. Wanita tidak shaum karena hamil dan melahirkan
Soal ke-42 : Ada
seseorang yang bertanya tentang perempuan yang tidak mampu untuk
melaksanakan shaum Ramadhan dikarenakan melahirkan atau kehamilan.
Jawab : Maka hendaknya ia meng-qadha, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’anul Karim,
{فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِیْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةُ مِنْ أَیَّامٍ أُخَر}
“Maka barangsiapa di antara kalian sakit atau bepergian maka hendaknya mengganti pada hari yang lainnya.”
Maka
hendaknya ia mengqadha pada waktu yang ia mampui, baik itu setelah
setahun atau dua tahun atau bahkan tiga tahun. Allah Subhanahu wa Ta’ala
tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya
.
Dan
telah terdapat di dalam Sunan (dalam salah satu kitab sunan pent) dari
hadits Anas bin Malik Al- Ka’bi . Ia berkata, “Aku menemui Rasulullah,
kemudian Rasulullah berkata, ‘Kemarilah kepada makanan’, kemudian aku
menjawab, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku sedang dalam keadaan shaum (yakni dia sedang dalam keadaan musafir).’ Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam berkata,
إِنَّ الله وضع عنِ الْم سافِرِ شطْر الصلاَةِ ووضع عنِ
الْم سافِرِ والْحامِلِ وْالمُرضِعِ الصيام
“Sesungguhnya
Allah menggugurkan atas orang yang musafir setengah sholat (atau
keringanan) shalat dan menggugurkan bagi yang musafir dan bagi yang
hamil dan orang yang menyusui dari shaum (keringanan shaum),” atau yang semakna dengan ini.
Dan yang dimaksud dengan meletakkan di sini adalah meletakkan sementara, berdasarkan ayat yang kalian telah mendengarnya yaitu,
{فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِیْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةُ مِنْ أَیَّامٍ أُخَر}
“ Barangsiapa di antara kalian yang sakit atau bepergian maka hendaknya mengganti pada hari yang lainnya.”
Sebagian
kalangan ahlil ilmi ada yang mengatakan bahwa jika sudah lewat satu
tahun sedang ia belum mengqadha Ramadhan yang pertama maka diharuskan
baginya untuk membayar kafarah bersamaan dengan qadha. Atau mengatakan
bahwa wajib atas seseorang, siapa saja baik itu dalam keadaan sakit atau
keadaan musafir, kemudian lewat satu tahun maka wajib baginya untuk
membayar kafarah disertai dengan membayar qadha (menggantinya). Akan
tetapi tidak ada dalil di sana baik dari Kitabullah atau Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam , hanya dari sebagian perkataan
salafush shalih saja. Dan kita mengambil dengan dhahir ayat bahwasanya
Allah Ta’ala tidak mengatakan,
“Barangsiapa
di antara kalian yang sakit atau bepergian maka hendaklah ia
menggantinya pada hari-hari yang lain. Dan apabila melewati satu tahun
sedang ia belum mengqadha maka sedekahlah diamembayar kafarah.”
“Dan tidaklah Rabb-mu ini memiliki sifat pelupa“.
Maka
tidak ada baginya kecuali mengqadha saja jika ia mampu walaupun ia
lewat tiga kali Ramadhan atau bahkan lebih. Kemudian setelah itu jika ia
mampu untuk mengqadha maka mengqadhalah, wallahul musta’an. Dan
mengqadha ini tidak mesti berurut-urutan sehingga tidak memberatkan
kepadanya. Jika sekiranya dia shaum tiga hari kemudian berbuka pada satu
hari sesuai dengan kekuatan dan kemampuan, maka lakukanlah. Maka Aisyah mengatakan bahwasanya tersisa padanya sesuatu (shaum) Ramadhan, yaitu
disebabkan karena haidh kemudian beliau tidak mengqadhanya kecuali di
bulan Sya’ban. Dan yang dimaksudkan oleh Aisyah bahwa sesungguhnya
qadha ini tidak mesti segera, wallahul musta’an.
43. Wanita haidh dan nifas menyentuh dan membaca Al-Qur’an
Soal ke-43 : Apakah
diperbolehkan bagi seorang perempuan yang sedang haidh atau nifas untuk
menyentuh mushaf Al-Quran dan membacanya, terlebih khusus di bulan
Ramadhan yang penuh berkah, dimana orang-orang mengkhususkannya untuk
meng-khatam-kan Al-Quran ?
Jawab : Aku tidak mengetahui di sana ada larangan tentang hal itu, sedangkan hadits, “ Tidak boleh seseorang menyentuh Al-Quran kecuali yang thahir (suci).“
Maka
sebagian mereka (ahlil ilmi pent) ada yang berpendapat bahwa hadits itu
adalah mursal. Dan jika sekiranya hadits tersebut dengan berbagai
banyak jalannya adalah menjadi shalih (shahih) untuk dipakai sebagai
hujjah, maka ia diambil kepada apa yang dikatakan oleh Imam Asy-Syaukani
di dalam kitabnya, yaitu Nailul Authar. Beliau mengatakan,
“Tidak
boleh disentuh Al-Quran kecuali oleh yang thahir, yakni adalah
maksudnya yang muslim. Maka tidak boleh orang kafir menyentuhnya karena
Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam melarang untuk membawa safar Al-Quran ke negeri musuh.”
Dan adapun firman Allah Ta’ala,
لاَیمََسُّهُ إِلاَّ اْلمُطَهَّرُوْنَ
“ Tidak ada yang menyentuhnya kecuali almuthaharuun “,
Maka
yang dimaksud dengan mereka adalah almalaaikat, seperti halnya
perkataan Imam Malik di dalam Muwaththa-nya berkata, “Bahwa ayatini
ditafsirkan dengan firman Allah Ta’ala,
كَلاَّ
إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ, فَمَنْ شَاءَ ذَكَرَهُ, فِي صُحُفُ مُكَرَّمَةٍ,
مَرْفُوْعَةٍ مُطَهَّرَةٍ, بِأَیْدِي سَفَرَةٍ, كِرَامٍ بَرَرَةٍ,
“Jangan
demikian, sesungguhnya dia (petunjuk di dalam Al-Qur’an) adalah suatu
peringatan, Maka barangsiapa yang menghendaki niscaya dia
mengingatkannya, Dalam lembaran-lembaran (kitab-kitab) yang dimuliakan,
Yang ditinggikan lagi disucikan, Di tangan para utusan, Yang mulia lagi
(pula) takwa” (QS.’Abasa : 11–16), yakni yang dimaksudkan adalah para malaikat.
Seperti halnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَمَا تَنَزَلَتْ بِهِ الشَّیَاطِیْنُ. وَمَا یَنْبَغِيْ لهَمُ وَمَایَسْتَطِیْعُوْنَ إِنَّهُمْ عَن السَّمْعِ لَمَعْزُوْلُوْنَ
Dan
Al-Qur’an itu bukanlah dibawa turun oleh syaithan-syaithan. Dan
tidaklah patut mereka membawa Al-Qur’an itu dan merekapun tidak kuasa.
Sesungguhnya mereka benar-benar dijauhkan daripada mendengarkan Al-Qur’an itu. (Qs. Asy- Syu’aro 26 : 210-212)
44. Wanita Haidh dan Nifas Menghadiri Majlis-Majlis Ilmu di Masjid
Soal ke-44 : Apakah dibolehkan baginya untuk menghadiri majlis-majlis ilmu dan durus-durus di masjid ?
Jawab : Tidak mengapa, insya Allah. Sedangkan hadits yang menyatakan,
إِني لاَ ُأحِلُّ ْالمَسجِد لحَائِضٍ ولاَ جنبٍ
“Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi yang haidh ataupun yang junub“, ini adalah hadits yang dhaif.
Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam mengatakan kepada Aisyah,
إِنِّ حيضتكِ َليست فِي يدِكِ ويقُولُ َلهَا َأيضا
“Sesungguhnya haidhmu bukanlah pada tanganmu.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam juga mengatakan kepada Aisyah,
إِفْعلِى مايفْعلُ ْالحَاج غَير َأنْ لاَ تطُوفِي بِاْلبيتِ
” Lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang orang yang haji kecuali tidak boleh untukmu berthawaf di Baitul Haram.”
فَلاَ بأْس َأنْ تح ضر د روس ْالعلم فِي ْالمَسجِدِ
Maka tidak mengapa baginya untuk menghadiri durus-durus ilmu di masjid.
Walhamdulillahi rabbil alamin.
م نْ ص ام رم ض انَ إی م انًا و اح تِس اب ا غَفِر له م اتَقَد م مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh iman dan ihtisab maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (HR. Bukhari-Muslim)
Telah berlalu dalam hidup kita belasan bahkan puluhan bulan Ramadhan. Apakah amaliyah Ramadhan kita telah
menjadikan kita hamba Alloh yang beruntung dan meraih janji-janjinya?
Akankah kita biarkan Ramadhan yang akan datang kita alani dengan kebodohan dan sekedar menggugurkan kewajiban semata?
Segeralah
raih janji-janji Allah dengan amal yang berdasarkan ilmu. Tulisan ini akan
menjawab tuntas keraguanan kerancuan amaliyah di Bulan Suci Ramadhan
Catatan:
1 Pemula dalam tholabul ilmi
2
Hadits mudhtorrib adalah hadits yang datang dari banyak jalan dan
berbeda-beda lafazhnya sehingga tidak bisa untuk dirajihkan, dan hadits
mudhtarib ini termasuk dalam kerangka hadits-hadits dhaif.
Judul
Asli : Bulugh Al Maram min Fatawa Ash Shiyam As-ilah Ajaba ‘alaiha Asy
Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’I, Peringkas : Abu Malik Al Maqthory, Abu
Tholhah Ad Duba’I, Penerbit : Al Maktabah As Salafiyyah Ad Da’wiyyah, –
Masjid Jamal Ad Din – Al Bab Al Kabir, – Al Yaman – Ta’iz
Edisi Indonesia :
RISALAH
RAMADHAN, Untuk Saudaraku, Kumpulan 44 Fatwa Muqbil bin Hadi al-Wadi’I,
Penerjemah Ibnu Abi Yusuf, Editor Ustadz Abu Hamzah, Setting & Lay
Out Afaf Abu Rafif, Penerbit Pustaka Ats-TsiQaatPress, Jl. Kota Baru III
No 12, Telp 022 5205831, Cetakan Ke-I Sya’ban 1423 H
Sumber: http://assunnah.cjb.net, Oleh: Syaikh Al-Allamah Al-Muhaddits Muqbil bin Hadi Al-Wadi’I, Penerjemah: Al Ustadz Abu Hamzah Bandung, Fatwa-fatwa Syaikh Muqbil Seputar Puasa
Post a Comment