Kisah Rasul Allah Pertama Nabi Nuh Alaihissalam

Nabi Nuh Alaihissalam adalah nabi ketiga sesudah Adam dan Idris dan keturunan kesembilan dari Nabi Adam. Ayahnya adalah Lamik bin Metualih bin Idris. Nuh adalah Rasul Allah yang pertama yang diutus ke atas bumi ini, sedangkan Adam, Syits dan Idris yang diutus sebelumnya hanyalah bertaraf nabi saja, bukan sebagai rasul karena mereka tidak memiliki umat atau kaum.

Beliau lahir 126 tahun setelah wafatnya Nabi Adam sebagaimana yang disebutkan Ibnu Jarir Ath-Thabari dan selainnya. Sementara menurut sejarah ahli kitab, jarak antara kelahiran Nuh dan kematian Adam adalah 146 tahun yaitu antara keduanya dipisahkan 10 abad. Hal ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan Al-Hafizh Ibnu Hibban, dari sahabat Abu Umamah, ia berkata bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, “Wahai Rasul, apakah Adam itu termasuk seorang Nabi?” Beliau bersabda, “Benar.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Berapa jarak antara Adam dengan Nuh?” Rasulullah bersabda, “10 abad.” Ibnu Hibban berkata bahwa riwayat ini sesuai syarat Imam Muslim namun ia tidak meriwayatkannya. [HR Ibnu Hibban no. 6190; Ath-Thabrani (Mu’jam Al-Kabir no. 5745); Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam Ash-Shahihah no. 2668].

Disamping itu dalam Shahih Bukhari diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Antara Adam dan Nuh terdapat jarak 10 abad, semuanya (beragama) Islam.” [Asy-Syaikh Abdullah At-Turki, pentahqiq kitab berkata bahwa ia tidak mengetahui riwayat ini dalam Shahih Bukhari, tetapi diriwayatkan Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam Tafsir (29/99) dari jalan Ikrimah].

Allah Ta’ala berfirman :

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”.” (QS. Al Anbiya’: 25). Inti agama Islam adalah tauhid yaitu penyembahan kepada Allah Ta’ala semata, hanya saja pada syari’at para Nabi terdahulu belum dinamakan Islam, namun inti ajaran mereka sama yaitu tauhid, dinamakan Islam ketika masa Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai penutup para Nabi dan Rasul.

Jika yang dimaksud abad disini adalah seratus tahun, maka jarak antara keduanya adalah seribu tahun tetapi tidak dapat dinafikan pula bahwa jaraknya lebih dari itu berlandaskan apa yang dikatakan Ibnu Abbas dengan menyertakan kata Islam dalam riwayat tersebut, yaitu bisa jadi ada jarak beberapa abad bahwa mereka tidak dalam keadaan Islam tetapi hadits Abu Umamah menandakan bahwa hanya terbatas pada 10 abad. Selain itu Ibnu Abbas menambahkan bahwa semuanya sudah memeluk Islam. Maka ini membantah perkataan ahli sejarah dan ahli kitab bahwa Qabil dan lainnya menyembah api. Dengan demikian, generasi sebelum Nuh berumur panjang.


Nabi Nuh Diutus Allah Kepada Para Penyembah Berhala

Nabi Nuh ‘Alaihissalam diutus Allah Ta’ala pada saat umat manusia menyembah berhala dan thaghut. Selain itu umat manusia memerintahkan kepada kesesatan dan kekafiran, maka Allah Azza wa Jalla mengutus Nabi Nuh sebagai bentuk rahmatNya. Beliau adalah seorang Rasul pertama yang diutus ke bumi sebagaimana yang dikatakan oleh para ahli Mahsyar pada hari kiamat [Lihat Shahih Muslim hadits no. 292, Kitab Iman]. Nama kaum Nuh adalah Bani Rasib sebagaimana yang menjadi pendapat Ibnu Jarir Ath-Thabari dan yang lainnya.

Para ulama dan ahli sejarah berbeda pendapat tentang pada usia keberapakah Nabi Nuh diutus sebagai Rasul, rinciannya sebagai berikut :

– Ada yang berpendapat, beliau diutus pada saat berusia 50 tahun.

– Ada yang berpendapat pada saat berusia 350 tahun.

– Ada pula sebuah riwayat yang mengatakan dia diutus pada usia 480 tahun. Berbagai pendapat ini disebutkan oleh Ibnu Jarir dan dia menyandarkan pendapat yang ketika kepada Ibnu Abbas.



Asal-Muasal Penyembahan Berhala Pada Kaum Nabi Nuh

Allah Ta’ala berfirman :

لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ

قَالَ الْمَلأ مِنْ قَوْمِهِ إِنَّا لَنَرَاكَ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ

قَالَ يَا قَوْمِ لَيْسَ بِي ضَلالَةٌ وَلَكِنِّي رَسُولٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ

أُبَلِّغُكُمْ رِسَالاتِ رَبِّي وَأَنْصَحُ لَكُمْ وَأَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ

أَوَعَجِبْتُمْ أَنْ جَاءَكُمْ ذِكْرٌ مِنْ رَبِّكُمْ عَلَى رَجُلٍ مِنْكُمْ لِيُنْذِرَكُمْ وَلِتَتَّقُوا وَلَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

فَكَذَّبُوهُ فَأَنْجَيْنَاهُ وَالَّذِينَ مَعَهُ فِي الْفُلْكِ وَأَغْرَقْنَا الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا عَمِينَ

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya.” Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat). Pemuka-pemuka dari kaumnya berkata: “Sesungguhnya kami memandang kamu berada dalam kesesatan yang nyata”. Nuh menjawab: “Hai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikit pun tetapi aku adalah utusan dari Tuhan semesta alam”. “Aku sampaikan kepadamu amanat-amanah Tuhanku dan aku memberi nasihat kepadamu, dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui”. Dan apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepada kamu peringatan dari Tuhanmu dengan perantaraan seorang laki-laki dari golonganmu agar dia memberi peringatan kepadamu dan mudah-mudahan kamu bertakwa dan supaya kamu mendapat rahmat? Maka mereka mendustakan Nuh, kemudian Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya).” [QS Al-A’raaf : 59-64].

Di awal sudah disebutkan bahwa jarak antara Adam dan Nuh adalah 10 abad, semuanya berada di atas Islam. Kemudian setelah abad-abad yang lurus itu maka terjadilah berbagai masalah hingga akhirnya keadaan umat manusia di zaman itu pun berubah kepada penyembahan berhala. Adapun sebabnya adalah seperti apa yang difirmankan oleh Allah Ta’ala :

وَقَالُوا لا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلا سُوَاعًا وَلا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا

“Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa’, yaghuts, ya’uq dan nasr”. [QS Nuh : 23]. 

Ibnu Abbas menafsirkan ayat ini bahwa yang dimaksud oleh ayat ini adalah nama-nama orang shalih dari kaum Nabi Nuh ‘Alaihissalam. Demikianlah yang diriwayatkan Imam Bukhari dari jalan Ibnu Juraij, dari Atha’. [HR Bukhari no. 4566, Kitab Tafsir, Bab Tafsir Surat Nuh : 23]

Ketika orang-orang shalih itu telah wafat, syetan mengilhamkan kepada kaum mereka untuk membuatkan berhala-berhala mereka di majelis tempat mereka biasa beribadah dan menamakannya dengan nama-nama mereka. Maka kaum pun melakukannya, tetapi berhala-berhala itu belum disembah melainkan setelah mereka semua wafat dan ilmu pun telah hilang, terjadilah penyembahan berhala-berhala oleh kaum tersebut. Ibnu Abbas berkata, berhala-berhala yang ada pada kaum Nabi Nuh ini juga ada pada berhala bangsa Arab jahiliyyah. Demikianlah yang dikatakan Ikrimah, Adh-Dhahhak, Qatadah dan Ibnu Ishaq.

Imam Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Urwah bin Az-Zubair bahwa ia berkata, “Wadd, Yaghuts, Ya’uq, Suwa’ dan Nasr adalah keturunan Nabi Adam. Wadd adalah orang yang paling tua dan yang paling ta’at kepada Allah Ta’ala. [HR Ibnu Abu Hatim (At-Tafsir no. 18996)].

Ibnu Abu Hatim berkata, disebutkan Yazid bin Al-Muhallab di hadapan Abu Ja’far Muhammad Al-Baqir. Al-Baqir berkata, “Sesungguhnya dia mati terbunuh di sebuah daerah yang di dalamnya terjadi penyembahan selain Allah untuk pertama kali.” Kemudian ditanyakan padanya tentang Waddan, Al-Baqir menjawab, “Dia seorang lelaki muslim, sangat dicintai kaumnya. Ketika ia wafat, mereka mengelilingi kuburannya dan meratap disana. Lalu datanglah iblis melihat kesempatan ini dengan berwujud sebagai manusia, ia berkata kepada mereka, ‘Aku mendengar ratapan kalian, apakah kalian mau aku gambarkan wajahnya sehingga bisa kalian kenang?’ Mereka menjawab, ‘Ya, kami mau.’ Kemudian iblis pun menggambarkannya. Mereka pun meletakkan gambar tersebut di majelis agar mereka mudah mengingatnya. Iblis pun melanjutkan tipuannya, ‘Apakah kalian mau aku buatkan patung hingga bisa kalian letakkan di rumah-rumah kalian untuk dikenang?’ Mereka menjawab, ‘Ya, kami mau.’ Maka Iblis pun membuatkannya untuk setiap pemilik rumah satu berhala.” [HR Ibnu Abu Hatim (At-Tafsir no. 18997), didalam perawinya ada Abu Al-Muthahhir. Syaikh Al-Albani berkata bahwa dia tidak dikenal dan Ad-Daulabi tidak mencantumkannya dalam Al-Kuna wa Al-Asma’].

Dari sini dapat kita ambil pelajaran bahwa semua berhala ini disembah oleh sekelompok manusia. Dengan semakin bergulirnya zaman, gambar-gambar itu pun mereka personifikasikan menjadi berhala yang berjasad agar tampak lebih nyata kemudian setelah itu mereka menyembah berhala tersebut dan menyekutukan Allah Ta’ala, metode ibadah mereka pun sangat beragam.

“Sembahlah Allah, Jauhilah Berhala dan Thaghut”

Ketika Allah Ta’ala mengutus Nuh ‘Alaihissalam, beliau menyeru kaumnya untuk beribadah dan menyembah kepada Allah Ta’ala semata, tidak beribadah kepada selainNya seperti berhala, patung dan thaghut. Beliau menyeru agar kaumnya mengesakan Allah, tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan tidak ada Rabb seperti Dia. Allah Ta’ala berfirman :

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلالَةُ فَسِيرُوا فِي الأرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” [QS An-Nahl : 36].

Kemudian firmanNya:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. [QS Al-Anbiya’ : 25].

Nabi Nuh ‘Alaihissalam menyeru dan berdakwah kepada kaumnya dengan berbagai macam cara, siang, malam, baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, terkadang dengan targhib (motivasi), terkadang dengan tarhib (ancaman), semua karena beliau ingin agar kalimat Tauhid tegak di muka bumi, namun tidak pernah berhasil, bahkan sebagian besar kaumnya tetap berada dalam kesesatan dan kekafiran dengan terus beribadah kepada patung dan berhala. Para pemuka kaum Nuh dan rakyatnya yang kafir malah mengancam Nabi Nuh dan mengancam siapa saja yang beriman kepada Nuh dengan rajam dan pengusiran. Allah Ta’ala berfirman :

قَالَ الْمَلأ مِنْ قَوْمِهِ إِنَّا لَنَرَاكَ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ

قَالَ يَا قَوْمِ لَيْسَ بِي ضَلالَةٌ وَلَكِنِّي رَسُولٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Pemuka-pemuka dari kaumnya berkata: “Sesungguhnya kami memandang kamu berada dalam kesesatan yang nyata”. Nuh menjawab: “Hai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikit pun tetapi aku adalah utusan dari Tuhan semesta alam”. [QS Al-A’raaf : 60-61]. Ibnu Katsir berkata, maksud ayat ini adalah, aku bukanlah seorang yang sesat sebagaimana yang kalian sangka bahkan aku berada di atas petunjuk yang lurus, seorang utusan dari Allah, Tuhan semesta alam.

Namun kaum Nabi Nuh dan para pemukanya berkata kepada Nabi Nuh sebagaimana firman Allah Ta’ala :

فَقَالَ الْمَلأ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ مَا نَرَاكَ إِلا بَشَرًا مِثْلَنَا وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِ وَمَا نَرَى لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍ بَلْ نَظُنُّكُمْ كَاذِبِينَ

Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: “Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta”. [QS Huud : 27]. Ibnu Katsir berkata, perkataan kaum Nuh, “Yang lekas percaya saja,” ini adalah celaan dan hinaan kepada pengikut Nuh karena mereka mau saja menerima apapun yang dikatakan Nabi Nuh tanpa adanya perdebatan dan pertimbangan. Adapun perkataan kekafiran kaum Nuh untuk Nabi Nuh dan para pengikutnya adalah, “kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami,” maksudnya adalah tidak terlihat jelas kelebihan kalian (Nabi Nuh dan para pengikutnya) setelah kalian memeluk Islam atas diri kami.

Nabi Nuh berkata kepada mereka sebagaimana firman Allah Ta’ala :

قَالَ يَا قَوْمِ أَرَأَيْتُمْ إِنْ كُنْتُ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَآتَانِي رَحْمَةً مِنْ عِنْدِهِ فَعُمِّيَتْ عَلَيْكُمْ أَنُلْزِمُكُمُوهَا وَأَنْتُمْ لَهَا كَارِهُونَ

“Hai kaumku, bagaimana pikiranmu, jika aku ada mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku, dan diberinya aku rahmat dari sisi-Nya, tetapi rahmat itu disamarkan bagimu. Apa akan kami paksakankah kamu menerimanya, padahal kamu tiada menyukainya?” [QS Huud : 28]. Inilah sikap lemah lembut Nabi Nuh ‘Alaihissalam dan metode dakwah yang santun untuk mengajak umat manusia ke jalan kebenaran. Namun tetap saja kaumnya tidak mau mendengar perkataan beliau, bahkan mereka menyuruh Nabi Nuh untuk mengusir pengikut-pengikutnya yang terdiri dari orang-orang fakir dan kaum papa jika Nabi Nuh masih ingin tinggal di negeri itu. Nabi Nuh berkata :

وَيَا قَوْمِ مَنْ يَنْصُرُنِي مِنَ اللَّهِ إِنْ طَرَدْتُهُمْ أَفَلا تَذَكَّرُونَ

وَلا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلا أَقُولُ إِنِّي مَلَكٌ وَلا أَقُولُ لِلَّذِينَ تَزْدَرِي أَعْيُنُكُمْ لَنْ يُؤْتِيَهُمُ اللَّهُ خَيْرًا اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا فِي أَنْفُسِهِمْ إِنِّي إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ

Dan (dia berkata): “Hai kaumku, siapakah yang akan menolongku dari (azab) Allah jika aku mengusir mereka. Maka tidakkah kamu mengambil pelajaran?” Dan aku tidak mengatakan kepada kamu (bahwa): “Aku mempunyai gudang-gudang rezeki dan kekayaan dari Allah, dan aku tiada mengetahui yang gaib, dan tidak (pula) aku mengatakan: “Bahwa sesungguhnya aku adalah malaikat”, dan tidak juga aku mengatakan kepada orang-orang yang dipandang hina oleh penglihatanmu: “Sekali-kali Allah tidak akan mendatangkan kebaikan kepada mereka”. Allah lebih mengetahui apa yang ada pada diri mereka; sesungguhnya aku, kalau begitu benar-benar termasuk orang-orang yang zhalim.” [QS Huud : 30-31].

Nabi Nuh juga seorang manusia, maka beliau tidaklah mengetahui hal-hal ghaib melainkan sebatas yang diwahyukan Allah kepadanya. Dan beliau tidak akan bersaksi bahwa pengikutnya yang terdiri dari orang-orang fakir itu tidak memiliki kebaikan akan tetapi Allah Maha Mengetahui mereka dan mereka akan diganjar atas apa yang mereka lakukan. Allah Ta’ala berfirman :

قَالُوا أَنُؤْمِنُ لَكَ وَاتَّبَعَكَ الأرْذَلُونَ

قَالَ وَمَا عِلْمِي بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

إِنْ حِسَابُهُمْ إِلا عَلَى رَبِّي لَوْ تَشْعُرُونَ

وَمَا أَنَا بِطَارِدِ الْمُؤْمِنِينَ

Mereka berkata: “Apakah kami akan beriman kepadamu, padahal yang mengikuti kamu ialah orang-orang yang hina?” Nuh menjawab: “Bagaimana aku mengetahui apa yang telah mereka kerjakan? Perhitungan (amal perbuatan) mereka tidak lain hanyalah kepada Tuhanku, kalau kamu menyadari. Dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang beriman. [QS Asy-Syu’ara : 111-114].


Kaum Nabi Nuh Meminta Azab
Allah Ta’ala berfirman :

فَلَبِثَ فِيهِمْ أَلْفَ سَنَةٍ إِلا خَمْسِينَ عَامًا

“Maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun.” [QS Al-Ankabut : 14]

Waktu terus bergulir namun perdebatan terus terjadi antara Nabi Nuh dengan kaumnya yang kafir. Bersamaan dengan masa yang lama ini (seribu tahun kurang lima puluh tahun), tidak ada yang beriman kepada Nabi Nuh ‘Alahissalam melainkan hanya beberapa orang saja. Setiap satu generasi akan habis maka mereka mewasiatkan kepada orang-orang yang hidup setelahnya untuk tidak beriman kepada beliau, memerintahkan untuk memeranginya dan mengingkarinya. Maka, karakteristik kaum Nabi Nuh adalah kaum yang menolak kebenaran dan keimanan. Mereka meminta kepada Nabi Nuh untuk tidak memperpanjang bantahan, oleh karena itu mereka minta didatangkan azab jika memang beliau adalah orang yang benar. Perkataan mereka :

قَالُوا يَا نُوحُ قَدْ جَادَلْتَنَا فَأَكْثَرْتَ جِدَالَنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ

قَالَ إِنَّمَا يَأْتِيكُمْ بِهِ اللَّهُ إِنْ شَاءَ وَمَا أَنْتُمْ بِمُعْجِزِينَ

Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami azab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar”. Nuh menjawab: “Hanyalah Allah yang akan mendatangkan azab itu kepadamu jika Dia menghendaki dan kamu sekali-kali tidak dapat melepaskan diri. [QS Huud : 32-33].

Nabi Nuh ‘Alaihissalam bersedih karena pada akhirnya kaumnya tetap tidak mau beriman kepadanya dan mengikuti ajaran-ajarannya, malahan kaum yang kafir itu meminta untuk didatangkan azab. Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Nuh :

وَأُوحِيَ إِلَى نُوحٍ أَنَّهُ لَنْ يُؤْمِنَ مِنْ قَوْمِكَ إِلا مَنْ قَدْ آمَنَ فَلا تَبْتَئِسْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ

“Dan diwahyukan kepada Nuh, bahwasanya sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja), karena itu janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan.” [QS Huud : 36]. Allah Ta’ala menghibur Nabi Nuh dengan memberitahukan bahwa kaumnya itu tidak akan ada yang beriman kecuali orang-orang yang memang telah beriman kepadanya, oleh karena itu tidak sepantasnya Nabi Nuh bersedih hati dan kecewa karena kemenangan yang telah dijanjikan itu sudah dekat, yaitu waktu untuk kedatangan azab yang memang telah diminta kaumnya.


Wahyu Allah Untuk Membuat Bahtera
Allah Ta’ala berfirman :

وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا وَلا تُخَاطِبْنِي فِي الَّذِينَ ظَلَمُوا إِنَّهُمْ مُغْرَقُونَ

Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang yang lalim itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. [QS Huud : 37].

Nabi Nuh ‘Alaihissalam pun berdo’a kepada Allah Ta’ala :

قَالَ رَبِّ إِنَّ قَوْمِي كَذَّبُونِ

فَافْتَحْ بَيْنِي وَبَيْنَهُمْ فَتْحًا وَنَجِّنِي وَمَنْ مَعِيَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

Nuh berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah mendustakan aku; maka itu adakanlah suatu keputusan antaraku dan antara mereka, dan selamatkanlah aku dan orang-orang yang mu’min besertaku”. [QS Asy-Syu’ara : 117-118]. Maka terhimpunlah kesalahan-kesalahan kaum Nabi Nuh diantaranya adalah kekufuran, kefasikan serta do’a keburukan yang dipanjatkan Nabi dan Rasul mereka, oleh karena itu Allah Ta’ala mewahyukan kepada beliau untuk membuat bahtera yaitu kapal laut yang sangat besar karena azab untuk kaumnya akan segera tiba. Allah berfirman kepada beliau bahwa beliau tidak perlu ambil pusing lagi atas apa yang dilakukan kaumnya sebab mereka sudah pasti tidak akan pernah mengikuti beliau.

Allah Ta’ala berfirman :

وَيَصْنَعُ الْفُلْكَ وَكُلَّمَا مَرَّ عَلَيْهِ مَلأ مِنْ قَوْمِهِ سَخِرُوا مِنْهُ قَالَ إِنْ تَسْخَرُوا مِنَّا فَإِنَّا نَسْخَرُ مِنْكُمْ كَمَا تَسْخَرُونَ

“Dan mulailah Nuh membuat bahtera. Dan setiap kali pemimpin kaumnya berjalan melewati Nuh, mereka mengejeknya. Berkatalah Nuh: “Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek (kami).” [QS Huud : 38].

Maka mulailah beliau membuat bahtera tersebut dan tentu saja kaumnya mengejek apa yang beliau lakukan ini. Ada saja ejekan dan hinaan yang dilontarkan oleh kaum Nabi Nuh kepada beliau dan mereka mengejek beliau bahwa azab itu pun tidak akan datang karena itu adalah sesuatu yang mustahil. Nabi Nuh pun membalas ejekan mereka, “Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek (kami),” maksudnya adalah kamilah yang seharusnya mengejek kalian dan merasa heran kepada kalian karena terus menerus dalam kekafiran dan pertentangan yang mana semua itu akan mendatangkan azab. Sebagian ulama salaf berkata bahwa ketika Allah Ta’ala mengijabah do’a Nabi Nuh, Allah memerintahkan beliau untuk menanam pohon untuk dijadikan perahu. Maka beliau pun menanam pohon lalu menunggunya hingga seratus tahun, kemudian menebangnya dan merautnya pada seratus tahun berikutnya. Namun ada pendapat bahwa hanya 40 tahun. Allahu a’lam.

Ibnu Abbas berpendapat bahwa panjang bahtera Nabi Nuh adalah 1200 hasta dan lebarnya 600 hasta. Ada yang mengatakan 2000 hasta dan lebarnya 100 hasta. Tetapi semuanya berpendapat tingginya 30 hasta. Bahtera tersebut memiliki 3 lantai, jarak antara tiap lantai 10 hasta, lantai dasar untuk binatang ternak dan satwa liar, lantai tengah untuk manusia dan lantai atas untuk burung. Pintunya berada di bagian depan sementara bagian atas kapalnya memiliki penutup. Allahu a’lam.

Allah Ta’ala berfirman :

فَإِذَا جَاءَ أَمْرُنَا وَفَارَ التَّنُّورُ فَاسْلُكْ فِيهَا مِنْ كُلٍّ زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ وَأَهْلَكَ إِلا مَنْ سَبَقَ عَلَيْهِ الْقَوْلُ مِنْهُمْ وَلا تُخَاطِبْنِي فِي الَّذِينَ ظَلَمُوا إِنَّهُمْ مُغْرَقُونَ

“Maka apabila perintah Kami telah datang dan tannur telah memancarkan air, maka masukkanlah ke dalam bahtera itu sepasang dari tiap-tiap (jenis), dan (juga) keluargamu, kecuali orang yang telah lebih dahulu ditetapkan (akan ditimpa azab) di antara mereka. Dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zhalim, karena sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.” [QS Al-Mu’minun : 27]. Allah Ta’ala memerintahkan Nabi Nuh untuk membawa ke dalam bahteranya setiap hewan yang berpasangan dan semua makhluk hidup juga semua makanan untuk kelangsungan hidup mereka. Selain itu, beliau juga diperintahkan untuk membawa serta keluarganya, “kecuali orang yang telah lebih dahulu ditetapkan (akan ditimpa azab) di antara mereka,” dan kecuali orang-orang kafir, karena telah sampai dakwah dan hujjah kepada mereka. Beliau tidak perlu memikirkan mereka lagi karena mereka sudah ditakdirkan akan mendapat azab yang dahsyat dari Allah Azza wa Jalla.

Jumhur ulama berpendapat bahwa “At-Tanawwur” adalah muka bumi, maksudnya adalah bumi yang mengeluarkan air dari berbagai arah hingga terpancar juga api dari dalamnya. Ali bin Abi Thalib berkata, At-Tanawwur adalah waktu fajar/subuh dan tanwir Al-Fajr adalah cahaya fajar yakni ketika waktu itu tiba pada waktu fajar maka bawalah setiap yang berpasangan. Ini adalah pendapat yang gharib.

Sebagian ulama meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa yang paling pertama masuk bahtera Nuh adalah burung Ad-Durrah (sejenis beo) dan yang paling terakhir masuk adalah hewan dan keledai. Iblis juga masuk dengan bergelayutan di perut keledai [HR Ibnu Jarir (At-Tafsir 12/37); sanadnya terdiri dari para perawi dha’if].

Al-Hafizh Ibnu Abu Hatim berkata, dari Aslam, bahwa Rasulullah bersabda, “Ketika Nuh membawa seluruh pasangan dua-dua ke dalam bahtera, para pengikutnya berkata, ‘Bagaimana kita merasa nyaman -atau bagaimana hewan ternak merasa aman- sedangkan kita tinggal bersama singa.’ Maka Allah Ta’ala memberikan demam kepada singa dan itu merupakan demam pertama yang Allah turunkan ke bumi. Kemudian mereka mengadukan tikus, ‘Al-Fuwaisiqah merusak makanan dan barang-barang kami.’ Lalu Allah mewahyukan kepada singa, singa tersebut bersin dan keluarlah kucing darinya, tikus tersebut bersembunyi darinya.” [HR Ibnu Abu Hatim (At-Tafsir no. 10871); dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Shalih, juru tulis Laits, shaduq katsirul ghalath dan Ibnu Katsir berkata ini hadits mursal].

Para ulama berbeda pendapat terkait jumlah penumpang bahtera Nabi Nuh, diantaranya :

– Ibnu Abbas berkata bahwa mereka berjumlah 80 orang bersama para istri mereka.

– Ka’ab Al-Ahbar berkata mereka ada 72 orang.

– Sebagian ulama berkata 10 orang.

– Sebagian lagi berkata, Nuh bersama anaknya yang tiga dan Kan’an yang empat yang kemudian tewas tenggelam. Namun perkataan ini bertentangan dengan zhahir ayat, karena ditetapkan bahwa yang turut serta ke dalam bahtera adalah orang-orang yang beriman.

Anak-anak Nabi Nuh berjumlah 4 orang, yaitu Ham, Sam, Yafits dan Yaam yang oleh ahli kitab dinamakan Kan’an. Yaam atau Kan’an inilah anak yang durhaka kepada Nabi Nuh yang akhirnya tewas tenggelam. Dan ada perbedaan pendapat mengenai istri Nabi Nuh, ada yang berkata bahwa dia adalah termasuk orang yang tenggelam dan juga termasuk yang sebelumnya dikatakan kekufurannya. Sedangkan ahli kitab berpendapat dia ikut masuk ke dalam bahtera dan kafir setelahnya atau ditangguhkan azab baginya hingga hari kiamat. Pendapat pertama lebih mendekati kebenaran karena sesuai firman Allah Ta’ala :

وَقَالَ نُوحٌ رَبِّ لا تَذَرْ عَلَى الأرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّارًا

“Nuh berkata: “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.” [QS Nuh : 26].

Terjadilah Azab Allah yaitu Angin Topan dan Banjir Bandang

Hari dan azab yang dijanjikan pun tiba. Pada hari yang mengerikan itu, bumi seakan-akan memuntahkan apa yang ada di dalamnya, angin topan dan banjir bandang yang dahsyat, bencana besar kepada kaum yang kafir dan azab yang mereka nanti-nantikan. Sungguh, Maha Benar Allah akan segala janjiNya untuk memenangkan kaum mukminin yang hanya beribadah saja kepadaNya serta kecelakaan besar kepada kaum yang menyekutukanNya. Para ulama seperti Ibnu Jarir telah menyebutkan bahwa angin topan terjadi pada tanggal 13 bulan Ab, pada hitungan koptik, sebagaimana firman Allah Ta’ala :

لِنَجْعَلَهَا لَكُمْ تَذْكِرَةً وَتَعِيَهَا أُذُنٌ وَاعِيَةٌ

“Agar kami jadikan peristiwa itu peringatan bagi kamu dan agar diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar.” [QS Al-Haqqah : 12]

Sekelompok ahli tafsir berkata, air pasang ke atas permukaan bumi hingga mencapai gunung-gunung, 15 hasta dan itu merupakan pendapat ahli kitab [HR Ibnu Jarir (At-Tafsir 29/54); Abdurrazzaq (no. 3306); dan disebutkan As-Suyuthi (Ad-Duur Al-Mantsur 6/407)]. Ada yang mengatakan hingga 80 hasta [HR Ibnu Abu Hatim (At-Tafsir no. 1594)], hingga semua isi bumi terselimuti air tersebut dan tidak ada makhluk hidup yang tersisa baik yang kecil maupun yang besar.

Allah Ta’ala berfirman :

وَهِيَ تَجْرِي بِهِمْ فِي مَوْجٍ كَالْجِبَالِ وَنَادَى نُوحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَا بُنَيَّ ارْكَبْ مَعَنَا وَلا تَكُنْ مَعَ الْكَافِرِينَ

قَالَ سَآوِي إِلَى جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ الْمَاءِ قَالَ لا عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِلا مَنْ رَحِمَ وَحَالَ بَيْنَهُمَا الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِينَ

Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.” Anaknya menjawab: “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!” Nuh berkata: “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang”. Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” [QS Huud : 42-43]

Anak Nabi Nuh yang dimaksud dalam firman Allah Ta’ala adalah Yaam (Kan’an), saudara Sam, Ham dan Yafits. Dia kafir dan mengerjakan amalan yang tidak shalih. Dia menentang ayahnya dalam agama dan madzhabnya maka dia pun ditenggelamkan dan mati sementara yang tidak senasab dengan ayahnya (yaitu pengikut-pengikut Nabi Nuh) justru selamat karena mengikuti agama ayahnya.

Pelajaran berharga:

Nabi Nuh yang adalah seorang Rasul Allah, tidak kuasa menyelamatkan anaknya dari bencana dan azab, ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa nasab seseorang biarpun ia adalah keturunan orang shalih, Nabi atau Rasul, sama sekali tidak bermanfaat jika sudah sampai pengadilan Allah karena yang diperhitungkan oleh Allah Ta’ala adalah amal shalih seseorang. Jika ia bertauhid dan banyak beramal shalih sesuai ajaran, maka itulah yang akan menyelamatkannya. Jika ia tidak bertauhid, tidak beramal shalih, banyak berbuat bid’ah, kufur, maka itulah yang akan membinasakannya. Benarlah seperti yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, “Barangsiapa lambat dalam amalnya, maka nasabnya tidak akan bisa mempercepatnya.”


Keluarnya Nabi Nuh dan Pengikutnya dari Dalam Bahtera

Allah Ta’ala berfirman:

قِيلَ يَا نُوحُ اهْبِطْ بِسَلامٍ مِنَّا وَبَرَكَاتٍ عَلَيْكَ وَعَلَى أُمَمٍ مِمَّنْ مَعَكَ وَأُمَمٌ سَنُمَتِّعُهُمْ ثُمَّ يَمَسُّهُمْ مِنَّا عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Difirmankan: “Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkahan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang mukmin) dari orang-orang yang bersamamu. Dan ada (pula) umat-umat yang Kami beri kesenangan pada mereka (dalam kehidupan dunia), kemudian mereka akan ditimpa azab yang pedih dari Kami.” [QS Huud : 48]

Ini merupakan perintah kepada Nabi Nuh ‘Alaihissalam ketika topan telah mereda dan air sudah surut pada permukaan bumi, sehingga Nuh dan pengikutnya dapat melangkah di atasnya, tinggal disana, untuk turun dari bahtera setelah mereka melakukan perjalanan yang sangat dahsyat di atas gunung Judi, sesuai dengan firman Allah Ta’ala :

وَقِيلَ يَا أَرْضُ ابْلَعِي مَاءَكِ وَيَا سَمَاءُ أَقْلِعِي وَغِيضَ الْمَاءُ وَقُضِيَ الأمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيِّ وَقِيلَ بُعْدًا لِلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

“Dan difirmankan: “Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah,” Dan air pun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itu pun berlabuh di atas gunung Judi, dan dikatakan: “Binasalah orang-orang yang zhalim.” [QS Huud : 44].

Maksud dari firman Allah, “Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkahan dari Kami,” adalah turunlah dengan selamat dan penuh keberkahan atasmu dan atas umatmu yang akan melahirkan generasi selanjutnya, yakni dari anak-anakmu, sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menjadikan keturunan selain dari Nuh ‘Alaihissalam. Ini sesuai dengan firman Allah :

وَجَعَلْنَا ذُرِّيَّتَهُ هُمُ الْبَاقِينَ

“Dan Kami jadikan anak cucunya orang-orang yang melanjutkan keturunan.” [QS Ash-Shaffat : 77].

Maka semua yang berada di atas permukaan bumi pada hari itu hingga sekarang berasal dari tiga anak Nuh yaitu Sam, Ham dan Yafits.

Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari sahabat Samurah bin Jundab bahwa Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sam adalah nenek moyang bangsa arab, Ham adalah nenek moyang bangsa Habasyah dan Yafits adalah nenek moyang bangsa Romawi. [HR Ahmad no. 19594; Syaikh Al-Albani mendha’ifkannya dalam Adh-Dha’ifah no. 3683].

Al-Hafizh Al-Bazzar meriwayatkan dari Sa’id Al-Musayyib, dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Nuh dikaruniai anak yang bernama Sam, Ham dan Yafits. Sam dikaruniai bangsa Arab, Persia dan Romawi, kebaikan berada di atas mereka. Yafits dikaruniai bangsa Ya’juj dan Ma’juj, Turki dan Ash-Shaqabilah yang mana tidak ada kebaikan atas mereka. Sedangkan Ham dikaruniai bangsa Koptik, Barbar dan Sudan.” [HR Al-Bazzar (Al-Kasyf no. 218); Ad-Dailami (Musnad Al-Firdaus no. 7124)].

Ibnu Abbas berkata, “Kaum lelaki yang bersama Nuh ‘Alaihissalam di dalam bahtera berjumlah 80 orang, mereka ditemani oleh keluarga mereka dan mereka berada dalam bahtera selama 150 hari. Allah Ta’ala mengarahkan bahtera tersebut ke Makkah, berkeliling di Al-Bait selama 40 hari, lalu Allah mengarahkannya ke gunung Judi dan menetap disana. Lalu Nuh mengutus gagak untuk mengetahui kabar bumi, gagak itu pun terbang dan berhenti pada seonggok mayat, kemudian Nuh mengutus merpati lalu ia pun datang dengan membawa daun zaitun dan daun tin di cakarnya, maka Nuh mengetahui bahwa air telah surut. Beliau pun turun ke bawah gunung Judi dan membangun sebuah desa dan menamakan desa itu Tsamanin. Hingga pada suatu hari lidah mereka terbiasa dengan 80 bahasa, salah satunya bahasa Arab, terkadang sebagian mereka tidak memahami bahasa sebagian yang lain, lalu Nabi Nuh menjelaskan kepada mereka.” [HR Ibnu Abu Hatim (At-Tafsir no. 10882)].

Qatadah dan yang lainnya berkata, “Mereka naik ke dalam bahtera pada tanggal 10 Rajab dan mengarungi bumi selama 150 hari dan menetap di Judi selama sebulan. Mereka keluar dari bahtera pada hari Asyura di bulan Muharram.” [HR Ibnu Jarir (At-Tafsir 12/47, Tarikh 1/118)].

Sebagian kalangan orang-orang bodoh dari Persia dan India, mengingkari adanya peristiwa topan dan banjir bandang, tetapi sebagian lagi mengakuinya, mereka berkata, “Banjir bah tersebut hanya terjadi di daerah Babil dan tidak sampai negeri kita. Dan kita masih mewarisi kekuasaan dari zaman Adam hingga sekarang.” Ini merupakan perkataan orang-orang zindiq Majusi para penyembah api dan para pengikut setan dan Iblis. Perkataan itu merupakan pendustaan terhadap Allah Tuhan Pencipta langit dan bumi. Sementara para pemuka agama dan para ulama telah sepakat, para perawi dari para Rasul telah menukil kabar peristiwa ini dengan jumlah mutawatir di kalangan manusia dari seluruh zaman yang menunjukkan bahwa memang peristiwa ini telah terjadi. Bencana ini ditimpakan ke seluruh muka bumi dan tidak ada orang kafir yang tersisa sebagai bentuk jawaban Allah Ta’ala terhadap do’a RasulNya yang ma’shum.

Allahu a’lamu bishawab.

Semoga bermanfaat.

[Al-Bidayah wa An-Nihayah karya Al-Hafizh Imadudin Abul Fida’ Ibnu Katsir dengan peringkasan, penerbit Pustaka Azzam]

Tidak ada komentar