Dan Burung Pun Bertasbih (An-Nur 41-45)

Pagi ini saya duduk-duduk sejenak menadabburi surat An-Nur bersama beberapa orang teman sambil mengiringi matahari terbit. Suasana pagi yang sejuk dan kicauan burung menambah suasana semakin terlihat bersenyawa dengan dunia nyata. 5 ayat surat an-Nur ini terasa sangat istimewa. Ayat 41 hingga ayat 45.

Dalam ayat ini Allah menjeaskan bahwa semua makhluk ciptaan-Nya bertasbih kepada-Nya. Pendahuluan yang dipilih Allah pun sangat terasa seolah kitalah yang menjadi audiens ayat-ayat ini. ”Tidakkah kamu lihat?” semakin menyadarkan kita, jangan-jangan selama ini kita tidak melihat fenomena alam yang tunduk pada Allah. Jangan-jangan hati kita tertutup oleh nafsu. Dan tema ayat ini memang Allah. Dzat yang sangat laik untuk ditasbihkan.

Dzat yang sangat laik untuk disucikan, dipuji dan dmintai pertolongan. Dzat yang kepada-Nya bertasbih orang-orang yang di langit dan di bumi.


Menariknya, burung-burung pun bertasbih kepada-Nya. Sangat luar biasa. Dalam surat al-Mulk ayat 19 pun Allah pun menempatkan burung sebagai pelajaran bagi manusia. Ketika Allah menyuruh kita merendahkan hati dengan menggunakan ”rendahkan sayap” semakin terasa sebuah ketawadhu’an karena burung yang tadinya terbang tinggi di atas awan, bagaimana mungkin bisa menukik. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar jernih hatinya. Tawadhu. Tak ada keangkuhan di hati, apalagi kesombongan.

Pun ketika Rasululah saw mengajarkan ketawakkalan meminta kita bisa belajar dari burung, pagi pergi berusaha mencari rizki dengan perut kosong, ketika pulang perut mereka pun penuh terisi. Sebuah pelajaran ketawakkalan dari burung yang –hanya- bermodalkan sepasang sayap.

Dalam surat al-Hajj ayat 18, bahkan Alah menjelaskan bahwa yang bersujud padanya adalah semua orang di langit dan di bumi, matahari, bulan, bintang-bintang, gunung-gunung dan pepohonan serta binatang-binatang melata serta tak sedikit dari manusia. Tapi tak sedikit pula manusia yang membangkang dan kemudian justru mendapatkan adzab-Nya. Waliyadzu billah.

Lihat pula di akhir-akhir surat Ali Imran, salah satu ciri-ciri Ulil Albab selain selalu berdzikir kepada Allah, mereka juga bertasbih kepada-Nya. ”Subhânaka faqinâ adzâbannar” Maha Suci Engkau, lindungilah dari adzab dan siksa neraka.

Ibnul Qayyim menadabburi ayat ini dengan sebuah perumpamaan jika ada pakaian kotor maka sangat laik dan perlu segera untuk dibersihkan. Jika penuh dosa dan khilaf maka seorang hamba sangat perlu untuk segera beristighfar, mohon maaf dan ampunan kepada Rabbnya. Setelah itu, ibarat pakaian yang sudah bersih kemudian perlu untuk disetrika. Demikian juga jika kita telah beristighfar, perbanyaklah bertasbih, menyucikan diri. Menyucikan Allah. Membersihkan sisa-sisa kotoran sambil menampilkan kerapian dan keteraturan jiwa yang fitrah ini.

Istighfar dan tasbih merupakan dua proses penampilan ideal. Mencuci baju dan menyetrikanya, demikian juga merupakan performance ideal manusia di depan sesamanya.


Karena Allah yang menjadi tema besar, karena Allah yang seperti itulah yang layak disucikan, disembah. Bagi-Nya segala kerajaan di tujuh langit dan bumi. Raja segala kerajaan yang pernah ada, sedang ada bahkan yang akan ada dan segala sesuatu yang pernah atau belum dibayangkan makhluk-makhluk-Nya.

Pada ayat selanjutnya kita lihat bagaimana Allah memperlakukan awan-awan yang diciptakan berlapis-lapis. Sebagian membawa rizki berupa air yang akan dikembalikan ke bumi. Bila kita sempat merenunginya dari tepi jendela tatkala kita seang berada dalam pesawat betapa gumpalan awan berada di bawah kita dengan berbagai bentuk dan macamnya. Awan tersebut menyimpan air yang diturunkan Allah ke bumi. Turunnya pun tidak seperti air bah. Tapi sedikit demi sedikit. Bahkan dimulai dari daerah yang tinggi, pegunungan dan pepohonan. Untuk di serap di bumi dan sebagian menjadi persediaan. Sebagian manusia mendapatkan rizki ini dan sebagian lainnya dipalingkan oleh Allah. Turunnya hujan ini pun kadang diikuti dengan kilatan petir yang cahayanya sangat menyilaukan mata.

Itulah Allah yang menjadikan fenomena alam demikian. Dialah yang membolak-balikkan siang dan malam. Coba kita bayangkan seandainya Allah menjadikan sepanjang hari kita malam saja. Maka dunia ini akan sangat gelap gulita. Siapakah yang akan memberikan penerangan. Demikian tutur Allah dalam surat al-Qashash ayat 71. Di akhir ayat Allah pun menggunakan ” afalâ tasma’ûn” (Apakah kalian tidak mendengar). Karena secara umum pada malam hari indera pendengaran kita lebih peka dibanding pada waktu siang. Pada ayat 72 Allah pun menanyakan, siapakah yang akan menjadikan malam sebagai tempat istirahat, seandainya Allah menjadikan sepanjang hari siang selamanya. Kemudian ditutup dengan ” afalâ tubshirûn” (Apakah kalian tidak melihat). Itu karena di waktu siang indera penglihatan kita lebih tajam dibanding pada waktu malam yang kekurangan cahaya/penerangan.Yang demikian tentunya hanya bisa dicerna oleh orang-orang yang berakal saja.

Pada ayat selanjutnya Allah menjelaskan tabiat penciptaan makhluk-makhluk-Nya. Uniknya, kali ini yang dijelaskan Allah adalah perilaku makhluk-makhluk Allah yang berjalan di muka bumi. Sebagian ada yang berjalan dengan ”perutnya”, sebagian lagi berjalan dengan ”dua kaki” dan sebagian lainnya berjalan dengan ”empat kaki”. Semua berjalan sesuai tabiat penciptaannya. Jika kiaskan dalam kehidupan kita sehari-hari, saat kita bisa berjalan kita sangat bersyukur betapa sebagian orang tidak bisa melakukannya atau seperti anak kecil ang tertatih-tatih berjalan. Kemudian saat berkendaraan roda dua kita pun bisa menyukuri keadaan. Ketika berkendaraan roda empat pun kita bisa semakin bersyukur.

Dan bukan berarti makhluk Allah yang berjalan dengan perut selalu menjadi lemah. Lihatlah ular, binatang melata ini tak punya kaki. Tapi ia hidup dengan jaminan Allah. Ia difasilitasi Allah sehingga bisa survive. Bahkan ia terlihat ganas dan buas. Lihatlah ikan dengan berbagai jenisnya, mereka tak memiliki kaki. Demikian pula makhluk Allah yang berkaki dua atau empat, masing-masing memiliki keistimewaan yang dibekali oleh Allah. Yang jelas semuanya bertasbih kepada Allah ”Tapi kalian takkan memahami (cara) mereka bertasbih kepada-Nya”.

Tak terasa lima ayat ini benar-benar menjelma menjadi hidangan Allah yang sangat lezat. Terutama bila kita menadabburinya dengan kejernihan hati. Surat An-Nur ini benar-benar mencerahkan seperti namanya ”annur” yang berarti cahaya. Semoga hati kita senantiasa diterangi oleh cahaya Allah sehingga kejernihannya tetap terjaga. Amin.
---------------------------------------------
Oleh : Dr. H. Saiful Bahri, M.A
Ph.D-Tafsir Universitas Al Azhar, Cairo, Dosen, Trainer, Penceramah dan Konsultan Kajian Keislaman.

Tidak ada komentar