7 Golongan Yang Allah Naungi di Hari Yaumil Akhir

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَا 
“Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya:
1. Pemimpin yang adil.
2. Pemuda yang tumbuh di atas kebiasaan ‘ibadah kepada Rabbnya.
3. Lelaki yang hatinya terpaut dengan masjid.
4. Dua orang yang saling mencintai karena Allah, sehingga mereka tidak bertemu dan tidak juga berpisah kecuali karena Allah.
5. Lelaki yang diajak (berzina) oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik lalu dia berkata, ‘Aku takut kepada Allah’.
6. Orang yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi, hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya.
7. Orang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sendiri hingga kedua matanya basah karena menangis.”  (HR. Al-Bukhari no. 620 dan Muslim no. 1712)

Penjelasan:
Ketujuh orang yang tersebut dalam hadits di atas, walaupun lahiriah amalan mereka berbeda-beda bentuknya, akan tetapi semua amalan mereka itu mempunyai satu sifat yang sama yang membuat mereka semua mendapat naungan Allah Ta’ala. Sifat itu adalah mereka sanggup menyelisihi dan melawan hawa nafsu mereka guna mengharapkan keridhaan Allah dan ketaatan kepada-Nya.

1.  Pemimpin yang adil.
Dia adalah manusia yang paling dekat kedudukannya dengan Allah Ta’ala pada hari kiamat. Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا
“Orang-orang yang berlaku adil berada di sisi Allah di atas mimbar yang terbuat dari cahaya, di sebelah kanan Ar-Rahman Azza wa Jalla -sedangkan kedua tangan Allah adalah kanan semua-. Yaitu orang-orang yang berlaku adil dalam hukum, adil dalam keluarga dan adil dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepada mereka.” (HR. Muslim no. 3406)

2.  Pemuda yang tumbuh di atas kebiasaan ‘ibadah kepada Rabbnya.
Hal itu karena dorongan dan ajakan kepada syahwat di masa muda mencapai pada puncaknya, karenanya kebanyakan awal penyimpangan itu terjadi di masa muda. Tapi tatkala seorang pemuda sanggup untuk meninggalkan semua syahwat yang Allah Ta’ala haramkan karena mengharap ridha Allah, maka dia sangat pantas mendapatkan keutamaan yang tersebut dalam hadits di atas, yaitu dinaungi oleh Allah di padang mahsyar.

3.  Lelaki yang hatinya terpaut dengan masjid.
Sungguh Allah Ta’ala telah memuji semua orang yang memakmurkan masjid secara umum di dalam firman-Nya:


في بيوت أذن الله أن ترفع ويذكر فيها اسمه يسبح له فيها بالغدو والآصال رجال لا تلهيهم تجارة ولا بيع عن ذكر الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة يخافون يوماً تتقلب فيه القلوب والأبصار ليجزيهم الله أحسن ما عملوا ويزيدهم من فضله والله يرزق من يشاء بغير حساب
“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Meraka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS. An-Nur: 36-38)

Terkaitnya hati dengan masjid hanya akan didapatkan oleh siapa saja yang menuntun jiwanya menuju ketaatan kepada Allah. Hal itu karena jiwa pada dasarnya cenderung memerintahkan sesuatu yang jelek. Sehingga jika dia meninggalkan semua ajakan dan seruan jiwa yang jelek itu dan lebih mendahulukan kecintaan kepada Allah, maka pantaslah dia mendapatkan pahala yang sangat besar.

4.  Dua orang yang saling mencintai karena Allah, sehingga mereka tidak bertemu dan tidak juga berpisah kecuali karena Allah.
Kedua orang ini telah berjihad dalam melawan hawa nafsu mereka. Hal itu karena hawa nafsu itu menyeru untuk saling mencintai karena selain Allah karena adanya tujuan-tujuan duniawiah. Makna ‘mereka tidak bertemu dan tidak juga berpisah kecuali karena Allah’ adalah keduanya bersatu dan bermuamalah karena keduanya mencintai Allah. Karenanya kapan salah seorang di antara mereka berubah dari sifat ini (mencintai Allah), maka temannya itu akan meninggalkannya dan menjauh darinya karena dia telah meninggalkan sifat yang menjadi sebab awalnya mereka saling menyayangi. Sehingga jadilah ada dan tidak adanya cinta dan sayang di antara keduanya berputar dan ditentukan oleh ketaatan kepada Allah dan berpegang teguh kepada sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam.

5.    Lelaki yang diajak (berzina) oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik lalu dia berkata, ‘Aku takut kepada Allah’.

Yakni: Dia diminta oleh wanita yang mengumpulkan status social yang tinggi, harta yang melimpah, dan kecantikan yang luar biasa untuk berzina dengannya. Akan tetapi dia menolak permintaan dan ajakan tersebut karena takut kepada Allah. Maka ini tanda yang sangat nyata menunjukkan dia lebih mendahulukan kecintaan kepada Allah daripada kecintaan kepada hawa nafsu. Dan orang yang sanggup melakukan ini akan termasuk ke dalam firman Allah Ta’ala:

وأما من خاف مقام ربه ونهى النفس عن الهوى فإن الجنة هي المأوى 
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya.” (QS. An-Naziat: 40)

Dan pemimpin setiap lelaki dalam masalah ini adalah Nabi Yusuf alaihissalam.

6.  Orang yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi, hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya.

Yakni dia berusaha semaksimal mungkin agar sedekah dan dermanya tidak diketahui oleh siapapun kecuali Allah, sampai-sampai diibaratkan dengan kalimat ‘hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya’.

Karenanya disunnahkan dalam setiap zakat, infak, dan sedekah agar orang yang mempunyai harta menyerahkannya secara langsung kepada yang berhak menerimanya dan tidak melalui wakil dan perantara. Karena hal itu akan lebih menyembunyikan sedekahnya. Juga disunnahkan dia memberikannya kepada kerabatnya sendiri sebelum kepada orang lain, agar sedekahnya juga bisa dia sembunyikan.

7.  Orang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sendiri hingga kedua matanya basah karena menangis.

Ini adalah amalan yang sangat berat dan tidak akan dirasakan kecuali oleh orang yang mempunyai kekuatan iman dan orang yang takut kepada Allah ketika dia sendiri maupun ketika dia bersama orang lain. Dan tangisan yang lahir dari kedua sifat ini merupakan tangisan karena takut kepada Allah Ta’ala.

Kemudian, penyebutan 7 golongan dalam hadits ini tidaklah menunjukkan pembatasan. Karena telah shahih dalam hadits lain adanya golongan lain yang Allah lindungi pada hari kiamat selain dari 7 golongan di atas. Di antaranya adalah orang yang memberikan kelonggaran dalam penagihan utang. Dari Jabir radhiallahu anhu: Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ عَنْهُ أَظَلَّهُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ 
“Barangsiapa yang memberikan kelonggaran kepada orang yang berutang atau menggugurkan utangnya, maka Allah akan menaunginya di bawah naungan-Nya.” (HR. Muslim no. 5328)


Dari Hadits diatas Kenapa tidak disebutkan wanita dalam topik-topik ini  (dikhususnya penyebutan laki-laki di dalamnya), artinya laki-laki disebutkan secara khusus dalam semua kondisi tersebut dan tidak disebutkan wanita?

Saya mohon penjelasan tuntas, dan semoga Allah memberkahi Anda dan menguatkan Anda dengan pertolongan-Nya.

Jawab :
Wa ‘alaikumussalam wa rahatullâh wa barakâtuhu.

Sebelum menjawab Anda tentang hadits mulia tersebut, dan kenapa tidak disebutkan wanita, saya sebutkan dahulu hal-hal berikut:

Ada uslub menurut orang Arab yang disebut uslub at-taghlîb. Yaitu seruan menggunakan redaksi mudzakar (laki-laki) dan di dalamnya juga masuk redaksi muanats (perempuan) dengan at-taghlîb. Seperti firman Allah SWT:


﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا﴾ 

“Hai orang-orang yang beriman”

Jadi di dalamnya juga masuk muanats (perempuan).

Misal lain, apa yang telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dari Abu Hurairah ra.: Nabi saw bersabda:

«أَيُّمَا رَجُلٍ أَعْتَقَ امْرَأً مُسْلِمًا، اسْتَنْقَذَ اللَّهُ بِكُلِّ عُضْوٍ مِنْهُ عُضْوًا مِنْهُ مِنَ النَّارِ»
“Laki-laki siapapun yang membebaskan seorang muslim, Allah akan menyelamatkan dengan setiap organ laki-laki yang dimerdekakan itu, organ orang yang memerdekakan itu dari api neraka.”

Ini juga berlaku atas wanita dengan uslub at-taghlîb. Artinya “wanita siapapun yang memerdekakan seorang muslim …”

Contoh lain, hadits an-Nasai tentang zakat onta … dari Abu Hurairah ra., ia berkata: “aku mendengar Rasulullah saw bersabda:

«أَيُّمَا رَجُلٍ كَانَتْ لَهُ إِبِلٌ لَا يُعْطِي حَقَّهَا فِي نَجْدَتِهَا وَرِسْلِهَا»، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا نَجْدَتُهَا وَرِسْلُهَا؟ قَالَ: «فِي عُسْرِهَا وَيُسْرِهَا، فَإِنَّهَا تَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَغَذِّ مَا كَانَتْ وَأَسْمَنِهِ وَآشَرِهِ، يُبْطَحُ لَهَا بِقَاعٍ قَرْقَرٍ فَتَطَؤُهُ بِأَخْفَافِهَا، إِذَا جَاءَتْ أُخْرَاهَا أُعِيدَتْ عَلَيْهِ أُولَاهَا فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ، حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ فَيَرَى سَبِيلَهُ…»
“Laki-laki siapapun memiliki onta yang tidak diberikan haknya pada najdah dan rislu-nya.” Mereka bertanya: “ya Rasulullah, apakah najdah dan rislu-nya itu?” Beliau menjawab: “pada kemudahan dan kesukarannya. Maka dia datang pada Hari Kiamat kelak seperti berjalan cepat dulunya, gemuk dan kurusnya, ia ditelungkupkan untuk onta itu di dataran tanah rendah lalu onta itu menginjaknya dengan kuku-kuku kakinya, jika datang yang terakhir maka dikembalikan lagi terhadapnya onta yang pertama, pada hari yang kadarnya lima puluh ribu tahun sampai selesai diputuskan diantara manusia sehingga diketahui jalannya…

Hadits ini juga berlaku pada wanita dengan uslub at-taghlîb jika wanita itu tidak menyucikan onta yang dia miliki.

Seperti Anda lihat, lafazh mudzakar atau ar-rajul (laki-laki) dengan uslub at-taghlîb berlaku atas lafazh muanats atau al-mar`ah (perempuan) pada kondisi secara umum.

Akan tetapi uslub at-taghlîb ini tidak diberlakukan jika dibatalkan oleh nash:

Misalnya, firman Allah SWT:

﴿كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ﴾ 
“Telah diwajibkan atas kalian berperang dan itu kalian benci” (TQS al-Baqarah [2]: 126)


Seruan disini dengan redaksi mudzakar (laki-laki). Akan tetapi at-taghlîb tidak diberlakukan di sini sehingga tidak bisa dikatakan bahwa ini juga mencakup wanita dengan uslub at-taghlîb dengan lafazh “kutiba ‘alaikunna al-qitâl –telah diwajibkan atas kalian para wanita berperang-“. Sebab ini dibatalkan oleh nash lain yang menjadikan jihad sebagai kewajiban atas laki-laki. Ibn Majah telah mengeluarkan dari Habib bin Abi Amarah dari Aisyah binti Thalhah dari Aisyah ummul mukminin ra., ia berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ عَلَى النِّسَاءِ جِهَادٌ؟ قَالَ: «نَعَمْ، عَلَيْهِنَّ جِهَادٌ، لَا قِتَالَ فِيهِ: الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ»
“Aku katakan, “ya Rasulullah apakah wajib atas wanita berjihad?” Nabi saw menjawab: “benar, mereka wajib jihad, tidak ada perang di dalamnya: al-hajj dan umrah.”

Artinya, bahwa jihad dengan makna perangnya tidak fardhu atas wanita.

Misal lain, firman Allah SWT:


﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ﴾
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (TQS al-Jumu’ah [62]: 9)

Yakni bahwa diharamkan bagi laki-laki terus dalam jual beli pada waktu adzan Jum’ah. Di sini tidak berlaku uslub at-taghlîb. Artinya tidak diharamkan bagi wanita berjual beli pada waktu adzan Jum’at. Sebab shalat Jum’ah tidak fardhu bagi wanita dikarenakan sabda Rasulullah saw yang dikeluarkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhayn dari Abu Musa dari Nabi saw, beliau bersabda:

«الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةٌ: عَبْدٌ مَمْلُوكٌ، أَوِ امْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيضٌ» 
“Shalat Jum’ah adalah hak wajib bagi setiap muslim dalam jamaah kecuali empat golongan: hamba sahaya, wanita, anak-anak atau orang sakit

Al-Hakim berkata: “ini adalah hadits shahih menurut syarat asy-syaykhayn,” dan disetujui oleh adz-Dzahabi.

Berdasarkan hal itu, kita pahami hadits tersebut (yang ditanyakan) sebagai berikut:

Nash hadits yang dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahîh-nya dari Abu Hurairah dari Nabi saw, beliau bersabda:


«سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ، يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: الإِمَامُ العَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي المَسَاجِدِ، وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ، فَقَالَ: إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ، أَخْفَى حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ»
“Tujuh golongan yang dinaungi Allah dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: imam yang adil; pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Rabbnya; laki-laki yang hatinya terpaut pada masjid; dua orang laki-laki yang saling mencintai karena Allah bertemu dan berpisah karena Allah; laki-laki yang diminta oleh wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan lalu ia berkata: aku takut kepada Allah; laki-laki yang bersedekah ia menyembunyikannya hingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfaqkan oleh tangan kanannya; dan laki-laki yang mengingat Allah dikala sendirian lalu kedua matanya berurai air mata.”

Hadits ini berlaku dengan uslub at-taghlîb atas wanita terkait lima golongan dari tujuh golongan yang tidak dibatalkan oleh nash lain. Jadi hadits ini berlaku atas seorang pemudi yang tumbuh dalam ibadah kepada Rabbnya …, berlaku atas dua orang wanita yang saling mencintai karena Allah … dan wanita yang diminta laki-laki … dan wanita yang bersedekah … dan wanita yang mengingat Allah dikala sendiri lalu berurai air mata kedua matanya

Akan tetapi uslub ini tidak berlaku atas imam yang adil dan laki-laki yang hatinya terpaut pada masjid, sebab keduanya dibatalkan oleh nash:

Adapun imam yang adil, maka uslub at-taghlîb tidak berlaku sebab wanita tidak memegang pemerintahan seperti yang disabdakan oleh Rasulullah saw dalam hadits al-Bukhari dari Abu Bakrah, ia berkata: “ketika sampai kepada Rasulullah saw berita bahwa penduduk Persia mengangkat putri Kisra sebagai ratu mereka, beliau bersabda:


«لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً»
“Tidak akan pernah beruntung satu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada wanita

Maka wilâyah al-amri yakni al-hukmu (pemerintahan) tidak boleh dilakukan oleh wanita, Sedangkan selain pemerintahan seperti al-qadha’ (peradilan), pemilihan khalifah, wanita memilih dan dipilih dalam majelis ummah, dan yang tugas-tugas masyru’ lainnya yang bukan termasuk pemerintahan maka boleh untuk wanita… Ini berarti bahwa kalimat al-imâm al-âdil (imam yang adil) tidak mencakup wanita. Meski demikian ada beberapa mufassir yang menakwilkan al-imâm al-âdil dengan makna ar-râ’iy al-âdil (penggembala –pemelihara- yang adil) sehingga berlaku atas wanita sesuai nash hadits yang dikeluarkan oleh al-Bukhari dari Abdullan bin Umar ra., ia berkata: “aku mendengar Rasulullah saw bersabda:

«كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا…»
“Setiap kalian adalah pemelihara dan setiap kalian bertanggungjawab atas pemeliharaannya, seorang imam adalah pemelihara urusan rakyat dan dia bertanggungjawab atas rakyatnya, dan seorang laki-laki adalah pemelihara pada keluarganya dan dia bertanggungjawab atas pemeliharan (urusan)nya, dan seorang wanita adalah pemelihara di rumah suaminya dan dia bertanggungjawab atas pemeliharaan (urusan)nya…

Akan tetapi yang lebih rajih bahwa at-taghlîb di sini tidak berlaku di mana kalimat al-imâm al-âdil yang lebih rajih pada al-hâkim (penguasa), dan itu tidak berlaku bagi wanita.

Adapun “dan laki-laki yang hatinya terpaut pada masjid” maka dibatalkan oleh nash yang memberi pengertian bahwa shalat wanita di rumahnya lebih afdhal dari shalatnya di masjid. Hal itu karena hadits Rasulullah saw yang telah dikeluarkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya dari Abdullah bin Suwaid al-Anshari, dari bibinya Ummu Humaid isteri Abu Humaid as-Sa’idi bahwa ia datang kepada Nabi saw dan berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أُحِبُّ الصَّلَاةَ مَعَكَ، قَالَ: «قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلَاةَ مَعِي، وَصَلَاتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي حُجْرَتِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلَاتِكِ فِي دَارِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي مَسْجِدِي» 
“ya Rasulullah, aku suka shalat bersama Anda.” Nabi menjawab: aku tahu bahwa engkau suka shalat bersamaku, tetapi shalatmu di rumahmu lebih baik untukmu dari shalatmu di kamarmu, dan shalatmu di kamarmu lebih baik untukmu dari shalatmu di dar-mu dan shalatmu di dâr-mu lebih baik untukmu dari shalatmu di masjid kaummu dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik untukmu dari shalatmu di masjidku.”

Begitulah, lima dari tujuh golongan dalam hadits tersebut berlaku atas wanita dengan uslub at-taghlîb. Sedangkan imam yang adil dan orang yang terpaut hatinya pada masjid, tidak berlaku sebab keduanya dibatalkan dengan nas dan berikutnya disini tidak diberlakukan uslub at-taghlîb.

Untuk menyempurnakan faedah, saya sebutkan apa yang ada di Fath al-Bârî oleh Ibn Hajar penjelasan hadits al-Bukhari yang disebutkan di atas, khususnya penutup tafsir hadits tersebut. Ini teksnya:

(… penyebutan ar-rijâl (laki-laki) dalam hadits ini tidak memiliki mafhum, akan tetapi para wanita berserikat dengan para laki-laki dalam apa yang disebutkan kecuali jika yang dimaksudkan imam yang adil adalah al-imâmatu al-‘uzhmâ, dan jika tidak maka wanita mungkin masuk di dalamya di mana wanita itu punya keluarga lalu ia berlaku adil pada mereka. Dan keluar juga mulazamah masjid sebab shalat wanita di rumahnya lebih afdhal dari shalat wanita di masjid. Dan selain hal itu maka ikutsertanya wanita terjadi …” selesai.

Atas dasar itu maka hadits tujuh golongan itu juga berlaku atas wanita kecuali terkait imam yang adil dan orang yang terpaut hatinya pada masjid, ini tidak berlaku atas wanita sebab uslub at-taghlîb pada kedua kondisi ini dibatalkan oleh nash.

Tidak ada komentar