Karena Cinta Aku Jadi Murtad
Aku seorang wanita berusia 27 tahun. Dua
tahun yang lalu aku melahirkan seorang anak ke dunia. Hanya saja mungkin
keadaanku sebagai seorang ibu berbeda dengan ibu-ibu yang lain. Mereka
senantiasa memandang wajah putra dan putrinya dengan tatapan kasih
sayang, bangga dan penuh cinta. Sedangkan aku? Yang kudapat saat menatap
bola matanya adalah kepedihan yang teramat perih dari kisi-kisi hati
yang tersayat sesal.
Sebelum peristiwa pahit itu menyapa dalam
hidupku, kehidupanku yang sederhana senantiasa diliputi oleh
ketenangan. Aku bahagia dengan keadaanku, dengan rutinitasku. Setiap
hari kujalani dengan hati yang riang sebagai seorang wanita.
Kebanggaanku pada kehormatan yang senantiasa kujaga demi satu mimpi
mendapatkan keluarga yang bahagia suatu saat nanti. Hingga sosok itu
hadir menghancurkannya.
Peristiwa itu bermula saat aku bekerja
sebagai salah satu staf tata usaha di sebuah akademi kesehatan di kota
Daeng. Aku berkenalan dengan dengan seorang pria yang mengaku bujang.
Dia juga bekerja sebagai staf tata usaha di kampus tempatku bekerja,
namun jabatannya lebih tinggi dariku.
Seperti kata orang, “mulanya biasa saja,”
yah, memang semuanya biasa saja. Saling ber-say hello, bercerita,
bercanda, bertegur sapa. Sesuatu yang lazim dilakukan oleh sesama
pegawai staf. Apalagi dalam satu kantor. Hingga waktu terus berjalan
seiring dengan hubungan kami yang begitu akrab. Semuanya mulai menjadi
sesuatu yang tidak biasa lagi.
Jujur saja, dalam hal agama,
pengetahuanku memang tidak terlalu dalam. Orang mungkin biasa
mengatakannya “awam”. Di alam pikiranku, bergaul dengan lawan jenis itu
adalah sesuatu yang biasa. Seperti yang terjadi ditengah masyarakat.
Apalagi aku dilahirkan dari lingkungan keluarga yang pendidikan agamanya
“biasa-biasa saja” tidak mengenal apa itu tarbiyah, ikhtilath, ghibah,
dan istilah-istilah yang lain.
Sebenarnya aku tidak pernah berkeinginan
untuk dekat dengannya, karena pertimbangan beda agama. Dia seorang non
muslim. Namun rayuan demi rayuannya, perjuangannya mendekatiku, janji
manisnya, perhatiannya yang berlebihan dan tidak henti-henti meski
selalu kutolak dengan cara yang halus, sedikit demi sedikit meluluhkan
hatiku.
Gayung pun bersambut, akhirnya kuterima
uluran tangannya. Waktu itu aku tidak berpikir untuk serius. Hanya
sekedar pengisi waktu saja. Apalagi dia sudah banyak berkorban untukku,
dan aku merasa kasihan padanya. Waktu itu aku berpikir suatu saat nanti
aku akan minta putus. Mudah kan?
Hubungan kami pun berjalan secara rahasia, back street. Untuk menghindari ocehan dan desas desus penghuni kampus.
Seiring dengan waktu yang mengantar
kebersamaanku dengannya, entah mengapa tanpa sadar aku sudah mulai
menyukainya, mencintainya. Aku tidak tahu, apa yang telah membuatku
begitu tergila-gila kepadanya. Kehidupannya juga sederhana, wajahnya
malah dibawah rata-rata. Apa karena rayuannya? Kelihaiannya mengumbar
rayuan gombal menjadikanku merasa tersanjung dan berbunga-bunga.
Seakan-akan akulah wanita yang paling menarik di dunia ini. Di
sampingnya aku selalu merasa yang terbaik. Dia sungguh pandai
menggombal.
Tak pernah kusangka dan kuduga sebelumnya, hubunganku dengannya sudah melewati ambang batas moral dan norma agama.
Tragedi yang tak mungkin pernah bisa
kulupakan dalam lembaran sejarah hidupku. Aku hamil. Aku tidak tahu,
iblis mana yang merasukiku waktu itu. Mengapa aku bisa menjadi sehina
ini? Mengorbankan sesuatu kepada seseorang yang sebenarnya tidak berhak
dan tidak boleh mengusiknya.
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku
tidak berani lagi pulang ke kampung dengan corengan hitam di wajahku.
Tidak sampai di situ, entah darimana pihak birokrasi kampus mengetahui
kehamilanku di luar nikah, yang berujung dengan memecatku.
Pihak kampus tidak mengetahui siapa bapak
dari bayi yang kukandung. Dia mengancamku dan menyuruhku untuk tutup
mulut. Aku tersudut. Entah mengapa dia sudah begitu menguasai hidupku.
Seakan membuatku tak mampu bergerak.
Dan aku tidak mengerti, mengapa aku
selalu menurut saja pada setiap kata dan perintahnya. Yang bisa
kulakukan hanya memohon kepadanya untuk bertanggung jawab atas
perbuatannya terhadapku.
Ia bersedia menikahiku dengan satu
syarat, aku harus keluar dari Islam dan masuk ke agamanya. Menjadi
seorang non muslim sepertinya. Ternyata orang yang selama ini
mencurahkan perhatiannya -yang kukira tulus untukku- adalah seorang
misionaris.
Istilah ini juga baru kukenal setelah
semuanya sudah terlanjur terjadi. Selama ini istilah itu hanya lewat
saja di kepalaku. Masuk telinga kiri, keluarpun juga lewat telinga yang
sama. Aku tidak pernah membayangkan jika aku akan menjadi korbannya. Aku
tidak pernah menduga kalau istilah dan kekhawatiran sebagian kaum
muslim tentang misi itu ternyata menimpa kehidupanku.
Mirisnya karena aku sudah terlanjur
menjadi korbannya. Kakiku sudah sulit dan mungkin tidak bisa lagi aku
tarik kembali. Yang ada di kepalaku saat itu bukan lagi tentang
aqidahku, tetapi tentang makhluk kecil yang ada di rahimku. Tentang aib,
tentang calon istri bayi yang aku juga mulai mencintainya. Aku tidak
ingin menggugurkannya. Ia darahku dan aku ingin merasakan desahan
nafasnya. Merasakan kaki-kaki kecilnya nanti akan meronta di dalam
dekapanku.
Otakku sudah buntu, bagiku sudah tak ada
lagi pilihan lain. Aku tidak sanggup menghadapi aib ini sendiri, imanku
begitu lemah. Aku tidak mau bayiku terlahir tanpa ayah dan akan dicemooh
kelak di tengah masyarakat. Ditambah lagi siapa yang akan menanggung
beban ekonomi kami nanti? Sedangkan aku sudah dipecat dan menjadi salah
satu dari sekian banyak pengangguran yang ada di kota ini. Akhirnya, kuikuti keinginannya. Kujual
akidahku dengan harga yang sangat murah dan tak bernilai. Kulepas jilbab
yang selama ini menutup kepalaku, beralih ke agamanya, murtad dari
agama Islam yang benar dan suci.
Tapi lagi-lagi, keputusanku itu bukanlah
hal yang tepat. Saat ini, meskipun ia sudah berhasil menjadikanku
sebagai salah satu korban misinya, ia tengah berusaha mendekati dan
mengejar seorang mahasiswi, tetap di kampus yang sama. Korban misi yang
berikutnya.
Aku sama sekali tidak berdaya, aku sangat
lemah dan pengecut. Aku selalu ketakutan dengan ancaman-ancaman dan
perlakuannya yang keras dan kasar. Aku ketakutan pada kekasaran
tangannya yang selalu menyiksa tubuhku. Rasanya perih. Aku menjadi
semakin lemah. Aku tak tahu mengapa harus menjadi seperti ini? Padahal
bisa saja aku lari menjauh dari hidupnya. Tapi lagi-lagi tetap saja aku
tidak bisa. Ada yang mengikatku dengannya, sesuatu yang tidak aku
mengerti.
Tapi hatiku sedikit lega saat kudengar
bahwa mahasiswi itu memiliki sahabat seorang akhwat berjilbab besar yang
selalu bersamanya. Akhwat itu pastilah lebih mengerti tentang
kristenisasi dan akan memahamkan dirinya. Sehingga mau tidak mau,
misionaris yang saat ini sudah menjadi suamiku sulit unutk bisa
mendekatinya.
Saat kisah ini dituturkan, aku masih
dalam keadaan seperti ini, terkatung dalam penderitaan dan penyesalan.
Penderitaanku ini mungkin adalah balasan atas dosa besar yag telah
kuperbuat. Hanya ini yang bisa kulakukan untuk para
calon ibu di manapun berada. Semoga kisahku ini yang hanya berwujud
tinta di atas kertas, dapat dibaca dan dijadikan sebagai pelajaran bagi
seluruh perempuan -khususnya para remaja muslimah- bahwa misionaris
sedang berkeliaran di sekitar kita dengan metode-metodenya yang beragam.
Selagi masih sempat, belajarlah tentang
agama Allah. Jangan tunggu sampai menyesal seperti keadaanku sekarang.
Jangan menunggu sampai kau merasa bingung dengan tindakan apa yang harus
kau lakukan saat kehancuran kita sebagai wanita yang gagal
mempertahankan kehormatannya menyapa.
Selagi muda, belajar dan belajarlah untuk
memperkuat aqidah keislaman yang mulia. Kenalilah mereka dari
metode-metode apa saja yang mereka gunakan. Tingkatkan kewaspadaan dan
tolong sebarkan pada saudarimu yang lain. Agar tidak lagi menjadi tangis
penyesalan seperti yang aku alami terhadap mereka. Agar tidak ada lagi
terjadi perusakan fitrah terhadap bayi-bayi yang tak berdosa. Jika ibu
mereka adalah Islam, maka insya Allah anaknya juga akan Islam.
Habiskan waktumu untuk ilmu, dan jangan
kau habiskan untuk mencari-cari trend model terbaru, berjalan di mall
tanpa manfaat atau menghabiskannya di kegelapan malam dengan lelaki yang
kau pandang sebagai kekasih.
Mereka bukan kekasih …, tetapi serigala
yang ingin menelanmu bulat-bulat. Bacalah buku-buku atau majalah-majalah
Islami. Jadilah wanita yang cerdas dan tangguh. Belajarlah dari
kesalahan dan kelemahanku. Belajarlah dari penyesalan dan penderitaanku.
Sungguh …, apa yang kualami sangat menyakitkan. Kau akan merasa antara
hidup dan mati. Tak ada lagi senyum ceria. Air matapun mengering. Selagi
kau bisa meniti dan merencanakan mada depanmu.
Aku hanya bisa bercerita, setidaknya
semoga engkau bisa merenung barang sedetik. Sekali lagi …, belajarlah
dari hidupku! Dan tolong doakanlah aku semoga saja suatu saat nanti
keberanian itu akan muncul dalam diriku, sehingga aku bisa kembali ke
jalan-Nya yang benar.
Mudah-mudahan Allah mendengar doamu meski
hanya seorang diantaranya. Tolong doakanlah aku barang semenit saja.
Karena saat ini aku benar-benar merasakan ketidakberdayaan sebagai
seorang wanita dan sebagai seorang manusia.
“Anakku, maafkan Ibu karena telah merusak
fithrahmu, cepatlah besar untuk bisa menentukan sendiri jalan hidupmu.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Semua bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu bapaknyalah yang menjadikannya yahudi, nasrani, atau majusi.” (HR.Bukhari)Sumber :
Post a Comment