Islam Hanyalah Kerinduanku
Hidayah tidak selalu datang pada hati
yang telah “siap”. Tidak jarang seorang yang telah tertarik dengan
Islam, akan berusaha menjalankan segala yang diperintahkan oleh agama
Islam. Namun, aku merupakan kasus lain, aku benar-benar ikhlas menerima
Islam sebagai tuntunan hidup setelah kira-kira tujuh tahun.
Setelah bermimpi berada di masjid dan
mengenakan mukena serta didoakan oleh seorang ustadz, saat i’tikaf untuk
pertama kali dalam hidupku, aku semakin mantap untuk membaca dua
kalimat syahadat, sebagai wujud keseriusan aku memilih Islam sebagai
tuntunan hidup dan secara ikhlas bersumpah berusaha kuat menjalankan
segala perintah-Nya. Di dalam keluarga, aku adalah anak pertama adari
tiga bersaudara. Dari pihak ibu, Eyang putri dan Eyang kakung berasal
dari Solo dan Sedayu. Sedangkan dari pihak Ayah, nenek adalah asli orang
Makassar tepatnya Tanah Toraja. Eyang buyut dari pihak nenek, adalah
salah satu pemangku adat dan pendeta di daerahnya.
Dulu aku adalah penganut Katholik yang
taat. Aku menempuh pendidikan formal mulai TK-SMU di sekolah swasta yang
notabene milik yayasan Katholik. Saya mengenyam pendidikan formal di TK
Santo Yoseph, SMP Katholik Puteri (sekarang ganti nama menjadi SMP
Katholik Santa Maria, dan SMUK Santo Augustinus).
Awal ketertarikanku dengan Islam hanya
kerena dua kata – mesti inti dari semua ketertarikanku pada Islam adalah
karena aku sendiri tidak memahami adanya “Doktrin Trinitas” dalam
keyakinan lama yang aku anut – yaitu Iri dan Logis.
Di sini aku tegaskan, aku memaparkan
penjelasan ini untuk mendiskreditkan ajaran-agama lain. Dalam hal ini
aku berbicara karena kapasitasku hanyalah muallaf yang benar-benar
tertarik pada Islam karena akhirnya saya benar-benar memilih Islam
sebagai tuntunan hidupku.
Aku Iri dengan Islam
Pertama, dalam agamaku yang dulu dikenal
dengan adanya dosa turunan. Dalam keyakinanku yang lama, setiap bayi
yang dilahirkan ke bumi telah membawa dosa , hal tersebut dikarenakan
dulu manusia petama, Nabi Adam, telah berbuat dosa yang mengakibatkannya
diusir dari surga oleh Tuhan dan dosa itu ikut ditanggung oleh anak
keturunannya sampai sekarang. Dulu timbul pertanyaan dalam diriku “Tidak adil sekali, orang nggak ikut berbuat dosa masa menanggung akibatnya? Bukankah Tuhan itu Maha Adil?
Kedua, ada semacam statement “Jika masuk
Islam maka akan mendapat pahala”. Waktu itu aku berpikir, “Wah asyik
sekali, begitu masuk Islam aku mendapat pahala, mau sekali!”.
Ketika, ketika saya melihat acara ‘Ied di
televisi, aku merasakan suatu yang -dalam bahasaku menakjubkan-
berbeda. Waktu aku menganut keyakinan Katholik, aku belum pernah
merasakan ketika bersembahyang aku menitikkan air mata. Pertanyaanku,
mengapa mereka bisa meneteskan air mata seperti itu? Apa karena
dosa-dosa mereka? Atau karena rindu bertemu Tuhannya? Atau hal lain?
Untuk yang pertama, aku yakin semua manusia tidak pernah luput dari
dosa. Tapi dulu aku merasa telah melaksanakan ajaran agama Katholik yang
disebut dengan 10 Perintah Allah. Aku rajin ke Gereja, selalu patuh
pada orang tua dan saudara-sudaraku yang lebih tua, rajin datang ke
sekolah minggu, rajin ikut kegiatan sosial, rajin pergi ke Panti Wreda
(Panji Jompo milik Yayasan Katholik, milik Yayasan Santo Yoseph, tempat
dimana aku mengenyam pendidikan TK-SD). Jadi, waktu itu tidak ada alasan
yang membuatku untuk menangis hanya karena dosa, karena aku merasa
tidak pernah melakukan apa-apa yang dilarang oleh Tuhan. Jika karena
alasan yang kedua, rindu apada Tuhannya. Bagaimana aku bisa menangis, aku
saja belum tahu pasti siapa Tuhanku. Apakah Tuhanku itu Allah Bapa?
atau Yesus? atau Roh Kudus? Aku memang benar-benar belum tahu pasti
siapa Tuhanku.
Islam adalah Logis
Pertama, menurut pendapatku, Islam adalah satu-satunya agama yang secara jelas memberikan konsep ketuhanan. Setelah
mengenal Islam, aku semakin tahu siapa tuhanku. Kedua, aku dulu memang
belum pernah melihat seperti apa kitab suci teman saya yang beragama
Hindu dan Budha tapi saya membandingkan kitab suci keyakinan saya dulu
dengan kitab suci umat Islam, Al-Qur’an.
“Mengapa kitab suci umat Islam dimanapun berada, dari dulu sampai sekarang tetap menggunakan Bahsa Arab, beda sekali dengan punyaku, jangankan lain negara, untuk satu kota saja sudah berbeda bahasa, bukankah hal tersebut justru rawan untuk diselewengkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab?”.
Saat berproses dalam bangku kuliah, saya
menemukan teman-teman yang menyenangkan. Di hadapan mereka, aku mengaku
beragama Islam (padahal dalam kenyataan saya memang belum bisa
memutuskan apakah aku tetap menganut keyakinanku yang lama atau pindah
ke Islam). Saat mengikuti kajian tentang keislaman atau mengaji bersama
aku terpaksa memakai jilbab hanya karena merasa sungkan, malu, karena
mereka semua memakai jilbab.
Saat mulai kuliah, aku memutuskan untuk
tidak pernah kembali pada keyakinan saya yang lama, dan akan mengikuti
tata cara peribadatan yang dilakukan oleh umat Islam. Semua ini aku
lakukan hanya karena aku tidak ingin dikatakan sebagai orang yang tidak
beragama. Aku shalat bukan karena Allah ta’ala, tapi karena manusia, Aku
melaksanakan shalat hanya sekadar aktifitas yang memang diwajibkan,
kalau mood shalat kalau tidak mood ya tidak.
Setelah menyelesaikan kuliah, aku
mengikuti kursus Bahasa Inggris di salah satu daerah di kotaku. Setiap
kursusan yang ada mewajibkan setiap muslimah untuk memakai jilbab, dan
inilah yang membuatku berat, “Waduh.. pakai jilbab nih, mana mungkin!!”,
inilah yang terlintas dalam benakku. Akhirnya aku terpaksa memakai
jilbab daripada nggak boleh ikut kursus. Aku memakai jilbab hanya waktu
kursus, ketika beraktifitas di luar kursus aku lepas jilbabku.
Hidayah Allah Ta’ala mulai
menyentuh diriku setelah aku selesai mengikuti kursus Bahsa Inggris di
kotaku. Saat itu tanggal 13 September 2006, pukul 12.15 WIB aku
dihubungi seseorang yang mengatakan bahwa aku diterima sebagai guru
Bahasa Inggris di salah satu English Course, senang sekali aku saat itu.
Malam harinya aku berdoa dan tidak lupa bersyukur atas karunia-Nya.
Saat tidur aku bermimpi aku brada dalam masjid, mengenakan mukena, dan
dihadapanku ada (mungkin) imam masjid engan pakaian putih yang sedang
mendoakan saya. Ketika bangun di pagi harinya aku terkejut, jujur seumur
hidup aku baru bermimpi masjid dan mengenakan mukena. Aku baru teringat
bahwa dua bulan yang lalu pernah membaca buku masalah i’tikaf. Aku
mencoba menganalisa mimpiku,
“Oh mungkin mimpi saya waktu itu artinya aku sedang beri’tikaf, tapi kok ada seorang imam masjid yang mendo’akanku?”
Akhirnya, aku putuskan untuk menolak
lamaran sebagai guru Bahasa Inggris tersebut – saat itu aku berpikir,
jika aku terima tawarkan tersebut, di sepuluh hari terakhir bulan
Ramadhan ku pasti tidak bisa pergi ke Surabaya untuk i’tikaf bersama
saudaraku. Memang, saat itu hatiku sudah mantap untuk i’tikaf,
kerinduanku untuk segera berada dalam masjid seolah-olah begitu
membuncah.
Akhirnya, hari yang aku tunggu datang
juga. Aku bersama Saudara i’tikaf di Masjid daerah Gayungsari. Saya
merasakan kenikmatan yang luar biasa, aku merasa dekat dengan Rabbku.
Tepat di malam ke 27 aku bermimpi lagi seperti mimpi saya pada tanggal
13 September kemaren.
Setelah kejadian tersebut hati aku merasa
mantap untuk mengucap dua kalimat syahadat dengan penuh keikhlasan, aku
bersumpah akan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya. Dengan berjalannya waktu, aku mencoba menghubungi teman,
dan mengutarakan niatku. Aku sangat senang ternyata temanku mau
membantuku dan mencarikan kau seorang ustadz. Tetap tanggal 17 Desember
2006 pukul 07.15 bertempat di Masjid Baiturrahman, Kediri, seorang imam
masjid, ustadz, dan hakim Pengadilan Agama di kotaku, Ustadz Abdurrahman
membimbingku untuk membaca dua kalimat Syahadat dan mendoakan saya yang
diamini oleh puluhan jama’ah yang berada dalam masjid tersebut.
Aku tidak bisa menahan air mataku yang
terus meleleh , aku tidak peduli dengan keadaanku saat itu. Aku merasa
sangat bersyukur atas karunia-Nya, ternyata aku bisa menahan hatiku
untuk kembali pada keyakinanku dan mantap untuk mengucap dua kalimat
syahadat di hadapan ustadz dan puluhan jama’ah sebagai wujud
keseriusanku menerima Islam sebagai tuntunan hidupku. Sampai tulisan ini
aku buat, ibu dan adikku masih menganut Katholik, namun aku tidak
berhenti berdoa agar mereka mendapatkan hidayah sepertiku.
http://jilbab.or.id/archives/480-islam-adalah-kerinduanku/
Post a Comment