Bersama Yang Engkau Cintai
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya
ada seseorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang hari kiamat. Ia berkata, “Kapan hari kiamat terjadi?” Maka
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam balik bertanya, “Apa yang telah
engkau persiapkan untuknya?” Ia menjawab, “Tidak ada sama sekali. Hanya
saja, sesungguhnya saya mencintai Allah dan Rosul-Nya.” Maka beliau
bersabda, “Engkau bersama orang yang engkau cintai.” Anas pun
mengatakan, “Tidaklah kami berbahagia dengan sesuatu seperti halnya
kebahagiaan kami dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Engkau bersama orang yang engkau cintai.” Anas berkata, “Karena saya
mencintai Nabi, Abu Bakar dan Umar. Dan saya berharap saya bersama
mereka karena kecintaan saya kepada mereka, meskipun saya tidak beramal
seperti amal mereka.” [HR.al-Bukhari ]
Cinta bisa membawa sengsara, cinta juga
bisa membawa bahagia, cinta tidak bisa dipisahkan dari hidup dan
kehidupan manusia dan seluruh makhluk di dunia, bahkan cinta adalah
sifat yang Maha Kuasa, Pencipta cinta.
Cinta adalah fitrah manusia yang memiliki
derajat dan tingkatan. Puncak cinta tertinggi adalah penghambaan dan
ibadah, kepada siapa cinta itu ditujukan, dan bagaimana cinta itu
diberikan. Itulah yang akan menentukan kebahagiaan dan kesengsaraan,
bukan hanya didunia ini saja, namun juga yang paling penting adalah
setelah keluar dari dunia ini, di akhirat kelak.
Luapan cinta akan membuahkan idola. Tidak
mungkin seseorang menjadikan sesuatu sebagai idola melainkan sebelumnya
telah didasari dengan cinta, ditambah dengan pemuliaan dan pengagungan
kepada yang diidolakan, maka idola bisa menjadi sesembahan, yang apabila
ditujukan kepada selain Allah azza wa jalla maka idola yang demikian
akan menjadi suatu berhala yang disembah dan diagungkan dengan Allah
azza wa jalla, bahkan lebih besar dari-Nya. Demikianlah memang, meskipun
dalam perkembangan bahasa kita, kata ini telah menjadi suatu istilah
yang lebih mengarah kepada makna suri tauladan yang dicintai, disanjung,
dipuja, dikagumi dan dijadikan panutan.
Apalagi
sekarang ini kita lihat kaum muslimin banyak yang meng’idola’kan
orang-orang yang tidak pantas untuk dijadikan panutan dan teladan. Berbagai
acara di televisi yang mengarahkan idola kepada para selebritis,
bintang film, penyanyi, dan semacamnya yang dilihat dari ‘keberhasilan’
dunia mereka, ketenaran, kemasyhuran, kesuksesan duniawi yang mereka
miliki; telah membawa kaum muslimin kepada arus yang sangat deras ini.
Media itu sengaja dibuat dan direkayasa oleh musuh-musuh Islam dan kaum
muslimin untuk menyesatkan dan menjauhkan mereka dari Islam secara
total, jika mereka mampu, atau minimalnya mengikuti ajaran mereka.
Meskipun masih menyandang status muslim, tetapi cara berfikir dan
pemahaman bahkan keyakinan dan akidah mereka telah jauh dari Islam. Dan
hal ini lebih mudah bagi mereka untuk merealisasikannya. Cara ini telah
berhasil mereka lakukan kepada banyak kaum muslimin dan generasi muslim,
hingga kepada kalangan remaja, anak-anak bahkan mereka yang maish
balita sekalipun.
Keluarga adalah kelompok terkecil dalam
sebuah tatanan masyarakat dan suatu bangsa. Baik buruknya sebuah
masyarakat atau suatu bangsa akan sangat ditentukan oleh
keluarga-keluarga yang membentuknya. Dimulai dari awal terbentuknya
biduk rumah tangga, suami istri yang memiliki satu keyakinan, cara
pandang dan berfikir sama, satu tujuan dan akidah, prinsip hidup dan
pemahaman yang satu adalah titik penting yang menentukan ke mana arah
dan orientasi keluarga itu di masa mendatang. Demikian pula sebaliknya,
ketika di antara suami dan istri tidak memiliki kesatuan dalam prinsip
dan orientasi, apalagi akidah, maka hal ini akan sangat berpengaruh
dalam pembentukan generasi dan keturunan. Sehingga hal ini merupakan
tanggung jawab yang sangat besar bagi orang tua yang harus diperhatikan.
Seorang muslim harus membentengi diri dan
keluarga mereka dari berbagai pengaruh buruk yang masuk dan merasuk ke
dalam diri mereka, apalagi dengan perkembangan tekhnologi yang tidak
bisa dibendung dan dihindari seperti sekarang ini. Ketika membawa muatan
negative dan sisi buruk, orang tua harus lebih ketat dan melekat dalam
mengawasi dan membimbing anak-anaknya.
Di antara sisi yang paling penting dalam
perkembangan pribadi anak adalah bagaimana menanamkan dan membentuk
sosok yang bisa dijadikan sang anak sebagai panutan dan teladan yang
mengakar dalam dirinya. Hal ini bisa diwujudkan dengan senantiasa
menceritakan, mengisahkan dan menyampaikannya secara terus-menerus dan
rutin, menyebutkan dan membacakan keutamaan dan keagungan sosok
tersebut, hingga terbentuk, tertanam dan terpatri dalam diri mereka rasa
cinta, hormat, kagum, bangga, dan mengagungkannya dan menjadikan sang
anak memiliki keinginan untuk menjadi seperti mereka, meneladaninya dan
menjadikan panutan dalam hidupnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum, para nabi dan rosul
berserta keluarga mereka, para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para sahabat wanita, laki-laki dan wanita salafush shalih, dan para
ulama adalah yang paling layak dan harus dijadikan sosok tersebut.
Keluarga Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, keluarga ‘Imron, keluarga Luqman
al-Hakim, keluarga Nabi Ya’qub ‘alaihis salam, keluarga Nabi Dawud
‘alaihis salam, keluarga Nabi Syu’aib ‘alaihis salam, dan seluruh
keluarga yang dikisahkan dalam al Qur’an adalah sosok keluarga-keluarga
teladan yang paling layak dijadikan contoh dan teladan keluarga muslim.
Maryam, Asiyah istri Fir’aun, dan para wanita yang disebutkan dalam al
Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
sosok teladan bagi para wanita beriman.
Kisah dan siroh perjalanan hidup mereka
seharusnya banyak diceritakan dan dikisahkan dalam keluarga muslim untuk
membentuk sosok kepribadian teladan bagi pribadi dan keluarga.
Sebaliknya, keluarga harus dijauhkan dari berbagai sosok lain yang tidak
pantas atau bahkan haram untuk dijadikan sebagai panutan dan teladan,
apalagi ‘idola’, seperti tokoh fiktif dan khayalan semisal superman dan
semacamnya, atau para selebritis, penyanyi, bintang film, pemain olah
raga dan semisal mereka yang banyak dipropagandakan dan menjadi proyek
musuh-musuh Islam untuk menjauhkan kaum muslimin dari agamanya.
Apabila seseorang telah menjadikan sebuah
sosok sebagai teladan, panutan apalagi idola, maka ia akan berusaha
mengikuti, meneladani dan mencontoh apa saja yang dilakukannya dan
mentaati apa saja yang dikatakannya sebagaimana dikatakan:
Seandainya cintamu sejati tentu engkau akan menaatinya
Sesungguhnya orang yang mencintai akan taat kepada yang dicintainya.
Dalam hadits di atas, Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu merasakan kebahagiaan yang paling mendalam setelah
kebahagiaan dengan keimanan dan keislamannya dengan hadits ini, yaitu
kecintaan keapda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan
‘Umar radhiyallahu ‘anhum. Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengabarkan bahwa seseorang akan bersama orang yang dicintainya,
berarti ia akan bersama mereka di surga karena mereka adalah para
penghuni surga yang paling tinggi. Meskipun Anas merasa tidak mampu
untuk beramal sebagaimana amal mereka, namun ia yakin dan berharap
cintalah yang akan bisa membawanya bersama mereka hingga hari kiamat,
dan hingga masuk ke dalam surga di sisi-Nya.
Berbahagialah orang yang memberikan cinta
yang paling besar dalam dirinya setelah Allah azza wa jalla. Kepada
manusia-manusia yang diridhoi dan dicintai-Nya. Adapun sebaliknya,
apabila seseorang menjadikan teladan , panutan dan orang yang
dicintainya apalagi yang menjadi idola dalam hidupnya adalah ahli dunia,
apalagi yang memiliki sifat, amal perbuatan, keyakinan yang menyimpang
bahwa bertentangan dengan apa yang dimurkai-Nya, maka ia pun akan
bersamanya di dunia dan nanti di akhirat ketika mereka terancam dengan
api neraka, wal’iyadzubillah.
Akankah kita memilih teladan dan panutan
yang lain setelah kita mengetahui dan yakin bahwa kita akan bersama
orang yang kita teladani dan kita cintai nanti dihari kiamat?! Seorang
mukmin tidak akan spekulatif dalam pilihannya. Ali bin Abi Tholib
radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya dunia pergi menjauh dan
akhirat dating mendekat, dan masing-masing dari keduanya memiliki
anak-anak. Maka jadilah kalian anak-anak akhirat, karena hari ini adalah
hari beramal, bukan hari penghisaban, dan esok adalah hari penghisaban
dan tiada lagi beramal.”
Wallahul muwaffiq
Penulis: Ustadz Abu Abdirrohman –hafizhahullah-
Post a Comment