Madzhab Akidah, Fiqih, dan Tasawuf Dalam Nahdhatul Ulama (NU)
Ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw., telah melalui perjalanan yang panjang. Pasca wafatnya Rasulullah SAW, bermunculan firqah-firqah (golongan-golongan) dalam umat Islam, yang satu dan lainnya sulit didamaikan, apalagi dipersatukan.[1] Nahdhatul Ulama (NU) yang berpaham Ahlussunah wal Jama’ah memiliki tanggung jawab besar dalam rangka melindungi umat Islam tetap berada dalam tuntunan ajaran Islam yang lurus. Oleh sebab itu, NU telah memberikan garis-garis yang jelas tentang sikap keagamaannya, baik dalam masalah akidah, syariah, tasawuf, maupun siyasah.
NU mendasarkan paham keagamaannya pada Al-Qur’an, hadist, ijma’ dan qiyas. Pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Hadist sendiri tentu berbeda-beda antara satu paham dan lainnya. Jadi, meskipun paham-paham dalam Islam mendasarkan sikap keagamaan terhadap Al-Qur’an dan Hadist, namun pemahaman dan tafsir atas dasar tersebut berbeda.
1. Dalam bidang akidah, NU mengikuti paham Ahlussunnah wal Jamaah yang dipelopori oleh Imam Abu al-Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi
2. Dalam bidang fiqih, NU mengikuti jalan pendekatan (madzhab salah satu dari madzhab Imam Abu Hanifah an-Nu’man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
3. Dalam bidang tasawuf mengikuti, antara lain Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam Al-Ghazali, serta imam-imam lainnya,[2] seperti Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.
4. Dalam Siyasah mengikuti Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad al-Mawardi
Di bawah ini dijelaskan lebih rinci tentang sikap keagamaan NU, baik dalam hal akidah, syariah, tasawuf, dan siyasah. Penjelasan tentang hal tersebut tidak mungkin menghindarkan dari biografi tokoh pendiri madzhab yang diikuti oleh NU.
Permasalahan-permasalahan keagamaan sebenarnya sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw., masih hidup. Namun, waktu itu, setiap kali persoalan muncul, para sahabat dapat segera memecahkannya dengan jalan Rasulullah Muhammad Saw. Apabila ada ayat-ayat yang kurang bisa dipahami, Sahabat akan menanyakannya langsung kepada Rasul, dan segera mendapatkan jawabannya. Apabila terjadi perbedaan pendapat, Rasulullah Saw. akan menengahi dan selesailah masalah.
Namun begitu, setelah wafatnya Baginda Rasulullah Muhammad Saw., seiring dengan berjalannya waktu, berbagai permasalahan keagamaan terus bermunculan. Al-Qur’an dan Hadist yang menjadi pondasi utama umat Islam dalam berakidah dan beribadah ditafsirkan secara berbeda-beda, sehingga niscaya menimbulkan pemahaman yang berbeda.
Sesungguhnya persengketaan akidah pada mulanya diakibatkan oleh pertentangan masalah imamah. Dari persoalan tersebut, kemudian merambah ke wilayah agama, terutama seputar hukum seorang muslim yang berdosa besar dan bagaimana statusnya ketika ia meninggal; mukmin ataukah sudah kafir.[3] Dari situ, pembicaraan tentang akidah kemudian meluas ke persoalan-persoalan Tuhan dan manusia baik menyangkut perbuatan dan kekuasaan Tuhan, juga sifat keadilan Tuhan, sampai pada persoalan apakah Al-Qur'an termasuk makhluk atau bukan.
Sampai kemudian lahirlah paham-paham akidah, seperti Qadariyah, Jabbariyah, Mu’tazilah, Asy'ariyah dan Maturidiyah. Dua kelompok terakhir itulah yang mengambil sikap moderat yang kemudian dikenal dengan pahamnya Ahlusunnah wal Jamaah.
Disebut Asy‘ariyah karena madzhab tersebut didirikan oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari, dan Maturidiyah karena pendirinya adalah Imam Abu Manshur al-Maturidi.
Ahlusunnah wa Jama’ah sering juga disebut dengan ahlussunnah, atau sunni, atau kadang-adang disebut 'Asy'ari atau Asy'ariyah, dikaitkan kepada guru besar yang bertama, Abu al-Hasan 'Ali al-Asy'ari. Nama lengkap beliau adalah Abu Hasan Ali bin Ismail, bin Abi Basyar, Ishaq bin Salim, bin Isma'il, bin Abdillah, bin Musa, bin Bilal, bin Abi Burdah, bin Abi Musa al-Asy'ari.[4]
Abu Hasan 'Ali, lahir di Bashrah (Irak) tahun 260 H, 55 tahun sesudah meningalnya Imam Syafi'i. Pada mulanya, Abu Hasan merupakan murid dari ayah tirinya sendiri, bernama Syeikh Abu 'Ali Muhammad bin Abdul Wahab Al-Jabai yang merupakan ulama besar Mu'tazilah. Pada waktu Abu Hasan berusia remaja, Mu'tazilah memang menjadi paham penguasa, dan ulama-ulama Mu'tazilah banyak sekali bisa dijumpai, baik di Bashrah, Kuffah, maupun Baghdad.
Imam Abu Hasan al-Asy'ari kemudian mendapatkan hidayah bahwa dalam paham Mu'tazilah terdapat banyak kesalahan besar yang bertentangan dengan i'tiqad dan kepercayaan Nabi Muhammad Saw., dan sahabat-sahabat beliau, selain juga banyak yang bertentangan dengan al-Qur'an dan Hadis. Maka, beliau kemudian memutuskan keluar dan tampil sebagai penentang untuk melawan pendapat-pendapat kaum Mu'tazilah.[5]
Abu Hasan Al-Asy’ari banyak berjuang menegakkan akidah Ahlusunnah wal Jamaah dengan menggunakan tulisan maupun lisan, menandingi kaum Mu’tazilah. Beliau telah merumuskan dan menulis kitab-kitab akidah sehingga namanya terkenal sebagai seorang ulama Tauhid. Di antara kitab-kitab terkenal karangan beliau adalah, Ibanah fi Ushuluddiyanah yang tediri dari 3 jilid besar, Maqallatul Islamiyiin, Al Mujaz, dan masih banyak lagi.
Akidah Asy'ariyah merupakan jalan tengah (tawasuth) di antara kelompok-kelompok keagamaan yang berkembang pada masa masa itu (abad 3 H).[6] Kita paham, paling tidak ada dua kelompok yang saling bertolak belakang, yakni Jabariyah dan Qadariyah yang keduanya dikembangkan oleh Mu'tazilah.
Sikap tawasuth ditunjukkan oleh Asy'ariyah dengan konsep al-kasb (upaya). Menurut Asy'ari, perbuatan manusia diciptakan oleh Allah, namun manusia memiliki peranan dalam perbuatannya. Kasb memiliki makna kebersamaan kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan. Kasb juga memiliki makna keaktifan dan bahwa manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.
Berbeda dengan Jabbariyah yang menganggap bahwa manusia tidak memiliki daya dan upaya sama sekali, konsep Kasb Asy'ariyah menempatkan manusia sebagai manusia yang selalu berusaha secara kreatif dalam kehidupannya, namun tidak melupakan bahwa Tuhanlah yang menentukan semuanya.[7]
Paham akidah seseorang tentu saja sangat memengaruhi pola kehidupannya sehari-hari, bukan saja pada masalah kepercayaan (keimanan), tetapi menyangkut urusan ekonomi, budaya dan persoalan-persoalan lainnya.
Konsep akidah Asy’ari banyak diterima bukan hanya disebabkan lebih mudah dicerna akal sehat, tetapi karena ia mendasarkan konsep akidahnya dengan mengutamakan dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadist di atas akal dan pikiran. Asya’ari tidak menolak peran akal, sebab memahami al-Qur’an dan Hadist tanpa akal adalah mustahil. Tetapi kemampuan akal terbatas, dan penggunaan akal dalam menerjemahkan wahyu tidak bisa semena-mena. Adakalanya hal-hal yang berkaitan dengan masalah-masalah akidah (seperti Kehendak Allah, Keadilan Allah, dll) tidak bisa dijangkau oleh akal. Pada saat yang demikian itulah akal mesti tunduk kepada wahyu.
Pada perkembangannya, Paham Asy’ariyah terus menyebar dan meluas. Kian lama kian banyak bermunculan ulama-ulama yang mengikuti, memperkuat, dan mengembangkan paham Asy’ariyah. Salah satunya adalah Imam Abu Mansur Al-Maturidi.
Nama lengkapnya Muhammad bin Muhammad bin Mahmud. Beliau lahir di Samarqand, tepatnya di sebuah desa bernama Maturid.[8]
Paham akidah Maturidiyah dan Asy'ariyah memiliki keselarasan. Makanya, kedua imam besar inilah yang kemudian dianggap sebagai pembangun Madzhab Ahlusuunnah wal Jama’ah. Kalau ada yang berbeda antara keduanya, itu hanya pada madzhab fiqh yang mereka ikuti. Asy'ariyah menggunakan madzhab Imam Syafi'i dan Imam Malik, sementara Maturidiyah menggunakan madzhab Imam Hanafi.
Di antara pemikiran Abu Manshur Al-Maturidi dalam masalah akidah adalah upaya mendamaikan antara dalil aqli dan naqli (akal dan wahyu). Paham Maturidiyah berpendapat bahwa, apabila kita berhenti berbuat pada saat tidak terdapat nash (naql) maka itu merupakan suatu kesalahan, sama juga salah apabila kita larut tidak terkendali dalam menggunakan rasio ('aql).[9]
Jadi, antara 'aql dan naql memiliki peranan yang sama pentingnya. Menafikan peran akal dalam memahami dalil naql merupakan suatu kemustahilan.
Sekilas, pandangan tersebut sama dengan konsep 'Asy'ariyah, tetapi sebenarnya terdapat perbedaan, yakni pada posisi akal terhadap wahyu. Dalam buku Aswaja An-Nahdhiyyah[10] dijelaskan bahwa menurut Maturidiyah, wahyu harus diterima penuh. Tapi jika terjadi perbedaan antara wahyu dan akal maka akal harus berperan menatakwilkannya. Terhadap dalam ayat-ayat tajsim (Allah bertubuh) atau tasybih (Allah serupa makhluk), misalnya, harus ditafsirkan dengan arti majazi (kiasan). Contoh seperti lafal “Yadullah” yang arti aslinya "Tangan Allah" ditakwil menjadi "kekuasaan Allah".
Lagi, tentang sifat Allah. Maturidiyah dan Asy'ariyah sama-sama menerimanya. Namun, sifat-sifat itu buka sesuatu yang berada di luar zat-Nya. Sifat tidak sama dengan zat, namun tidak dari selain Allah. Misalnya, Tuhan Maha Mengetahui bukanlah dengan Zat-Nya, tetapi dengan pengetahuan ('ilmu)-Nya (ya'lamu bi 'ilmihi).
Dalam persoalan kekuasaan dan kehendak (Qudrah dan Iradah) Tuhan, Maturidiyah berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi oleh Tuhan sendiri. Jadi kehendak Tuhan tidak mutlak. Meskipun demikian Tuhan tidak dapat dipaksa atau terpaksa dalam berbuat, melainkan sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya.
Misalnya, Allah menjanjikan orang baik akan masuk surga, dan sebaliknya orang jahat masuk neraka, maka Allah akan menepati janji-janji tersebut. Namun, manusia diberikan kebebasan oleh Allah dalam menggunakan daya untuk memilih antara yang baik dan yang buruk.
Dengan demikian, menurut paham Maturidiyah, perbuatan itu tetap diciptakan oleh Tuhan. Sehingga perbuatan manusia sebagai perbuatan bersama antara manusia dan Tuhan. Allah yang mencipta, sementara manusia meng-kasab-nya.
Sumber hukum Islam (Fiqh) yang utama adalah Al-Qur’an dan hadist. Sementara kita tahu bahwa ayat-ayat al-Qur’an tidak bertambah dan tidak berkurang. Sedangkan permasalahan-permasalahan baru terus muncul seiring perkembangan zaman. Maka, dibutuhkan upaya penggalian hukum, atau yang lebih sering disebut dengan istilah ijtihad.
Ijtihad sendiri sebenarnya sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw., ketika Sahabat menjumpai suatu persoalan yang harus segera diputuskan sementara mereka tidak sedang bersama Rasulullah. Pada masa Khulafarurrashidin, khalifah kerap mengumpulkan para Sahabat untuk membahas suatu masalah dan menentukan hukumnya, lalu lahirlah ijma’ atau kesepakatan.
Di antara tokoh yang mampu berijtihad sejak generasi sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in, terdapat banyak tokoh yang ijtihadnya kuat (disebut mujtahid mustaqil). Bukan hanya mampu berijtihad sendiri tetapi juga mampu menciptakan pola pemahaman (manhaj) tersendiri terhadap sumber pokok hukum Islam, yakni al-Qur'an dan Hadis. Hal tersebut dibuktikan dengan metode ijtihad yang mereka rumuskan sendiri, menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh, qawa'idul ahkam, qawa'idul fiqhiyyah dan sebagainya. Proses dan prosedur ijtihad yang mereka hasilkan dilakukan sendiri tersbut mendandakan bahwa secara keilmuan dan pemahaman keagamaan serta ilmu penunjang dalam berijtihad lainnya telah mereka miliki dan kuasai.[11]
Perbedaan pendapat (ikhtilaf) dalam masalah fiqih memang tidak bisa dicegah, tetapi bukan berarti setiap orang bebas untuk berijtihad (menjadi mujtahid). Bagi orang awam, mengikuti para imam madzhab adalah wajib, demikian pendapat ulama Nahdhiyyin.
Madzhab sendiri berarti jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan dalam masalah keagamaan. Pada hakikatnya, semua orang pasti bermadzhab. Kalau tidak bermadzhab pada madzhab-madzhab lama, mereka bermadzhab kepada madzhab yang baru. Taqlid (mengikuti) pada imam madzhab bukanlah suatu kemunduran, tetapi justru sebagai sarana melestarikan dan mengembangkan ajaran Islam. Dengan bermadzhab, pewarisan dan pengamalan ajaran Islam menjadi terpelihara, ajaran Islam terjamin kemurniannya.
Para imam madzhab adalah orang-orang yang sudah terkenal kealimannya dan sangat menguasai ilmu-ilmu al-Qur'an dan hadist. Jadi, apabila dikatakan bahwa bermadzhab bukanlah jalan yang diajarkan oleh Rasulullah, sesungguhnya hal tersebut tidak berdasar. Sebab para Imam madzhab adalah orang-orang yang ketaatannya pada al-Qur'an dan sunnah sudah teruji. Bermadzhab berarti mengikuti apa yang sudah menjadi pegangan imam madzhab.
Dalam ranah fiqh, NU bermadzhab kepada madzhab empat yang masyhur, yakni, Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Pertanyaan yang krap muncul adalah, kenapa NU hanya memilih empat madzhab untuk dijadikan pijakan dalam berfiqh?
Dalam buku Aswaja an-Nahdliyah, sebagaimana dikutip K.H Busyairi Harist,[12] adalah karena: Pertama, kualitas pribadi dan keilmuan mereka sudah masyhur. Jika disebut nama mereka hampir dipastikan mayoritas umat Islam di dunia mengenal dan tidak perlu lagi menjelaskan secara detail tentang keilmuan mereka. Kedua, keempat Imam madzhab tersebut merupakan Imam Mujtahid Mutlak Mustaqil, yaitu imam mujtahid yang mampu secara mendiri menciptakan manhaj al-fiqr (metode berpikir), pola, proses dan prosedur istimbath dengan seluruh perangkat yang dibutuhkan. Ketiga, Imam madzhab itu mempunyai murid-murid yang secara konsisten mengajar dan mengembangkan madzhabnya yang didukung oleh buku induk yang masih terjalin keasliannya hingga saat ini. Keempat, jika ditelusuri ternyata para Imam madzhab tersebut mempunyai mata rantai dan jaringan intelektual di antara mereka.
Nama lengkapnya adalah Imam Nu’man bin Tsabit. Beliau sering disebut Imam Abu Hanifah, sementara madzhabnya dikenal dengan Madzhab Hanafi. Imam Abu Hanifah adalah golongan Tabiin yang lahir pada tahun 80 H dan wafat tahun 150 H.
Abu Hanifah mendapat gelar Al-Imam al-A'ham (Imam Agung), dan menjadi tokoh panutan di Iraq. Beliau juga dikenal sebagai penganut aliran ahlu ra'yi dan bahkan menjadi menjadi tokoh sentralnya. Di katakan Ahl ra’yi bukan berarti Abu Hanifah hanya mengandalkan akalnya. Tetapi dalam memandang Nash, beliau lebih memandang apa yang ada di balik nash (al-Qur’an dan Hadis), bukan secara tekstual. Di antara manhaj istinbath-nya yang terkenal adalah konsep al-Ihtihsan.
Meskipun Abu Hanifah sangat terkenal sebagai Imam madzhab fiqh tetapi tidak ada satu kitab pun yang beliau tulis sampai kepada kita. Fiqh Abu Hanifah yang menjadi rujukan utama madzhab Hanafi ditulis oleh dua orang murid utamanya: Imam Abu Yusuf Ibrahi dan Imam Muhammad bin Hasan As-Syaibani.
Malik bin Annas dilahirkan tahun 93 H dan wafat tahun 179 H di Madinah. Kelak, ia dikenal sebagai Imam Malik, pendiri madzhab Maliki.
Imam Malik adalah seorang ahli hadist yang masyhur dengan kitab monumentalnya berjudul ‘Al-Muwatha' di nilai sebagai kita hadits hukum yang paling shahih. Bahkan, Khalifah Harun Ar-Rasyid pernah bermaksud menggantung kitab al-Muwatha' di Ka'bah dan menyuruh seluruh umat Islam untuk mengikuti isinya. Tapi, Imam Malik menjawab: ”Jangan engkau lakukan itu, karena para shahabat Rasulullah SAW saja berselisih pendapat dalam masalah furu’(cabang), apalagi (kini) mereka telah berpencar ke berbagai negeri.” Imam Malik menyadari bahwa dalam masalah fiqh perbedaan adalah suatu keniscayaan.
Imam Malik memiliki metode tersendiri dalam meng-istimbath-kan hukum, dan metodenya tersebut masih berpengaruh sampai sekarang. Di antara langkah penting yang ditawarkan oleh Madzhab Maliki dalam berijtihad adalah pengunaan al-maslahah al-mursalah. Teori al-Maslahah al-Mursalah diilhami oleh satu paham bahwa syari’ah Islam bertujuan mendatangkan manfaat, kesejahteraan dan kedamaian bagi kepentingan masyarakat dan mencegah kemudharatan.
Selain itu, Imam Malik juga melahirkan manhaj istimbath “Amal al-Ahl al-Madinah” yaitu perilaku sehari-hari penduduk Madinah. Imam Malik menempatkan penduduk Madinah sebagai orang yang paling tahu terhadap sunnah Rasul, termasuk nasakh dan mansukhnya. Apabila penduduk Madinah itu sepakat tentang sesuatu perilaku, maka kesepakatan ini lebih tinggi nilainya dibanding qiyas dan khabar ahad (kendati sahih sanad).
Pendiri Madzhab Syafi'i ini memiliki nama lengkap Muhammad bin Idris asy-Syafi'i. Imam Syafi'i dilahirkan di Ghozza tahun 150 H dan wafat tahun 204 H di Mesir. Beliau adalah juga murid dari Imam Malik di Madinah dan Imam Muhammad bin Hasan di Baghdad yang merupakan murid senior dari Imam Abu Hanifah. Pada masa wafatnya Imam malik (179 H), Imam Syafi’i telah dipercaya sebagai seorang fuqaha yang masyhur di Hijaz dan jazirah arab lainnya.
Karya monumental dari Imam Syafi'i berjudul Ar-Risalah, sebuah kitab ushul fiqh yang pertama sampai kepada kita. Kitab itu pula yang membuat beliau dikenal sebagai Bapak Ushul Fiqh.
Sementara itu fatwa-fatwa fiqh Imam Syafi'i dikelompokkan menjadi dua macam, yang kemudian dikenal sebagai al-Qoul Qodim dan al-Qoul Jadid. Al-Qoul Qodim (pendapat lama) merangkum pendapat-pendapat Imam Syafi'i sewaktu beliau berada di Baghdad, sementara al-Qoul Jadid (pendapat baru) merangkum pendapat-pendapat beliau setelah berada di Mesir. Semua pendapat-pendapat tersebut, terangkum dalam kitab al-Umm.
Nama lengkapnya Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, sering disebut dengan Imam Hambali. Beliau dilahirkan di Baghdad, pada tanggal 20 Rabiul Awwal tahun 164 H. Ketika masih bayi, Imam Ibn Hambal dibawa ke Baghdad tempat ayahnya meninggal dalam usianya yang sangat dini, 30 tahun. Imam Ibn Hambal merupakan murid Imam Syafi'i selama di Baghdad. Sampai Imam Syafi'i wafat beliau masih selalu mendoakannya. Imam Ahman bin Hambal mewariskan sebuah kitab hadits yang terkait dengan hukum Islam berjudul Musnad Ahmad.
Dalam bidang tasawuf Aswaja memiliki prinsip untuk dijadikan pedoman bagi kaumnya. Sebagaimana dalam masalah akidah dan fiqih, dimana Aswaja mengambil posisi yang moderat, tasawuf Aswaja juga demikian adanya.
Manusia diciptakan Allah semata-mata untuk beribadah, tetapi bukan berarti meninggalkan urusan dunia sepenuhnya. Akhirat memang wajib diutamakan ketimbang kepentingan dunia, namun kehidupan dunia juga tidak boleh disepelekan. Dalam emenuhi urusan dunia dan akhirat mesti seimbang dan proporsional.
Dasar utama tasawuf Aswaja tidak lain adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu, jika ada orang yang mengaku telah mencapai derajat Makrifat namun meninggalkan al-Qur’an dan sunnah, maka ia bukan termasuk golongan Aswaja. Meski Aswaja mengakui tingkatan-tingkatan kehidupan rohani para sufi, tetapi Aswaja menentang jalan rohani yang bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Imam Malik pernah mengatakan, “Orang yang bertasawuf tanpa mempelajari fikih telah merusak imannya, sedangkan orang yang memahami fikih tanpa menjalankan tasawuf telah merusak dirinya sendiri. Hanya orang yang memadukan keduanyalah yang akan menemukan kebenaran.”[13]
Sudah sepantasnya, para sufi harus selalu memahami dan menghayati pengalaman-pengalaman yang pernah dilalui oleh Nabi Muhammad selama kehidupannya. Demikian juga pengalaman-pengalaman para sahabat yang kemudian diteruskan oleh tabi’in, tabi’ut tabi’in sampai pada para ulama sufi hingga sekarang. Memahami sejarah kehidupan (suluk) Nabi Muhammad hingga para ulama waliyullah itu, dapat dilihat dari kehidupan pribadi dan sosial mereka. Kehidupan individu artinya, ke-zuhud-an (kesederhanaan duniawi), wara’ (menjauhkan diri dari perbuatan tercela) dan dzikir yang dilakukan mereka.[14] Kehidupan sosial, yakni bagaimana mereka bergaul dan berhubungan dengan sesama manusia. Sebab tasawuf tercermin dalam akhlak; bukan semata hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan manusia dengan manusia lainnya.
Jalan sufi yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para pewarisnya adalah jalan yang tetap memegang teguh perintah-perintah syari’at. Karena itu, kaum Aswaja An-Nahdliyah tidak dapat menerima jalan sufi yang melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban syari’at, seperti praktik tasawuf al-Hallaj (al-hulul) dengan pernyataannya “ana al-haqq” atau tasawuf Ibnu ‘Arabi (ittihad; manunggaling kawula gusti).[15]
Kaum Aswaja An-Nahdliyah hanya menerima ajaran-ajaran tasawuf yang moderat, yakni tasawuf yang tidak meninggalkan syari’at dan aqidah sebagaimana sudah dicontohkan al-Ghazali, Junaid al-Baghdadi, juga Syekh Abdul Qadir al-Jailani.
Beliau lahir pada 470 H. (1077-1078) di al-Jil (disebut juga Jailan dan Kilan), kini termasuk wilayah Iran. Ibunya, Ummul Khair Fatimah bint al-Syekh Abdullah Sumi merupakan keturunan Rasulullah Saw., melalui cucu terkasihnya Husain. Suatu ketika Ibunya berkata, "Anakku, Abdul Qadir, lahir di bulan Ramadhan pada siang hari bulan Ramadhan, bayiku itu tak pernah mau diberi makan."[16]
Ketika berusia 18 tahun, beliau pergi meninggalkan kota kelahirannya menuju Baghdad. "Kudatangi ibuku dan memohon kepadanya, 'izinkan aku menempuh jalan kebenaran, biarkan aku pergi mencari ilmu bersama para bijak dan orang-orang yang dekat kepada Allah.'"[17] Pada waktu itu, Baghdad dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan.
Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa orang ulama, antara lain Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al Farra' dan juga Abu Sa'ad al Muharrimiseim. Beliau menimba ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama.
Selanjutnya, pada tahun 521 H/1127 M, Syekh Abdul Qadir al-Jailani mengajar dan menyampaikan fatwa-fatwa agama kepada masyarakat. Tidak butuh waktu lama beliau segera dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun, beliau menghabiskan waktunya sebagai pengembara di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi yang masyhur.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dikenal sebagai pendiri Tarekat Qodiriyah, sebuah istilah yang tidak lain berasal dari namanya. Tarekat ini terus berkembang dan banyak diminati oleh kaum muslimin. Meski Irak dan Syiria disebut sebagai pusat dari pergerakan Tarekat tersebut, namun pengikutnya berasal dari belahan negara muslim lainnya, seperti Yaman, Turki, Mesir, India, hingga sebagian Afrika dan Asia, termasuk Indonesia.
Nama lengkap beliau adalah Abu al-Qosim al-Junaid bin Muhammad bin al-Junaid al-Khazzaz al-Qowariri al-Nahawandi al-Baghdadi. Beliau dilahirkan di kota Baghdad tanpa diketahui secara pasti tahun kelahirannya. Ayahnya seorang pedagang barang pecah belah, sementar Ibunya merupakan saudara kandung Sari bin al-Mughallis al-Saqathi (w.235 H/867M), seorang tokoh sufi terkemuka yang kelak menjadi gurunya.
Al-Junaid dikenal cerdas, dan pada usia dua puluh tahun bela telah mampu mengeluarkan fatwa. Semua kalangan menerima madzhab yang dibangunnya, dan beliau disepakati sebagai penyandang gelar “Syekh al-Thaiifah al-Shufiyyah wa Sayyiduha” (Tuan Guru dan Pemimpin kaum sufi).
Abdul Wahhab al-Sya’rani, sebagaimana dikutip Dr. K.H Saefuddin Chalim,[18] mengungkapkan paling tidak ada empat faktor yang mengantarkan al-Junaid menjadi satu-satunya figur yang berhak menyandang gelar tersebut sehingga diakui sebagai acuan dan standar dalam tasawuf Ahlussnah wal Jama’ah.
Pertama, konsistensi terhadap al-Kitab dan Sunnah. Penguasaan al-Junaid terhadap al-Qur’an dan Sunnah membawa pengaruh positif terhadapnya dalam membangun madzhabnya di atas fondasi Islam yang kuat dan shahih. Beribadah tanpa adanya pengetahuan yang memadai dianggap bisa membawa seseorang ke dalam kesesatan. Oleh karenanya, al-Junaid begitu mengedepankan ilmu agama sebagai pegangan kaum sufi dalam menempuh jalan suluk.
Kedua, konsistensi terhadap syari’ah. Para ulama mengakui bahwa belum pernah ditemukan di antara isyarat-isyarat al-Junaid dalam bidang tasawuf yang bertentangan dengan syari’ah. Syariah adalah rel yang jika seorang sufi keluar dari jalurnya maka pintu kebaikan akan tertutup baginya.
Ketiga, kebersihan dalam akidah. Al-Junaid membangun madzhabnya di atas fondasi akidah yang bersih, yaitu akidah Ahlussunah wal Jama’ah.
Keempat, ajaran tasawuf yang moderat. Ajaran tasawuf yang moderat merupakan ciri-ciri tasawuf Ahlussunah wal Jama’ah. Al-Junaid memandang bahwa orang yang baik bukanlah orang yang berkonsentrasi melakukan ibadah saja, sementara ia tidak ikut berperan aktif dalam memberikan kemanfaatan kepada manusia. Pandangan tasawuf yang demikian mematahkan tasawuf ekstrem yang beranggapan bahwa jika seseorang sudah sampai pada derajat makrifat atau wali, maka pengamalan terhadap ajaran-ajaran agama tidak diperlukan lagi baginya.
Al-Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali Al-Thusi. Beliau dilahirkan di kota Thus (daerah Khurasan) tahun 450 H/1058M. Beliau dikenal dengan al-Ghazali karena berasal dari desa Ghazalah, atau ada yang menganggap bahwa sebutan al-Ghazali melekat karena ayahnya bekerja sebagai pemintal tenun wol.
Masa kecil dan masa muda al-Ghazali dipenuhi dengan belajar ilmu agama, dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu guru ke guru lain. Ia pernah belajar kepada Ahmad bin Muhammad al-Radzikani al-Thusi, Imam Abu Nashr al-Isma’ili, Syekh Yusuf al-Nassaj, Imam Abu al-Ma’ali Abdul Malik bin Abdllah al-Juwaini yang merupakan ulama terkemuka Madzhab Syafi’i.
Kecemerlangan Al-Ghazali mengantarkannya menduduki guru besar di Universitas Nizhamiyah Baghdad (Tahun 848/1091M). Di sanalah, waktu itu, Al-Ghazali dikelilingi dengan berbagai kesenangan duniawi, tetapi hal tersebut tidak membuatnya bahagia. Lalu beliau memutuskan untuk pindah ke Damaskus di Syiria dan tinggal di kota itu. Di sana beliau lebih banyak beri’tikaf dan berzikir, menjalani riyadhah dan mujahadah. Setelah dua tahun, al-Ghazali kemudian meninggalkan Damaskus menuju Baitul Maqdis di Palestina.
Imam al-Ghazali sebagai pelopor sufi mengembangkan tasawuf kepada dasar aslinya seperti yang diamalkan oleh para sahabat Rasulullah Saw. Ia telah menulis puluhan kitab, dan yang paling terkenal adalah Ihya Ulumiddin (Menghidupkan kembali ajaran Islam). Melalui kitab tersebut al-Ghazali memberikan pegangan dan pedoman perkembangan tasawuf Islam, dan menjadi rujukan bagi mereka dalam mengembangkan paham positifisme yang sesusi dengan akidah dan syariah.[19]
Iman, Islam, dan ihsan mesti sejalan bersamaan. Beriman tanpa menjalankan ibadah sesuai syariat membuat keimanan seseorang diragukan. Sementara ihsan adalah amal shalih, yang diwujudkan dalam akhlakul karimah dan kedekatan hamba terhadap Tuhan.
Dengan tasawuf al-Ghazali, Syekh Abdul Qadir al-Jailani, dan Junaid al-Baghdadi, kaum Aswaja An-Nahdliyah diharapkan menjadi umat yang selalu dinamis dan dapat menyandingkan antara tawaran-tawaran kenikmatan bertemu dengan Tuhan dan sekaligus dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat. Hal semacam ini pernah ditunjukkan oleh para penyebar Islam di Indonesia, Walisongo. Secara individu, para wali itu memiliki kedekatan hubungan dengan Allah dan pada saat yang sama mereka selalu membenahi akhlaq masyarakat dengan penuh kebijaksanaan. Dan akhirnya ajaran Islam dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat dengan penuh kaikhlasan dan ketertundukan.[20]
Sejak awal berdirinya, NU banyak terlibat dalam masalah politik, baik politik praktis maupun kultural. Kita tidak bisa melupakan era-era awal kemerdekaan, banyak tokoh NU yang menduduki jabatan di pemerintahan. Bahkan, pada tahun 1952, lewat Muktamar NU ke-19, NU memutuskan untuk menjadi partai politik yang kemudian bubar saat Orde Baru berkuasa (tahun 1973).
Muktamar NU ke-27 tahun 1984 di Situbondo menjadi satu titik penting dalam sejarah NU. Dalam Muktamar tersebut NU menegaskan dirinya sebagai organisasi keagamaan yang lebih banyak berkonsentrasi dalam masalah-masalah yang dihadapi umat Islam. Sebenarnya, wacana kembali ke Khittah NU tahun 1926 sudah lama disuarakan, namun baru menjadi diskusi dan perdebatan yang serius ketika Muktamar di Sitbondo.
Dalam formulasi Khittah NU ditegaskan bahwa NU tidak terlibat dalam organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun. Namun begitu, NU tidak melarang anggotanya untuk terlibat dalam urusan politik, karena hal tersebut bukanlah eksistensi dari Khittah.
Dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta (1989) dirumuskan 9 (sembilan) Pedoman Politik Warga NU, yaitu garis-garis pedoman untuk melangkah bagi kaum Nahdhiyin yang menerjuni dunia politik dengan tetap menjunjung tinggi Khitthah Nahdlatul Ulama.
Di lingkungan NU juga dikenal istilah Politik Kebangsaan, Politik Kerakyatan dan Politik Kekuasaan. Berikut ini 9 Pedoman Politik Warga NU dimaksud:
1. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
2. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir batin, dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
3. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.
4. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika dan budaya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.
6. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional, dan dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pengamalan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah.
7. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalih apapun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.
8. Perbedaan pandangan di antara aspiran-aspiran politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadhu’ dan saling menghargai satu sama lain, sehingga di dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama.
9. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal batik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.[21]
Warga dan kiai NU yang ingin terjun ke dunia politik diperbolehkan asal mengerti ilmu politik dan piawai menjalankan strategi siyasah dengan tidak membawa label organisasi. Potensi politik kader NU juga hendaklah dikelola dengan profesional agar memberikan kontribusi bagi NU dan tidak sekadar "menjual" organisasi. Inilah pentingnya pemaknaan politik bagi kalangan Nadhiyin agar NU tidak menjadi korban ketika pesta demokrasi.[22]
Menghindarkan dari urusan politik dan menyerahkan sepenuhnya kepada orang yang tidak kompeten justru membahayakan. Selain menghayati Khittah NU, paling tidak warga NU penting mengetahui rujukan siyasah kaum Aswaja. Salah satu ahli fiqh siyasah yang juga bermadzhab Syafi'i, yakni Abu Hasan al-Mawardi (w 450H).
Nama lengkapnya adalah Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Bashri. Al-Mawardi dilahirkan di Bashrah pada tahun 364 H. atau 975 M. Panggilan al-Mawardi diberikan kepadanya karena kecerdasan dan kepandaiannya dalam berorasi, berdebat, berargumen dan memiliki ketajaman analisis terhadap setiap masalah yang dihadapinya. Sementara julukan al-Bashri dinisbatkan pada tempat kelahirannya.
Al-Mawardi kecil hingga remaja belajar fiqh Syafi’iyah di Bashrah sebelum kemudian merantau ke Baghdad dan mendatangi para ulama untuk menyempurnakan keilmuannya dalam bidang fiqh. Imam Al-Mawardi dikenal sebagai duta diplomasi pemerintah bani Buwaih dan di sisi lain sebagai duta diplomasi khalifah Abbasiyah, terutama khalifah Qoim Baimillah.
Salah satu di antara misinya selama menjadi duta diplomasi adalah untuk mendamaikan antara kubu-kubu politik yang berseberangan dan kubu-kubu lain yang sering berlindung di bawah kekuatan senjata dalam menyelesaikan persoalan.
Al-Mawardi telah menulis banyak kitab baik tafsir, fikih, hisbah, maupun sosio-politik. Satu karyanya yang paling monumental adalah kitab Ahkam Shulthaniyyah (hukum-hukum ketatanegaraan) yang sampai sekarang menjadi kitab rujukan paling poluper bagi setiap orang yang mengkaji ilmu perpolitikan di kalangan Islam.
Selain itu, di antara pemikiran Al-Mawardi yang cukup terkenal adalah, pemetaan—bukan pemisahan—antara perkara dunia dan agama dalam bukunya Adabud Dunya wad Din (perkara Dunia dan Perkara Akhirat). Menurutnya, perkara dunia adalah perkara kenegaraan (politik), sedangkan perkara agama adalah syariat Tuhan. Pemisahan ranah politik dan agama menjadi penting dalam rangka mengantisipasi percampuran keduanya. Dengan begitu, politisasi agama dapat dihindarkan.[23]
[1] K.H. Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah, Cet-24, (Pustaka Tarbiyah: Jakarta, 2000). hal. 17.
[2] Khittah NU, Keputusan Mukamar XXVII NU No 02/MN-27/1984.
[3] Tim PWNU Jawa Timur, Aswaja An-Nahdhiyyah, Cet.II (Khalista: Surabaya, 2007). hal. 11.
[4] Sirajuddin Abbas, Op.Cit, hal. 30-31.
[5] Ibid, hal. 31
[6] TIM PWNU Jawa Timur, Op.Cit. hal. 12
[7] Ibid, hal. 13.
[8] Sirajuddin Abbas, Op.Cit, hal. 33-34
[9] PWNU Jawa Timur, Op.Cit. hal. 15.
[10] Ibid, hal. 16
[11] Ibid, hal. 20
[12] Drs. K.H. Busyairi Harits, M.Ag., Islam NU: Pengawal Tradisi Sunni Indonesia, (Khalista: Surabaya, 2010) hal. 7-8.
[13] Syekh Muhammad Hisyam Kabbani, Tasawuf dan Ihsan: Antivirus Kebatilan dan Kedzaliman, (Serambi: Jakarta, 2007). hal. 63
[14] PWNU Jawa Timur, Op.Cit., hal. 27
[15] Ibid., hal. 27
[16] Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Kisah Hidup Sultan Para Wali dan Rampai PEsan yang Menghidupkan Hati, Cet. IV. (Penerbit Zaman: Jakarta, 2012). hal. 16
[17] Ibid, hal. 17.
[18] Dr. K.H Saifuddin Chalim, M.A Membumikan Aswaja, Pegangan para Guru NU, (Khalista: Surabaya, 2012). hal 137-142.
[19] H. Soelaeman Fadeli, dan Muhammad Subhan, S.Sos., Antologi NU: Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah, (Khalista: Surabaya, 2007). hal. 152.
[20] PWNU Jawa Timur, Op.Cit. hal. 30
[21] H. Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan, S..Sos, Op.Cip. Hal. 99-100.
[22] Khamami Zada dan A Fawaid Sjadzili (Ed), Nahdlatul Ulama: Dinamila Ideologi dan Politik Kenegaraan, (Penebit Kompas: Jakarta. 2010). hal.29
[23] Ibid, hal.109
Post a Comment