Sholat Tanpa Mengenakan Penutup Kepala (Kopiah/Peci/Songkok)
Hukum Memakai Kopiah Saat Shalat
Pertanyaan: Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Di komplek perumahan diadakan pengajian fiqih yang dibimbing oleh seorang ustadz, beliau pernah menyampaikan kepada jamaah bahwa kalau mau melaksanakan shalat diusahakan menggunakan kopiah atau peci. Menurut beliau orang yang jarang menggunakan kopiah dalam shalatnya termasuk orang yang fasik. Hal ini membuat sebagian jamaah bingung, karena kami sebagai jamaah belum pernah mendengar ada hadits yang menyatakan demikian. Yang ingin saya tanyakan apakah yang disampaikan oleh ustadz tersebut benar? Terima kasih atas perhatiannya. Wassalam.
Jawaban: Assalamu`alaikum Wr. Wb. Memang tidak ada dalil yang sharih dalam perintah untuk mengenakan kopiah, baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Bahkan di luar shalat sekalipun dimana Rasulullah SAW sering diriwayatkan menggunakan imamah, yaitu sorban yang dililitkan di atas kepala, namun bagaimana hukumnya, para ulama pun juga berbeda pendapat antara yang mengatakannya sunnah dan tidak. Sedangkan dari dalil seperti masalah `urf (kebiasaan), ada juga yang berpendapat pentingnya mengenakan kopiah ini. Menurut pendapat ini, memakai kopiah di masa lalu merupakan sebuah adat kebiasaan yang terkait dengan masalah kesopanan atau attitude. Tentu saja ini hanya berlaku pada kelompok masyarakat tertentu di masa tertentu. Tapi karena terkait dengan attitude tadi, maka seorang yang tidak pakai kopiah seolah-olah menyalahi kebiasaan yang berlaku umum.
Barangkali kita bisa ibaratkan ada orang tampil di muka umum dengan bertelanjang dada. Secara hukum syariah, laki-laki dibolehkan bertelanjang dada karena batas auratnya hanyalah dari pusat hingga lulut. Tapi bertelanjang dada di muka umum pada hari ini di tengah masyarakat kita termasuk aib, paling tidak menurut ukuran norma yang berlaku. Paling tidak bukan termasuk orang yang terhormat atau terpandang. Nah di masa itu dan negeri itu, orang yang tidak pakai kopiah kira-kira hampir sama kasusnya dengan orang bertelanjang dada di zaman kita ini. Sehingga bila orang tidak pakai kopiah lalu dituduh fasik, kira-kira berangkat dari sikap orang tersebut yang menurut norma pergaulan di masyarakat itu tidak tahu malu dan tidak punya sopan santun.
Bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa orang yang tidak pakai kopiah tidak bisa diterima kesaksiaannya di pangadilan, karena tuduhan fasik tadi. Barangkali ini salah satu dasar mengapa sebagain orang sangat merasa `harus` memerintahkan orang lain memakai kopiah, meski tidak ada dalil syar`inya yang memerintahkan secara langsung baik dalam Al-Quran maupun As-Sunnah.
Wallahu A`lam Bish-Showab, Wassalamu `Alaikum Wr. Wb. (Ustad Abdul Hafiz)
================================================
Beberapa Kesalahan Dari Segi Berbusana Dan Menutup Aurat Di Dalam Sholat
Sholat Tanpa Mengenakan Penutup Kepala (Songkok/Peci)
Boleh melakukan sholat dengan membuka kepala bagi kaum laki-laki, sebab kepala hanya menjadi aurat bagi kaum wanita bukan untuk kaum pria. Namun demikian, disunnahkan bagi setiap orang yang melakukan sholat untuk mengenakan pakaian yang layak dan paling sempurna. Diantara kesempurnaan busana sholat adalah dengan memakai 'imamah (kain surban yang diikatkan di kepala), songkok atau sebagainya yang biasa dikenakan di kepala ketika beribadah.
Tidak memakai tutup kepala tanpa udzur (keadaan yang terpaksa), makruh hukumnya. Terlebih ketika melakukan sholat fardhu dan teristimewa lagi ketika mengerjakannya dengan berjama'ah. (Fataawa Muhammad Rasyid Ridha (V/1849) dan al Sunan wa al Mubtadi'aat halaman 69).
Al-Albani berkata: "Menurut pendapatku, sesungguhnya sholat dengan tidak memakai tutup kepala hukumnya adalah makruh. Karena merupakan sesuatu yang sangat disunnahkan jika seorang muslim melakukan sholat dengan memakai busana islami yang sangat sempurna, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits: "Karena Allah paling berhak untuk dihadapi dengan berias diri." (Permulaan hadits di atas adalah: "Jika salah seorang dari Kalian mengerjakan sholat, maka hendaklah dia memakai dua potong bajunya. Kerna sesungguhnya Allah paling berhak dihadapi dengan berias diri.").
Diriwayatkan oleh al Thahawi di dalam Syarh Mas'aani al Aatsaar ( I / 221 ), al Thabarani dan al Baihaqi di dalam al Sunan al Kubra ( II / 236 ) dengan kualitas sanad yang hasan. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam Majma' al Zawaaid ( II / 51 ). Lihat juga al Silsilah al Shahihah nomor 1369.
Tidak memakai penutup kepala bukan merupakan kebiasaan baik yang dikerjakan oleh para ulama salaf, baik ketika mereka berjalan di jalan maupun ketika memasuki tempat-tempat ibadah. Kebiasaan tidak memakai tutup kepala sebenarnya (adalah) tradisi yang dikerjakan oleh orang-orang asing. Ide ini memang sengaja diselundupkan ke negara-negara muslim ketika mereka melancarkan kolonialisasi. Mereka mengajarkan kebiasaan buruk dan sayangnya malah diikuti oleh umat Islam. Mereka telah mengesampingkan kepribadian dan tradisi keislaman mereka sendiri. Inilah sebenarnya pengaruh buruk yang dibungkus (dengan) sangat halus dan tidak pantas, untuk merusak tradisi umat Islam dan juga tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk memperbolehkan sholat tanpa memakai tutup kepala.
Adapun argumentasi yang memboleh (kan) membiarkan kepala tanpa tutup, seperti yang dikemukakan sebagian rekan-rekan kami, para kelompok pembela sunnah di Mesir adalah dengan mengqiyaskannya kepada busana orang yang sedang memakai baju ihram ketika melaksanakan ibadah haji. Ini adalah qiyas terburuk yang mereka lakukan dan yang pernah kami saksikan. Bagaimana hal ini bisa terjadi, sedangkan tidak menutup kepala ketika ihram adalah syi'ar dalam agama dan termasuk dalam manasik yang jelas tidak sama dengan aturan ibadah lainnya.
Seandainya qiyas yang mereka lakukan itu benar, pasti akan terbentur juga dengan pendapat yang menyatakan tentang kewajiban untuk membiarkan kepala agar tetap terbuka ketika ihram. Karena itu merupakan kewajiban dalam rangkaian ibadah haji. (Tamaamul Minnah fii al Ta'liiq 'alaa Fiqh al Sunnah halaman 164-165),
Tidak pernah disebutkan sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam tidak memakai tutup kepala ketika sholat, kecuali hanya ketika ihram. Barangsiapa yang menyangka beliau pernah tidak memakai 'imamah ketika sholat selain pada saat melakukan ihram, maka dia harus bisa menunjukkan dalilnya. Dan yang benar itulah yang paling berhak untuk diikuti. (al Diin al Khaalish ( III / 214 ) dan al Ajwibah al Naafi'ah 'an al Masaail al Waaqi'ah halaman 110).
Yang perlu disebutkan di sini adalah bahwa sholat tanpa mengenakan tutup kepala hukumnya adalah makruh saja, sebagaimana yang disebutkan oleh al Baghawi dan mayoritas ulama lain ( Lihat al Majmuu' ( II / 51) ). Anggapan orang awam tentang tidak bolehnya bermakmum pada imam yang tidak memakai tutup kepala, maka anggapan tersebut tidaklah benar. (Tapi) Tidak bisa disangkal kalau itu memang lebih baik tidak dilakukan, sebelum seorang imam memenuhi semua syarat kesempurnaan sholat dan mengikuti semua sunnah Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam. Hanya kepada Allah kita memohon perlindungan.
Pertanyaan: Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Di komplek perumahan diadakan pengajian fiqih yang dibimbing oleh seorang ustadz, beliau pernah menyampaikan kepada jamaah bahwa kalau mau melaksanakan shalat diusahakan menggunakan kopiah atau peci. Menurut beliau orang yang jarang menggunakan kopiah dalam shalatnya termasuk orang yang fasik. Hal ini membuat sebagian jamaah bingung, karena kami sebagai jamaah belum pernah mendengar ada hadits yang menyatakan demikian. Yang ingin saya tanyakan apakah yang disampaikan oleh ustadz tersebut benar? Terima kasih atas perhatiannya. Wassalam.
Jawaban: Assalamu`alaikum Wr. Wb. Memang tidak ada dalil yang sharih dalam perintah untuk mengenakan kopiah, baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Bahkan di luar shalat sekalipun dimana Rasulullah SAW sering diriwayatkan menggunakan imamah, yaitu sorban yang dililitkan di atas kepala, namun bagaimana hukumnya, para ulama pun juga berbeda pendapat antara yang mengatakannya sunnah dan tidak. Sedangkan dari dalil seperti masalah `urf (kebiasaan), ada juga yang berpendapat pentingnya mengenakan kopiah ini. Menurut pendapat ini, memakai kopiah di masa lalu merupakan sebuah adat kebiasaan yang terkait dengan masalah kesopanan atau attitude. Tentu saja ini hanya berlaku pada kelompok masyarakat tertentu di masa tertentu. Tapi karena terkait dengan attitude tadi, maka seorang yang tidak pakai kopiah seolah-olah menyalahi kebiasaan yang berlaku umum.
Barangkali kita bisa ibaratkan ada orang tampil di muka umum dengan bertelanjang dada. Secara hukum syariah, laki-laki dibolehkan bertelanjang dada karena batas auratnya hanyalah dari pusat hingga lulut. Tapi bertelanjang dada di muka umum pada hari ini di tengah masyarakat kita termasuk aib, paling tidak menurut ukuran norma yang berlaku. Paling tidak bukan termasuk orang yang terhormat atau terpandang. Nah di masa itu dan negeri itu, orang yang tidak pakai kopiah kira-kira hampir sama kasusnya dengan orang bertelanjang dada di zaman kita ini. Sehingga bila orang tidak pakai kopiah lalu dituduh fasik, kira-kira berangkat dari sikap orang tersebut yang menurut norma pergaulan di masyarakat itu tidak tahu malu dan tidak punya sopan santun.
Bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa orang yang tidak pakai kopiah tidak bisa diterima kesaksiaannya di pangadilan, karena tuduhan fasik tadi. Barangkali ini salah satu dasar mengapa sebagain orang sangat merasa `harus` memerintahkan orang lain memakai kopiah, meski tidak ada dalil syar`inya yang memerintahkan secara langsung baik dalam Al-Quran maupun As-Sunnah.
Wallahu A`lam Bish-Showab, Wassalamu `Alaikum Wr. Wb. (Ustad Abdul Hafiz)
================================================
Beberapa Kesalahan Dari Segi Berbusana Dan Menutup Aurat Di Dalam Sholat
Sholat Tanpa Mengenakan Penutup Kepala (Songkok/Peci)
Boleh melakukan sholat dengan membuka kepala bagi kaum laki-laki, sebab kepala hanya menjadi aurat bagi kaum wanita bukan untuk kaum pria. Namun demikian, disunnahkan bagi setiap orang yang melakukan sholat untuk mengenakan pakaian yang layak dan paling sempurna. Diantara kesempurnaan busana sholat adalah dengan memakai 'imamah (kain surban yang diikatkan di kepala), songkok atau sebagainya yang biasa dikenakan di kepala ketika beribadah.
Tidak memakai tutup kepala tanpa udzur (keadaan yang terpaksa), makruh hukumnya. Terlebih ketika melakukan sholat fardhu dan teristimewa lagi ketika mengerjakannya dengan berjama'ah. (Fataawa Muhammad Rasyid Ridha (V/1849) dan al Sunan wa al Mubtadi'aat halaman 69).
Al-Albani berkata: "Menurut pendapatku, sesungguhnya sholat dengan tidak memakai tutup kepala hukumnya adalah makruh. Karena merupakan sesuatu yang sangat disunnahkan jika seorang muslim melakukan sholat dengan memakai busana islami yang sangat sempurna, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits: "Karena Allah paling berhak untuk dihadapi dengan berias diri." (Permulaan hadits di atas adalah: "Jika salah seorang dari Kalian mengerjakan sholat, maka hendaklah dia memakai dua potong bajunya. Kerna sesungguhnya Allah paling berhak dihadapi dengan berias diri.").
Diriwayatkan oleh al Thahawi di dalam Syarh Mas'aani al Aatsaar ( I / 221 ), al Thabarani dan al Baihaqi di dalam al Sunan al Kubra ( II / 236 ) dengan kualitas sanad yang hasan. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam Majma' al Zawaaid ( II / 51 ). Lihat juga al Silsilah al Shahihah nomor 1369.
Tidak memakai penutup kepala bukan merupakan kebiasaan baik yang dikerjakan oleh para ulama salaf, baik ketika mereka berjalan di jalan maupun ketika memasuki tempat-tempat ibadah. Kebiasaan tidak memakai tutup kepala sebenarnya (adalah) tradisi yang dikerjakan oleh orang-orang asing. Ide ini memang sengaja diselundupkan ke negara-negara muslim ketika mereka melancarkan kolonialisasi. Mereka mengajarkan kebiasaan buruk dan sayangnya malah diikuti oleh umat Islam. Mereka telah mengesampingkan kepribadian dan tradisi keislaman mereka sendiri. Inilah sebenarnya pengaruh buruk yang dibungkus (dengan) sangat halus dan tidak pantas, untuk merusak tradisi umat Islam dan juga tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk memperbolehkan sholat tanpa memakai tutup kepala.
Adapun argumentasi yang memboleh (kan) membiarkan kepala tanpa tutup, seperti yang dikemukakan sebagian rekan-rekan kami, para kelompok pembela sunnah di Mesir adalah dengan mengqiyaskannya kepada busana orang yang sedang memakai baju ihram ketika melaksanakan ibadah haji. Ini adalah qiyas terburuk yang mereka lakukan dan yang pernah kami saksikan. Bagaimana hal ini bisa terjadi, sedangkan tidak menutup kepala ketika ihram adalah syi'ar dalam agama dan termasuk dalam manasik yang jelas tidak sama dengan aturan ibadah lainnya.
Seandainya qiyas yang mereka lakukan itu benar, pasti akan terbentur juga dengan pendapat yang menyatakan tentang kewajiban untuk membiarkan kepala agar tetap terbuka ketika ihram. Karena itu merupakan kewajiban dalam rangkaian ibadah haji. (Tamaamul Minnah fii al Ta'liiq 'alaa Fiqh al Sunnah halaman 164-165),
Tidak pernah disebutkan sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam tidak memakai tutup kepala ketika sholat, kecuali hanya ketika ihram. Barangsiapa yang menyangka beliau pernah tidak memakai 'imamah ketika sholat selain pada saat melakukan ihram, maka dia harus bisa menunjukkan dalilnya. Dan yang benar itulah yang paling berhak untuk diikuti. (al Diin al Khaalish ( III / 214 ) dan al Ajwibah al Naafi'ah 'an al Masaail al Waaqi'ah halaman 110).
Yang perlu disebutkan di sini adalah bahwa sholat tanpa mengenakan tutup kepala hukumnya adalah makruh saja, sebagaimana yang disebutkan oleh al Baghawi dan mayoritas ulama lain ( Lihat al Majmuu' ( II / 51) ). Anggapan orang awam tentang tidak bolehnya bermakmum pada imam yang tidak memakai tutup kepala, maka anggapan tersebut tidaklah benar. (Tapi) Tidak bisa disangkal kalau itu memang lebih baik tidak dilakukan, sebelum seorang imam memenuhi semua syarat kesempurnaan sholat dan mengikuti semua sunnah Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam. Hanya kepada Allah kita memohon perlindungan.
--------------------------------------------------------
Oleh: Syaikh Abu Ubaidah Masyhur Hasan Salman
[Disalin dari buku Al-Qaulul Mubin Fii Akhta-il Mushallin Edisi Indonesia Koreksi Total Ritual Sholat, Penulis Syaikh Abu Ubaidah Masyhurrah Ibn Hasan Ibn Mahmud Ibn Salman. Penerbit Pustaka Azzam, Jakarta, Oktober 2001, halaman 66 - 68 ]
============================================
Hukum Shalat Tanpa Penutup Kepala
Alhamdulillah, wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.
Mungkin kita pernah menyaksikan sebagian orang ketika shalat dalam keadaan penutup kepala. Apakah seperti ini bermasalah, artinya tidak afdhol atau bahkan tidak dibolehkan sama sekali ketika shalat? Berikut ada pelajaran menarik dari ulama Al Lajnah Ad Daimah (komisi fatwa di Saudi Arabia) akan hal ini. Fatwa ini lebih menenangkan karena dibangun atas kaedah yang tepat. Moga bermanfaat.
Al Lajnah Ad Daimah ditanya,
Apa hukum shalat tanpa penutup kepala dan ini dilakukan terus menerus? Ada yang mengatakan bahwa memakai peci (songkok) bukanlah sunnah (ajaran yang patut diikuti) karena tidak ada hadits yang menjelaskan hal ini. Oleh karena itu sekelompok orang mengatakan di negeri kami bahwa mengenakan peci bagi orang yang shalat dan selainnya bukanlah ajaran yang patut diikuti. Sampai-sampai dalam rangka melecehkan, mereka menyebut peci dengan “qith’at qumaas” (hanya sekedar potongan kain tenun).
Al Lajnah Ad Daimah menjawab,
Pertama, pakaian termasuk dalam perkara adat dan bukanlah perkara ibadah, sehingga ada kelapangan dalam hal ini. Pakaian apa saja tidaklah terlarang kecuali yang dilarang oleh syari’at seperti mengenakan kain sutera untuk pria, mengenakan pakaian tipis yang menampakkan aurat, mengenakan pakaian ketat yang membentuk lekuk tubuh yang termasuk aurat, atau pakaian tersebut termasuk tasyabbuh (menyerupai) pakaian wanita atau pakaian yang menjadi kekhususan orang kafir.
Kedua, perlu diketahui bahwa kepala pria bukanlah aurat dan tidak disunnahkan untuk ditutup baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Boleh saja seorang pria mengenakan ‘imamah atau peci dan boleh juga ia membiarkan kepalanya tanpa penutup kepala dalam shalat atau pun dalam kondisi lainnya. Dan perlu diperhatikan bahwa tidak perlu sampai seseorang menjelek-jelekkan orang lain atau melecehkannya dalam hal ini.
Wa billahit taufiq. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Fatwa ini ditandatangani oleh: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz selaku ketua; Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi selaku wakil ketua; Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan selaku anggota.
Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaan pertama no. 9422, 24/45
Kaedah dan pelajaran di atas sangat bermanfaat sekali dalam perkara seputar pakaian dan penutup kepala.
Moga yang singkat ini bermanfaat.
Panggang-GK, 5 pm, 8th Rabi’ul Awwal 1432 H (11/02/2011)
www.rumaysho.com
===========================================
[Disalin dari buku Al-Qaulul Mubin Fii Akhta-il Mushallin Edisi Indonesia Koreksi Total Ritual Sholat, Penulis Syaikh Abu Ubaidah Masyhurrah Ibn Hasan Ibn Mahmud Ibn Salman. Penerbit Pustaka Azzam, Jakarta, Oktober 2001, halaman 66 - 68 ]
============================================
Hukum Shalat Tanpa Penutup Kepala
Alhamdulillah, wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.
Mungkin kita pernah menyaksikan sebagian orang ketika shalat dalam keadaan penutup kepala. Apakah seperti ini bermasalah, artinya tidak afdhol atau bahkan tidak dibolehkan sama sekali ketika shalat? Berikut ada pelajaran menarik dari ulama Al Lajnah Ad Daimah (komisi fatwa di Saudi Arabia) akan hal ini. Fatwa ini lebih menenangkan karena dibangun atas kaedah yang tepat. Moga bermanfaat.
Al Lajnah Ad Daimah ditanya,
Apa hukum shalat tanpa penutup kepala dan ini dilakukan terus menerus? Ada yang mengatakan bahwa memakai peci (songkok) bukanlah sunnah (ajaran yang patut diikuti) karena tidak ada hadits yang menjelaskan hal ini. Oleh karena itu sekelompok orang mengatakan di negeri kami bahwa mengenakan peci bagi orang yang shalat dan selainnya bukanlah ajaran yang patut diikuti. Sampai-sampai dalam rangka melecehkan, mereka menyebut peci dengan “qith’at qumaas” (hanya sekedar potongan kain tenun).
Al Lajnah Ad Daimah menjawab,
Pertama, pakaian termasuk dalam perkara adat dan bukanlah perkara ibadah, sehingga ada kelapangan dalam hal ini. Pakaian apa saja tidaklah terlarang kecuali yang dilarang oleh syari’at seperti mengenakan kain sutera untuk pria, mengenakan pakaian tipis yang menampakkan aurat, mengenakan pakaian ketat yang membentuk lekuk tubuh yang termasuk aurat, atau pakaian tersebut termasuk tasyabbuh (menyerupai) pakaian wanita atau pakaian yang menjadi kekhususan orang kafir.
Kedua, perlu diketahui bahwa kepala pria bukanlah aurat dan tidak disunnahkan untuk ditutup baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Boleh saja seorang pria mengenakan ‘imamah atau peci dan boleh juga ia membiarkan kepalanya tanpa penutup kepala dalam shalat atau pun dalam kondisi lainnya. Dan perlu diperhatikan bahwa tidak perlu sampai seseorang menjelek-jelekkan orang lain atau melecehkannya dalam hal ini.
Wa billahit taufiq. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Fatwa ini ditandatangani oleh: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz selaku ketua; Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi selaku wakil ketua; Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan selaku anggota.
Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaan pertama no. 9422, 24/45
Kaedah dan pelajaran di atas sangat bermanfaat sekali dalam perkara seputar pakaian dan penutup kepala.
Moga yang singkat ini bermanfaat.
Panggang-GK, 5 pm, 8th Rabi’ul Awwal 1432 H (11/02/2011)
www.rumaysho.com
===========================================
Siapa Bilang Peci Hitam Dilarang?
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ. ح وحَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ يَعْنِي ابْنَ عِيسَى، عَنْ شَرِيكٍ، عَنِ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي زُرْعَةَ، عَنِ الْمُهَاجِرِ الشَّامِيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ فِي حَدِيثِ شَرِيكٍ يَرْفَعُهُ، قَالَ: ” مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبًا مِثْلَهُ زَادَ، عَنْ أَبِي عَوَانَةَ ثُمَّ تُلَهَّبُ فِيهِ النَّارُ “،
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، قَالَ: ثَوْبَ مَذَلَّةٍ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Iisaa[1] : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah[2] (ح). Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Iisaa, dar Syariik[3], dari ‘Utsmaan bin Abi Zur’ah[4], dari Al-Muhaajir Asy-Syaamiy[5], dari Ibnu ‘Umar, ia berkata (secara mauquuf) – dan dalam hadits Syariik ia memarfu’kannya – beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa memakai pakaian syuhrah, niscaya Allah akan memakaikan kepadanya pakaian semisal pada hari kiamat” – dan dalam riwayat Abu ‘Awaanah terdapat tambahan : “kemudian akan dibakar padanya di dalam neraka”.
Telah menceritakan kepada kami Musaddad : Telah menceritakan kepada kami, ia berkata : “Yaitu pakaian kehinaan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4029].
Abu Haatim Ar-Raaziy mentarjih bahwa riwayat mauquuf lebih shahih.[6] ‘Utsmaan bin Abi Zur’ah dalam periwayatan marfuu’ telah diselisihi oleh Al-Laits bin Abi Sulaim, sedangkan ia seorang yang dla’iif. Oleh karena itu, riwayat marfuu’ ini mahfuudh. Wallaahu a’lam.
Mengomentari hadits di atas, As-Sindiy rahimahullah berkata :
مَنْ لَبِسَ ثَوْبًا يَقْصِد بِهِ الِاشْتِهَار بَيْن النَّاس ، سَوَاء كَانَ الثَّوْب نَفِيسًا يَلْبَسهُ تَفَاخُرًا بِالدُّنْيَا وَزِينَتهَا ، أَوْ خَسِيسًا يَلْبَسهُ إِظْهَارًا لِلزُّهْدِ وَالرِّيَاء
“Yaitu : Orang yang memakai pakaian dengan tujuan kemasyhuran/kepopuleran di antara manusia. Sama saja, apakah pakaian itu bagus yang dipakai untuk berbangga-bangga dengan dunia dan perhiasannya, atau pakaian itu hina/jelek yang dipakai untuk menampakkan kezuhudan dan riyaa’ (di hadapan manusia)” [Hasyiyyah As-Sindiy ‘alaa Sunan Ibni Maajah, sumber : http://www.yanabi.com/Hadith.aspx?HadithID=30403].
Asy-Syaukaaniy rahimahullah berkata :
قال ابن الأثير : الشهرة ظهور الشيء والمراد أن ثوبه يشتهر بين الناس لمخالفة لونه لألوان ثيابهم فيرفع الناس إليه أبصارهم ويختال عليهم بالعجب والتكبر
“Ibnul-Atsiir berkata : ‘Asy-Syuhrah adalah tampaknya sesuatu. Maksudnya bahwa pakaiannya populer di antara manusia karena warnanya yang berbeda sehingga orang-orang mengangkat pandangan mereka (kepadanya). Dan ia menjadi sombong terhadap mereka karena bangga dan takabur” [Nailul-Authaar, 2/111 – via Syamilah].
Para ulama telah menjelaskan bahwa salah satu bentuk terlarang pakaian syuhrah ini adalah pakaian yang berbeda dari adat kebiasaan orang-orang setempat. Perhatikan dua riwayat di bawah :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ الْعَوَّامِ، عَنِ الْحُصَيْنِ، قَالَ: كَانَ زُبَيْدٌ الْيَامِيُّ يَلْبَسُ بُرْنُسًا، قَالَ: فَسَمِعْتُ إِبْرَاهِيمَ عَابَهُ عَلَيْهِ، قَالَ: فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّ النَّاسَ كَانُوا يَلْبَسُونَهَا، قَالَ: ” أَجَلْ ! وَلَكِنْ قَدْ فَنِيَ مَنْ كَانَ يَلْبَسُهَا، فَإِنْ لَبِسَهَا أَحَدٌ الْيَوْمَ شَهَرُوهُ، وَأَشَارُوا إِلَيْهِ بِالأَصَابِعِ “
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abbaad bin Al-‘Awwaam, dari Al-Hushain, ia berkata : Dulu Zubaid Al-Yaamiy pernah memakai burnus (sejenis tutup kepala). Lalu aku mendengar Ibraahiim mencelanya karena perbuatannya yang memakai burnus tersebut. Aku berkata kepada Ibraahiim : “Sesungguhnya orang-orang dulu pernah memakainya”. Ibraahiim berkata : “Ya. Akan tetapi orang-orang yang memakainya sudah tidak ada lagi. Apabila ada seseorang yang memakainya hari ini, maka ia berbuat syuhrah dengannya. Lalu orang-orang berisyarat dengan jari-jari mereka kepadanya (karena heran)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 25655; sanadnya shahih].
أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْن ثابت بْن بندار، نا أبي الْحُسَيْن بْن عَلِيّ، نا أَحْمَد بْن منصور البوسري، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ مخلد، ثني مُحَمَّد بْن يوسف، قَالَ: قَالَ عَبَّاس بْن عَبْدِ العظيم العنبري: قَالَ بِشْر بْن الحارث: إن ابْن الْمُبَارَك ” دخل المسجد يوم جمعة وعليه قلنسوة فنظر الناس ليس عليهم قلانس فأخذها فوضعها فِي كمه “
Telah mengkhabarkan kepada kami Yahyaa bin Tsaabit bin Bundaar : Telah mengkhabarkan kepada kami ayahku (: Telah mengkhabarkan kepada kami ) Al-Husain bin ‘Aliy : Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Manshuur Al-Buusiriy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Makhlad : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Yuusuf, ia berkata : Telah berkata ‘Abbaas bin ‘Abdil-‘Adhiim Al-‘Anbariy : Telah berkata Bisyr bin Al-Haarits : Sesungguhnya Ibnu Mubaarak pernah masuk ke dalam masjid pada hari Jum’at, dan ia memakai peci. Lalu ia melihat orang-orang tidak ada yang memakai peci. Maka Ibnul-Mubaarak melepas dan menyimpannya di balik bajunya” [Diriwayatkan oleh Ibnul-Jauziy dalam Talbiis Ibliis, hal. 184].
Al-Mardawiy rahimahullah berkata saat menjelaskan posisi madzhabnya :
يُكْرَهُ لُبْسُ مَا فِيهِ شُهْرَةٌ ، أَوْ خِلَافُ زِيِّ بَلْدَةٍ مِنْ النَّاسِ عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ الْمَذْهَبِ
“Dimakruhkan memakai sesuatu yang menimbulkan syuhrah/popularitas atau menyelisihi pakaian penduduk negeri setempat berdasarkan pendapat yang shahih dari madzhab (Hanaabilah)” [Al-Inshaaf, 2/263].
Oleh karena itu, syari’at menganjurkan kita berpakaian dengan pakaian yang dipakai oleh penduduk negeri tempat kita tinggal, selama tidak ada hal-hal yang menjadi larangan syari’at. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimiin rahimahullah berkata ketika menjelaskan tentang masalah ‘imamah (surban) :
والسنة لكل إنسان أن يلبس ما يلبسه الناس ما لم يكن محرماً بذاته ، وإنما قلنا هذا ؛ لأنه لو لبس خلاف ما يعتاده الناس لكان ذلك شهرة ، والنبي صلى الله عليه وسلم نهى عن لباس الشهرة ، فإذا كنا في بلد يلبسون العمائم لبسنا العمائم ، وإذا كنا في بلد لا يلبسونها لم نلبسها
“Yang disunnahkan bagi setiap orang adalah memakai pakaian yang dipakai oleh orang-orang kebanyakan selama dzatnya tidak diharamkan. Hanyalah kami mengatakan demikian karena seandainya ia memakai pakaian yang berbeda dengan kebiasaan orang-orang, itu merupakan syuhrah. Dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang memakai pakaian syuhrah. Seandainya kita berada di negeri yang orang-orangnya memakai ‘imamah (surban), maka kita memakai ‘imamah. Namun apabila kita berada di negeri yang orang-orangnya tidak mamakai ‘imamah, maka kita pun tidak memakainya….” [Liqaa Al-Baab Al-Mafttuh, 23/160].
Termasuk hal yang mengherankan, ada sebagian saudara kita yang melarang – atau bahkan mencela – pemakaian peci hitam sebagaimana lazim dipakai penduduk negeri kita. Padahal telah menjadi pengetahuan jamak bahwa peci hitam merupakan salah atribut pakaian kaum muslimin negeri kita. Tidak ada pula dalil yang melarangnya. Peci hitam tidak ubahnya seperti peci putih, hijau, biru, atau warna-warna yang lainnya.
Apakah peci hitam itu dilarang karena warna hitamnya ?. Jika inii alasannya, maka salah satu sifat ‘imamah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah berwarna hitam sebagaimana riwayat :
حدثنا عَلِيُّ بْنُ حَكِيمٍ الْأَوْدِيُّ، أَخْبَرَنَا شَرِيكٌ، عَنْ عَمَّارٍ الدُّهْنِيِّ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ: أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ، وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ “
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Hakiim Al-Audiy : Telah mengkhabarkan kepada kami Syariik, dari ‘Ammaar Ad-Duhniy, dari Abuz-Zubair, dari Jaabir bin ‘Abdillah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memasuki pada hari penaklukan Makkah dengan memakai ‘imaamah (surban) berwarna hitam [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1358].
Bahkan para ulama kita terdahulu telah ada yang memakai peci berwarna hitam. ‘Abdurrahmaan bin Muhammad bin Al-Mughiirah rahimahullah berkata :
رأيت أبا حنيفة شيخاً يفتي الناس بمسجد الكوفة عليه قلنسوة سوداء طويلة
“Aku pernah melihat Abu Haniifah seorang syaikh yang memberikan fatwa kepada manusia di Masjid Kuufah, dimana (waktu itu) ia memakai peci hitam panjang” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 6/399].
حدثنا أَبُو مُسْهِرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ خَالِدٍ، قَالَ: ” رَأَيْتُ عَلَى الْأَوْزَاعِيِّ قَلَنْسُوَةً سَوْدَاءَ فِي أَيَّامِ ابْنِ سُرَاقَةَ “
Telah menceritakan kepada kami Abu Mus-hir, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Shadaqah bin Khaalid, ia berkata : “Aku pernah melihat Al-Auza’iy memakai peci hitam pada peristiwa Ibnu Suraaqah” [Diriwayatkan oleh Abu Zur’ah dalam Taariikh-nya no. 368 & 2319; shahih].
أَخْبَرَنَا الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْنٍ، قَالَ: ” كُنْتُ إِذَا رَأَيْتُ دَاوُدَ الطَّائِيَّ لا يُشْبِهُ الْقُرَّاءَ، عَلَيْهِ قَلَنْسُوَةٌ سَوْدَاءُ طَوِيلَةٌ مِمَّا يَلْبَسُ التُّجَّارُ
Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Fadhl bin Dukain, ia berkata : “Dulu jika aku melihat Daawud Ath-Thaa’iy, ia tidak menyerupai qurraa’, karena ia memakai peci hitam panjang yang dipakai para pedagang” [Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat, 6/536; shahih].
Hadits, penjelasan ulama, dan contoh-contoh di atas semoga dapat menjadi kejelasan bagi kita tentang diperbolehkannya memakai peci hitam. Bagi yang lebih senang memakai peci putih haji, ya silakan. Bebas memilihnya.
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
=========================
[1] Muhammad bin ‘Iisaa bin Najiih Al-Baghdaadiy, Abu Ja’far bin Ath-Thabbaa’; seorang yang tsiqah lagi faqiih, termasuk orang yang paling tahu hadits Husyaim. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 150 H, dan wafat tahun 224 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Abu Daawud, At-Tirmidziy dalam Asy-Syamaail, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 886-887 no. 6250].
[2] Al-Wadldlaah bin ‘Abdillah Al-Yasykuuriy, Abu ‘Awaanah Al-Waasithiy Al-Bazzaar; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 175/176 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1036 no. 7457].
[3] Syariik bin ‘Abdillah bin Abi Syariik An-Nakha’iy, Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy Al-Qaadliy; seorang yang shaduuq, namun banyak salahnya dan berubah hapalannya ketika menjabat qaadliy. Termasuk thabaqah ke-8, dan wafat tahun 177 H/178 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 436 no. 2802].
[4] ‘Utsmaan bin Al-Mughiirah Ats-Tsaqafiy, Abul-Mughiirah Al-Kuufiy Al-A’syiy – ia adalah ‘Utsmaan bin Abi Zur’ah; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-6. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 669 no. 4552].
[5] Muhaajir bin ‘Amru An-Nabbaal Asy-Syaamiy; seorang yang dikatakan Ibnu Hajar : maqbuul. Termasuk thabaqah ke-4. Dipakai oleh Abu Daawud, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 975 no. 6971].
Namun yang benar ia seorang yang shaduuq, hasanul-hadiits. Ibnu Hibbaan telah mentsiqahkannya, dan beberapa perawi tsiqaat pun meriwayatkan darinya [Tahriirut-Taqriib, 3/422 no. 6922].
[6] Ibnu Abi Haatim berkata :
وَسألت أبي عَنْ حديث رَوَاهُ شَرِيكٌ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي زُرْعَةَ، عَنْ مُهَاجِرٍ الشَّامِيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ “. قَالَ أَبِي: هَذَا الْحَدِيثُ مَوْقُوفٌ أَصَحُّ
“Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang hadits yang diriwayatkan Syariik, dari ‘Utsmaan bin Abi Zur’ah, dari Muhaajir Asy-Syaamiy, dari Ibnu ‘Umr, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: ‘Barangsiapa memakai pakaian syuhrah, niscaya Allah akan memakaikan kepadanya pakaian kehinaan pada hari kiamat’. Ayahku berkata : “Hadits ini dalam periwayatan mauquuf lebih shahih” [Al-‘Ilal, no. 1471].
==========================================
Hukum Laki-Laki Yang Tidak Memakai Peci atau Kopiah Saat Sholat
Pertanyaan: Ustadz, apa hukum laki-laki yang tidak memakai peci atau kopiah saat sholat?
Jawaban: Allah berfirman,
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
Yang artinya, “Wahai anak keturunan Adam kenakanlah pakaian perhiasan kalian setiap kali kalian mengerjakan shalat” [QS al A’raf:31].
Syaikh Abdurrahman as Sa’di menjelaskan ayat di atas dengan mengatakan, “Maknanya tutupilah aurat kalian ketika kalian mengerjakan shalat baik shalat yang wajib maupun shalat sunah karena tertutupnya aurat itu menyebabkan indahnya badan sebagaimana terbukanya aurat itu menyebabkan badan nampak jelek dan tidak sedap dipandang.
Zinah [perhiasan] dalam ayat di atas bisa juga bermakna pakaian yang lebih dari sekedar menutup aurat itulah pakaian yang bersih dan rapi.
Jadi dalam ayat di atas terdapat perintah untuk menutupi aurat ketika ketika hendak mengerjakan shalat dan memakai pakaian yang menyebabkan orang yang memakainya nampak sedap dipandang mata serta memakai pakaian yang bersih dari kotoran dan najis” [Taisir Karim ar Rahman hal 311, terbitan Dar Ibnul Jauzi , cet kedua 1426 H].
Berdasarkan makna yang kedua yang disampaikan oleh Ibnu Sa’di di atas maka ketika kita mengerjakan shalat kita dianjurkan untuk memakai pakaian perhiasan. Itulah pakaian yang menyebabkan kita sedap dipandang jika kita memakainya. Tolak ukur pakaian perhiasan adalah kebiasaan masyarakat sehingga berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lain, satu zaman dengan zaman yang lain.
Sehingga jika di suatu daerah memakai peci adalah bagian dari berpakaian rapi dan menarik ketika shalat maka memakai peci adalah suatu hal yang dianjurkan sehingga tidak memakai peci dalam kondisi tersebut berarti melakukan hal yang kurang afdhol. Akan tetapi hukum memakai peci menjadi berbeda manakala kita
berdomisili di suatu yang tidak menilai berpeci sebagai bagian dari kerapian berpakaian dalam shalat.
Sumber: www.ustadzaris.com
Wallaahu a’lam.
Post a Comment