Khitan: Tinjauan Sejarah, Landasan Hukum, Bedanya Laki dan Perempuan Dikhitan

Kata khitan (sirkumsisi, sunat) adalah masdar dari “khatana” sama dengan “Nizal” dan “Khitan”. Ditujukan juga untuk menyebutkan nama bagian kulit yang akan di khitan. Dalam sebuah hadist dikatakan “izaltaqal khitanani Faqad wajabal guslu” apabila dua khitanan bertemu maka wajib mandi. Para ulama lugah (bahasa) mengatakan biasanya kata khitan disebutkan untuk laki-laki sedangkan untuk perempuan disebut “khafdhah”, dan untuk menyebut keduanya disebut “’izarah”. Menurut Ibnu Faris bahwa khitan berasal dari kata “qatha’a” yang berarti memotong. Sedangkan arti lain dari kata “khatan” yaitu jalinan persaudaraan.[1]

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata bahwa orang-orang Arab melakukan khitan sejak dahulu kala, bahkan dulu orang-orang Arab berkeyakinan apabila anak laki-laki lahir pada bulan purnama, maka dia lahir dalam keadaan telah dikhitan.

Khitan menurut istilah adalah mengambil bagian qulfah (kulit yang menutup) kepala zakar laki-laki atau kelentit yang menonjol dibagian atas vagina perempuan.

Ibnu Ruslan dalam Zubad menjelaskan : “Cabutlah bulu ketiak dan memotong kumis, juga bulu kemaluan dan khitan itu wajib bagi yang sudah balig dengan memotong penutup kepala zakar. Dan pada perempuan dengan menghilangkan sekedarnya dan jeger itu makruh”.

Sejarah Khitan

Ditinjau dari sisi sejarah khitan telah dikenal kira-kira 100 tahun SM . Para antropolog menemukan bahwa budaya khitan telah ada sejak pra-Islam yang dibuktikan dengan ditemukannya mumi perempuan di Mesir kono pada abad 16 SM yang memiliki tanda clitoridectomy (pemotongan yang merusak kelamin) . Pada abad ke 2 SM khitan perempuan dijadikan sebagai prosesi perkawinan. Dalam penelitian lain ditemukan khitan telah dilakukan oleh pengembara Smit Hamid dan Hamitoi di Asia Barat Daya dan Afika Timur, beberapa bangsa Negro di Afrika Timur dan Afrika Selatan . Di Indonesia sendiri tempatnya di Museum Batavia terdapat benda kuno yang memperlihatkan zakar telah di khitan.

1. Berbeda dengan antropolog Barat yang lebih menganggap bahwa khitan (sunat) semata-mata untuk tujuan medis atau untuk menjaga kesehatan. Anggapan ini ditentang oleh beberapa orang yang berhasil menemukan relief dan patung-patung peniggalan tentang upacara penyunatan ribuan tahun silam. Pada saat itu penyunatan lebih bertujuan untuk tujuan pengorbanan bagi para dewa dan simbol perlawanan rasa takut kepada roh jahat. Di Yucatan dan Nicaragua darah orang yang disunat di oleskan pada patung berhala oleh pemuka agama. Sedangkan di Afrika, upacara sunat dilakukan secara massal dengan harapan agar memperoleh berkah yang lebih besar dari leluhur.[2]

Menurut para sejarawan Muslim bahwa dalam Islam khitan ini telah sepakat bahwa Nabi berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitabnya al-Muwattha’ dari Abu Hurairah sbb:

(Ibrahim melakukan khitan pada usia 120 tahun dan beliau hidup setelah itu selama 80 tahun).

Al-Marwazi berkata Al-Musayyib bin Rafi, berkata :”diriwayatkan bahwa lafaz qadum dibaca dua qadum (mukhaffaf) yang berarti kapak yang dipakai oleh Nabi Ibrahim as untuk melakukan khitan . lafaz yang kedua adalah qaddum ( mutsaqqal ) yaitu nama tempat beliau melakukan khitan . Tapi Pendapat pertama yang paling banyak dianut oleh para ulama hadits dan lugah. Ikrimah berkata setelah Nabi Ibrahim as melakukan khitan, maka semua orang melakukan khitan dan menjadi ajaran yang mentradisi secara turun temurun, sampai ada undang-undang bahwa seseorang tidak boleh melakukan tawaf di ka’bah bagi yang tidak berkhitan baik laki-laki maupun perempuan.[3]

Juga ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :

(Ibrahim melakukan khitan pada waktu berumur 80 tahun disebuah tempat bernaa Qadum”) .

Hadist yang kedua ini lebih kuat karena riwayat ini yang mahfuz dalam hadist riwayat ibn Ajlan dan dikuatkan oleh riwayat A’raj dari Abu Hurairah.

Khitan ini juga di kenal dalam kitab Injil, dalam agama Nasrani khitan ini adalah merupakan ajaran yang harus dilakukan. Dalam kitab kejadian 17 : 12 menganjurkan anak laki-laki dikhitan dalm usia 8 hari. Itu sebabnya nabi Isa as telah dikhitan pada usia 8 hari. Setelah itu beliau dibawa ke Bait Allah di Yerussalem untuk diserahkan kepada Tuhan dan diberkahi oleh Simon.[4] Hal ini juga bersumber pada Imamat 12 : 1. Dalam kitab Injil juga disebutkan bahwa nabi-nabi terdahulu juga telah melakukan khitan diantaranya, yaitu :

1. Adam “maka Musa telah memberi kamu hokum bersunat itu, bukan asalnya dari Musa, melainkan dari nenek moyangmu”.[5]
2. Ibrahim, Ismail dan Ishak;[6]
3. Harun dan Musa;[7]
4. Yahya (Yohanes) dan Yesus di khitan dalam usia 8 hari;[8]
5. Nabi Muhammad SAW. Karena beliau termasuk keturunan nabi Ibrahim as, menurut riwayat yang sahih beliau di khitan pada hari ketujuh dari kelahiran beliau. Tetapi ada juga yang menyebutkan beliau telah di khitan sejak lahir.

Paulus meniadakan hukum khitan, Paulus ini adalah orang yang mengaku-ngaku Rasulnya Yesus dalam kisah Rasul, riwayat yang saling bertentangan sebagaimana yang dicatat oleh Lukas, yang bersumber dari Paulus sendiri. Paulus menghitankan orang lalu ia berkata :”khitan atau tidak, tidak jadi apa-apa” dan akhirnya ia putuskan bahwa khitan itu tidak ada faedahnya.[9]

Landasa Hukum Khitan

Dasar hukum khitan adalah firman Allah SWT dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 123 sebagai berikut: “Kemudian kami wahyukan kepadamu agar mengikuti agama Ibrahim yang lurus. Dan dia tidak termasuk golongan orang-orang yang musyrik. (QS. an-Nahl : 123).

Terkait khitan perempuan . Ibnu Qudamah – salah seorang ulama mazhab Hambali – Murid Syekh Abdul Qadir al-Jaelani- Ia berpendapat: bahwa dengan berlandaskan firman Allah " " maka pada perempuan juga harus diperlakukan sama dengan laki-laki. Selain itu dalam Hadist lain menyatakan:
Dalam hadist di atas dinyatakan, bahwa dua Khitan yang bertemu mewajibkan untuk mandi, maka dari itu perempuan itu juga pada dasarnya mereka telah wajib berkhitan. Disamping itu Umar ra menceritakan bahwa ada seorang perempuan sebagai tukang sunat melakukan sunatan sesuai dengan bunyi Informasi Umar: Artinya : bahwa Umar ra berkata kepada seorang tukang khita perempuan biarkan sedikit / sisakan jangan kau habiskan kalau kau mengkhitan

Lengkapnya hadis ini adalah: Selain itu didapatkan hadist mauquf yang berbunyi: Selain itu adanya informasi bahwa memang telah ada tukang khitan perempuan pada zaman Rasul, seperti informasi berikut ini: Demikian juga pendapat Ibnu Taimiyah – ketika ditanya tentang khitanann perempuan – bahwa seorang perempuan wajib ber-khitan sebagaimana laki, berdasarkan dengan hadist mauquf di atas, dengan tujuan untuk melemahkan syahwat mereka, sesuai dengan ungkapannya:Dalam Fath al-Bariy dijelaskan berbagai pendapat ulama’ tentang Khitan laki dan perempuan, baik yang mendukung dan tidak dan ujung-unjungnya kembali kepada pada tafsiran ayat al-Qur’an yang  menjelaskan tentang kisah nabi Ibrahim. (silahkan periksa kembali), dan akhirnya diungkapkan suatu kesimpulan bahwa  semua hadits yang menjadi dasar adanya keharusan khitan adalah masih dapat dipertanyakan, sesuai dengan ungkapannya: Sementara orang perempuan yang ber-khitan pertama kali adalah seorang budak yang diberikan Hajar kepada Nabi Ibrahim, sebagaimana yang diinformasikan oleh Syaukani dalam Fath al-Qadir dengan ungkapannya: Karena masih samarnya hukum khitan ini, maka para ulama berbeda pandangan seperti yang dapat dilihat pada ungkapan Ibnu Abidin: Mengenai khitan ini Rasulullah SAW telah bersabda : “Dari Abu Hurairah ra. Dari Nabi saw bersabda :”bersih itu ada lima: khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, menggunting kuku, dan mencabut bulu ketiak( HR Bukhari dan Muslim).

Empat: riwayat dari Ibn Abbas :”Khitan itu disunnahkan bagi laki-laki dan dimuliakan bagi perempuan.

Dalam hadist diatas disebutkan tentang khitan sebagai pangkal uhsulilfitrah yang lima karena disebutkan pada pangkal hadist. Dalam sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Imam Abdurrazak dari ma’mar dari Tsawus dari bapaknya dari Abdullah bin Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan lafaz “kalimat” pada ayat:”wa izibtala ibrahima” adalah lima dikepala dan lima dibadan dikepala adalah mencukur kumis, berkemumur, membersihkan hidung, siwak dan menguraikan rambut. Sedangkan lima hal dibadan adalah memotong kuku, mencukur bulu kemaluan, khitan, mencabut bulu ketiak dan beristinjak.

Dalam sebuah riwayat yang diambil dari Almarwazi menyatakan: setelah Nabi Ibrahim as melakukan khitan, maka orang yang akan melakukan tawaf harus melakukan khitan dulu.

Ajaran khitan ini juga bisa di jumpai dalam agama Nasrani, dalam kitab Kejadian Baru dikatakan bahwa anak laki-laki harus dikhitan pada umur 8 hari setelah kelahiran, kemudian Yesus di khitan. Dalam kitab Injil dikatakan bahwa Adam sudah disunat. Hal ini bisa dilihat dalam Lukas. Paulus juga mengkhitan orang, tetapi ia mengatakan bahwa mau khitan boleh tapi boleh juga tidak melakukan khitan.

Ada juga beberapa riwayat lain yang menceritakan tentang usia Nabi Ibrahim as pada saat melakukan khitan karena beliau melakukannya sendiri. Menurut hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang menyatakan Nabi Ibrahim as berkhitan pada usia 70 tahun atau 120 tahun menurut riwayat yang lain. Dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 123 inilah yang menjadi dalil kewajiban laki-laki berkhitan, sedangkan bagi perempun tidak ada dasar hukumnya dalam syariat Nabi Ibrahim as. Dalam kitab Jami’ul ahkam al-qurtubi.

Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat sebagimana yang disebukan diatas, hal ini karena ada sebagian ulama memasukkan kewajiban berkhitan adalah termasuk kewajiban yang diabil dari “millah Ibrahim”, sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdul Bari sebagai berikut:

Saqawi, Imam Tajludi diriwayatkan bahwa Siti Aisyah dipestakan khitan ini baik laki maupun perempuan. Dalam hadist dikatakan :”Akhifful khitan… nikah. Hadist ini menurut as-Saukani bahwa hadist ini tidak jelas sanadnya. Tetapi dibawahnya dijelaskan Siti Aisyah berbicara pada konteks khitan perempuan.

Pada zaman Nabi Ibrahim as yang dijelaskan dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 123 ini menujukkan keumuman, yaitu siapa saja, baik dia laki-laki maupun perempuan melakkukan khitan karea Siti Sarah sudah melakukan sumpah untuk itu beliau berkhitan dan ini selanjutnya menjadi tradisi. Dan barang siapa yang bertawaf maka dia harus berkhitan dahulu. “Millah” dalam ayat ini maksudnya adalah at-tauhid, ini dibuktikan dengan konsep ayat tersebut yang diakhiri dengan kalima : “wama kana minal musyrikin”.

Hukumnya
Al-Qur’an tidak menjelaskan masalah khitan ini, akan tetapi ada beberapa hadist yang menerangkan hal tersebut, yaitu :
Pertama: riwayat dari Ustman bin Kulaib bahwa kakeknya dating kepada Nabi Muhammad SAW dan berkata.”aku telah masuk Islam” lalu Nabi SAW bersabda :”Buanglah darimu rambut kekufuran dan bekhitanlah.

Kedua: Riwayat dari Harb bin Ismail:”siapa yang masuk Islam, maka berkhitanlah walaupun sudah besar”. Ketiga riwayat dari Abu Hurairah :

Mengenai hukum khitan ini para ulama berbeda pendapat, diantaranya yaitu:
Menurut Imam Hasan Al-Bishri, Imam Abu Hanifah dan sebagian pengikut Mazhab Hambali, yang mengacu pada hadist Rasulullah SAW mengatakan bahwa khitan itu sunnah bagi laki-laki dan dimuliakan bagi perempuan.

Menurut Imam As-Sya’bi, Rabi’ah, Al-Auza’i, Yahya bin Saad Al-Ashari, Malik bin Anas, As-Syafi’I dan Ahmad berpendapat bawhwa khitan ini adalah hukumnya wajib. Bahkan menurut Imam Malik :

”barang siapa yang tidak berkhitan maka tidak boleh jadi imam dan kesaksiannya ditolak”.

Tapi ada riwayat lain bahwa Imam Malik mengatakan bahwa hukumnya sunnah. Ibn Musa dari kalangan Hanabilah berkata bahwa hokum khitan adalah sunnah mu’akkadah. Sedangkan Imam Ahmad bahwa hokum khitan itu adalah wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi perempuan.

Adapun praktik khitan bagi perempuan dikalangan masyarakat adalah dimaksudkan sebagai control terhadap seksualitas perempuan. Dengan demikian praktik khitan yang memotong sebagian atau seluruh klitoris, bahkan menjahit labia majora menjadi dibenarkan dalam masyarakat patriakhi.

Sejumlah penelitian menemukan, praktik pemotongan klitoris menyebabkan perempuan mengalami kesulitan orgasme. Dengan teori maqasisdus syar’i yaitu untuk kemaslahatan manusia, maka disimpulkan praktik pemotongan klitoris menyebabkan kemudaratan sehingga tidak absah dilakukan.

Praktik khitan dibeberapa Negara Islam dan umat Islam telah menyalahi praktik khitan perempuan yang telah dilaksanakan pada masa Rasulullah SAW yang hanya sekedar membasuh atau mencolek ujung klitoris dengan jarum. Hal ini diperintahkan langsung oleh Rasulullah SAW kepad tukan sunat perempuan yang bernama Ummu Athiyah, beliau bersabda:”jangan berlebihan, karena adalah bagian kenikmatan perempuan dan kecintaan suami”. Bahkan dalam riwayat lain dikatakan :”sentuh sedikit saja dan jangan berlebihan, karena hal itu penyeri wajah dan bagian kenikmatan suami.(HR. Abu Daud).

Adapun tafsil hokum khitan dalam mazhan Syafi’i adalah sbb:
1. Wajib bagi laki-laki dan perempuan yang sudah balig, berakal dan mampu menahan sakitnya.
2. wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi perempuan, ini pendapat Syafi’I, tetapi dianggap syaz karena berlawanan dengan pendpat jumhur Syafi’iyah walaupun sama dengan pendapat Hanabilah.
3. Tidak wajib pada anak-anak dan orang gila, baik laki-laki atau perempuan, karena mereka belum mukallaf dengan kewajiban syari’at.
4. Haram pada 3 (tiga) orang, yaitu
a) Banci musykil yang memiliki dua alat kelamin, karena tidak boleh melukai tanpa ada keyakinan;
b) Mengkhitan orang yang sudah meninggal walaupun sudah balig;
c) Mengkhitan anak yang dilahirkan dalam keadaan terkhitan.


Beda Khitan Laki dan Perempuan

Perempuan juga berkhitan, pada zaman nabi ada tabib yang bertugas menjadi pengkhitan perempuan.. liat makalah subki. Nabi menyatakan hanya di oles saja bukan dipotong, tapi kalau dipotong harus sekedar saja asal ada nama dipotong. Semua hadis tetang khitan semua dhaif dan semua berdasrkan ijtihadiyah. Hal ini sesuai dengan hadist bahwa pada masa Rasulullah sudah ada tukang khitan perempuan.

Menurut laporan organisasi kesehatan dunia (WHO) yang dimuat pada majalah Population Report mengungkapkan banyak terjadi komplikasi pada anak perempuan yang di khitan di Afrika. Seperti infeksi dan adanya fistula pada daerah yang dilakukan penyunatan. Hal ini bisa menyebabkan adanya luka sayatan didinding vagina yang tidak jelas manfaatnya yang tentunya bisa merusak hymen. Cara khitan ini telah menimbulkan permasalahan dan mudharat. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa agama telah meligitimasi praktik khitan yang mengamputasi organ seksual perempuan, dan hokum fiqh tidak dan belum memberikan sanksi bila hal ini terjadi terhadap perempuan.

Sedangkan tujuan perempuan di khitan (sunat) untuk mengurangi sahwat perempuan, karena sifat dari sel telur (ovum) perempuan adalah panas dan dengan digosok saja mereka bisa terangsang, sedangkan mani laki-laki dingin akan tetapi hal ini masih menjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama fiqh.

Dalam buku Prof. Ida Bagus Gde Manuaba, S.Pog dalam klentit organ perempuan dipenuhi dengan pembuluh darah yang bisa mengakibatkan kegairahan dan rangsangan. Hal ini juga dijelaskan dalam kitab fathul mun’in juga dijelaskan agar bisa menambah gaerah perempuan laki-laki. Artinya masa orgasme (orgasmic phase) sama tercapai.

Ibnu Qayyum al-Jauziah mengatakan pada faraj perepuan terhimpun banyak urat dan ketika digosok, maka gairah seksual perempuan bisa membara. Menurut beliau mani perempuan sifatnya dingin maka untuk membangkitkan gaerag perempuan dengan menggosoknya. Selajutnya beliau mengatakan tentang “tanhaqi” memotong sedikit, bukan semuanya. Ketika disunnat maka gairah itu semakin tinggi. Memang hadist ini dhaif, menurut Imam Nawawi dalam “majmu’ syarah muhazzab” bahwa boleh beramal dengan hadist yang dhaif tetapi “li fadhailil a’mal” tetapi tidak bisa dipakai untuk berhukum akan tetapi menurut Imam Syafi’i bahwa dalil yang kuat yang dipakai untuk kewajiban khitan ini adalah “wattabi’ millata ibrahimma haniifa” dan juga disebut dalam azkar an-Nawawiyah.

Menurut syekh Mahmud Syaltut dalam kitabnya al-Fatawa menyatakan bahwa tujuan khitan laki-laki tidak sama dengan tujuan khitan perempuan Hal ini hanya bertolak ukur pada maslahah (kebaikan) bagi perempuan itu sendiri. Tingkat libido perempuan tidak ditentukan dengan khitan atau tidak, perempuan dikhitan hanya untuk menjaga kehormatan perempuan itu sendiri. Menjaga kehormatan tidak hanya dengan dikhitan tetapi dengan memberikan pendidikan yang baik terhadap mereka . Perempuan dikhitan untuk menjaga kehormatan laki-laki juga. Khitan bukan menjadi ukuran terjadinya hubungan bebas dilingkungan pergaulan mereka, jadi menurutnya khitan tidak wajib bagi perempuan tetapi wajib bagi laki-laki.

Pada zaman nabi saw sudah ada tabib khusus yang bertugas mengkhitan perempuan, hal ini dikaitkan dengan adanya hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ummu Athiah sebagai berikut:
“bahwa ada seorang perempuan yang mengkhitan perempuan di Madinah, kemudian Nabi SAW bersabda :”Jangan kamu keterlaluan (memotong bagian kelentit terlalu banyak) karena itu lebih memberikan kepuasan bagi perempuan dan lebih disukai oleh suami”.

Perawi hadist ini adalah Abu Daud sendiri dan mengatakan bahwa hadist ini lemah karena perawinya majhul (tidak dikenal). Menurut Sayyid Sabiq bahwa semua hadist yang berkaitan dengan khitan perempuan adalah dhaif (lemah), tidak ada satupun yang shahih. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara ex officio khitan perempuan merupakan fatwa yang bersumber dari masalah ijtihadiyah. Terlepas dari dalil-dalil naqli diatas, kita juga tidak bisa melupakan bahwa perumusan-perumusan hokum Islam tidak mesti bersandarkan dalil-dalil naqli semata, tetapi juga ada pertimbangan-pertimbangan hokum lainnya terasuk khitan.

Imam As-Syatibi mengatakan dalam Muwafaqat Ushulus Syari’ah syariat Islam bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dunia dan akhirat. Cita-cita kemaslahatan dapat diwujudkan jika 5 (lima) unsur pokok dapat terpelihara, yaitu : Agama, jiwa, akal, keturunan dan harta (daruriyatul hams). Maka jika kita mengikuti konsep diatas, tampak bahwa khitan pada laki-laki bertujuan untuk memelihara jiwa, baik suami maupun isteri, dengan pertimbangan ini maka tidaklah keliru jika kita mengatakan bahwa khitan pada laki-laki adalah wajib. Sementara khitan pada perempuan dimaksudkan sebagai control seksual perempuan. Dengan demikian praktik khitan yang membuang sebagian atau seluruh klitoris, bahkan menjahit labia majora menjadi dibenarkan dalam nalar masyarakat patriakhi.

Sejumlah penelitian menemukan praktik pemotongan klitoris dapat menyebabkan perempuan kesulitan orgasme, yang sangat munkin menyebabkan hubungan suami isteri kurang harmonis dan hal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan perceraian. Prinsip fiqh mengatakan:”perantara itu sama hukumnya dengan tujuan”. Melihat lima konsep diatas maka mempertahankan keharmonisan rumah tangga merupakan kewajiban bersama untuk memelihara keturunan. Lalu bagaimana dengan praktik yang dilakukan di zaman Rasulullah SAW cara khitan pada perempuan dilakukan dengan cara hanya sekedar mencolek ujung klitoris dengan jarum, sesuai dengan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud diatas.

Tujuan Khitan Ibn Taimiyah
- Membendung libido
- Kalau tidak sunat maka dia akan meronta
- Orang yang tidak disunat akan lebih bergejolak yang tidak berkhitan.
KHITAN perempuan adalah perpaduan antara budaya dan di yogya khitan dilakukan. Ada di recorder. Departemen kesehatan. UNICEF 5 WANITA, secara medist khitan perempuan tidak ada manfaatnya, WHO sunat perempuan adalah kekejaman. Kltoridotomo, kliotori. Studi terbaru, perempuan yang telah mengalami korban 30 % menjalani bedah cesar utuk melahirkan.


Larangan Khitan Perempuan Bertentangan dengan Syariat Islam

Pemerintah Indonesia menolak sunat perempuan. Demikianlah bunyi judul berita BBC Indonesia, Senin 26 November 2012 lalu. Dikatakan di sana bahwa Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboy, menegaskan bahwa pemerintah Indonesia keberatan dengan praktek sunat perempuan atau female genital mutilation (FGM).

"Secara prinsip, jelas kami keberatan dengan FGM (female genital mutilation). Itu tidak bisa diterima," kata Nafsiah dalam wawancara dengan BBC Indonesia, hari Senin (26/11).

Nafsiah menyatakan hal ini terkait laporan di surat kabar Inggris, The Guardian, edisi 18 November 2012, yang menyebutkan sunat dengan melukai alat kelamin anak perempuan, umum dipraktikkan.

The Guardian antara lain memaparkan fakta bahwa pada suatu hari tahun 2006, di Bandung, 246 anak perempuan disunat. Menurut koran ini sunat perempuan makin banyak dipraktikkan dalam beberapa tahun setelah keluar peraturan Menteri Kesehatan tahun 2010 tentang panduan sunat perempuan.

Tentang peraturan menteri soal sunat perempuan, Nafsiah menjelaskan bahwa tadinya Menteri Kesehatan tidak ingin ada praktik sunat perempuan, seperti tercantum dalam keputusan tahun 2007.

Namun, lanjutnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak setuju pelarangan sama sekali sunat perempuan. Akhirnya dikeluarkan perangkat peraturan dikeluarkan untuk mencegah pendarahan atau infeksi.

"Yang penting bagi Menkes, jangan sampai ada dampak buruk dari sunat perempuan, baik yang dilakukan berdasar agama maupun adat kebiasaan," jelas Nafsiah.

Khitan Perempuan menurut Islam

Lalu bagaimana sesungguhnya kedudukan khitan perempuan dalam Islam?.

Merupakan sesuatu yang telah dimaklumi, bahwa berkhitan bagi wanita dapat menstabilkan syahwatnya. Sebab jika tidak dikhitan, maka ia akan merasakan desakan kuat dari syahwatnya.

"Karena itu, sering dikatakan dalam rangka saling mengejek: Wahai Ibn Qulfa –hai anak yang tidak dikhitan. Sebab al-Qulfa adalah yang tidak dikhitan. Wanita demikian itu akan selalu memperhatikan laki-laki. Sebab jika ia tidak dikhitan, maka hal itu akan menyalakan instink fisikal (badaniah) padanya," tulis Wakil Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indoneisa (MUI) Prof Dr Hj Huzaimah T Yanggo, dalam bukunya "Fiqih Anak".

Jeleknya, kata Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah itu, dengan sebab seperti itu, yakni tidak dikhitan, wanita akan banyak terdorong untuk melakukan apa yang tidak pantas untuk dilakukan. Oleh karena itu, perbuatan keji dan cabul terjadi jauh lebih banyak di kalangan wanita non-Muslim, sesuatu yang tidak terjadi di kalangan umat Islam. Padahal di samping itu pun, jelas sekali, bahwa tanpa khitan, maka cairan yang ada pada tempat tersebut akan menimbulkan aroma yang tidak sedap.

Menurut Huzaimah, wanita yang tidak dikhitan itu juga tidak merasakan ketenangan jiwa. Mereka selalu merasa bimbang dan goncang. Tabiatnya tidak baik, merasakan kekacauan dan kelinglungan dalam berfikir. Mereka juga mempunyai fanatisme dalam berkelakar. Muka mereka dihinggapi bentuk dan warna yang aneh dan debu gelap yang aneh pula. Kondisi mereka seperti itu dapat terlihat sejak pertama kali melihatnya. Itulah bahaya-bahaya yang tidak dapat dianggap remeh.

Tak Boleh Berlebihan

Sebaliknya, kata Huzaimah, jika ada wanita yang dikhitan secara berlebihan, atau bagian yang perlu dikhitan itu dipotong dari wanita, maka daya syahwatnya akan melemah, bahkan sangat mungkin akan menghilang. Akibatnya, suaminya tidak akan menemukan kelezatan dalam berjimak, dan wanita/istrinya pun tidak dapat menikmati kelezatan badaniahnya. Bahkan ia akan merasa benci dan tidak kuat melakukannya, maka lahirlah disharmoni di antara suami dan istri. Timbullah keretakan di dalam kehidupan mereka. Kebahagiaan hidup berkeluarga pun sirna. Tidak jarang hal seperti itu melahirkan perceraian yang mengakhiri perikehidupan bersuami-istri. Atau, kadang-kadang kondisi semrawut itu mendorong suami untuk menyeleweng, khususnya juka ia tidak mempunyai ketahanan mental agama yang kuat.

Meskipun demikian, sebaik-baik sesuatu adalah yang pertengahan. Hal itu dapat dilalui dengan berkhitan secara wajar dan sederhana, atau tidak berlebihan. Sebab dapat dipastikan, jika pelaksanaan khitan tidak berlebihan, maka tujuan akan tercapai secara adil dan menguntungkan suami-istri.

Huzaimah mengutip sebuah hadits dalam al-Mustadrak, hadits dari adh-Dhahhak bin Qais, bahwa ada seorang wanita di Madinah yang bernama Ummu ‘Athiyyah (tukang khitan wanita), Rasulullah saw bersabda kepadanya, “Bersederhanalah dan jangan berlebihan. Sebab itu lebih menceriakan wajah dan lebih menguntungkan suami.”

"Jadi, sebetulnya khitan dapat membuahkan kecantikan dan keindahan bentuk. Juga dapat memberikan keceriaan dan keindahan pada wajah. Dengan demikian, wanita akan merasa tenang dan jiwanya pun tidak goncang," simpulnya.

Di samping itu, kita tidak perlu kaget jika ternyata khitan merupakan salah satu dari tiga perbuatan/amal yang disukai oleh Imam Malik bagi (kepentingan) laki-laki dan perempuan. Diriwayatkan secara kuat dari Imam Malik bahwa ia mengatakan, “Aku suka bagi wanita itu untuk memotong kuku, mencukur rambut al-‘anat –yangterletak di bawah perut--  dan berkhitan, sebagaimana yang dilakukan oleh laki-laki.

Demikianlah sepantasnya mengenai khitan wanita. Melarang mutlak tidak diperbolehkan, terlalu berlebihan dalam memotong juga dilarang.

Sebab, khitan yang tidak berlebihan itu lebih menguntungkan –dan mempercantik—wanita, lebih bermanfaat, dan lebih lezat. Juga tentu lebih disukai suaminya. Oleh karena itu, wanita yang bertugas mengkhitan wanita diperintahkan untuk tidak berlebihan dalam mengkhitan wanita. Sebab, hal itu merupakan sebab bagi tumbuh suburnya rasa cinta kasih di antara suami dan istri.

Juga sepentasnya tidak kita lewatkan, bahwa wanita-wanita di zaman Rasulullah saw pun dikhitan. Imam Ahmad mengatakan, “Hadis Nabi Muhammad saw , ‘Apabila (saling) bertemu kedua yang dikhitan, maka wajiblah mandi.’ Hal ini menunjukkan bahwa wanita zaman Rasulullah saw itu dikhitan. Berdasarkan alasan yang telah disebutkan di atas, maka khitan harus dilakukan terhadap anak laki-laki dan perempuan.”

Red: Shodiq Ramadhan
Sumber: Fiqih Anak, karya Prof. Dr. Hj. Huzaimah Y Tanggo

=======================================
[1] Lihat lisanul Arab Ibn Manzur hal 26 Jilid 4. Dar Ihya’turats Bairut Libanon
[2] Hal ini juga pernah dilakukan oleh A’isyah sebagaimana dijelaskan oleh As-Sakhawi dalam Maqassid al-Hasanah. Lihat Maqasid al-Hasanah hadits yang ke 43, hal 72, cetakan pertama 1985. Dar Al-Kitab Al-Arabi Bairut Libanon.
[3] Jami’ Ahkam Fiqhiyah Imam Al-Qurtubi jilid 1 hal 39 pada kitab thaharah. Dar al-Kitab Al-Arabi Bairut Libanon.
[4] Lihat Lukas 2 : 22 – 2 : 23
[5] Injil Barnabas 23 : 1 - 5
[6] Kitab kejadian 17 : 24 – 26 dan 21 : 4
[7] Kitab kejadian 12 : 43
[8] Lukas 1 : 59 - 60
[9] Kisah Rasul 16 : 3 dan Korintus 7 : 19.

Tidak ada komentar