Hukum Seputar Pasca Abortus (Keguguran)
Seorang ibu mengalami abortus pada usia kehamilan 8 minggu, oleh dokter lalu dikiret supaya bersih. Pertanyaannya:
1. Apakah setelah dikiret, ibu kena hukum nifas?
2. Apakah janin dirawat seperti jenazah pada umumnya atau cukup dikubur di halaman rumah?
3. Apakah janin sudah wajib diberi nama dan diaqiqahi?
Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan yang saudara ajukan. Sebelum kami menjawab pertanyaan saudara, terlebih dahulu kami sampaikan bahwa Majelis Tarjih dan Tajdid pernah mengeluarkan Putusan berkenaan dengan hukum abortus itu sendiri, yaitu ketika Muktamar Tarjih XXII di Malang. Saudara bisa merujuk Himpunan Putusan Tarjih terbitan PDM Malang. Di bawah ini adalah kesimpulan singkat dari Putusan tersebut; (1) bahwa abortus provocatus kriminalis atau aborsi yang dilakukan karena motif kriminal, sejak terjadinya pembuahan hukumnya adalah haram, (2) bahwa abortus provocatus medicinalis atau aborsi yang dilakukan karena alasan medis dapat dibenarkan lantaran darurat, yaitu adanya kekhawatiran atas keselamatan atau kesehatan ibu waktu mengandung dan melahirkan berdasarkan hasil konsultasi dengan para ahli yang bersangkutan.
Selanjutnya kami sampaikan beberapa jawaban pertanyaan saudara sebagai berikut: 1. Berkenaan dengan pertanyaan saudara tentang wanita yang mengalami abortus pada usia kehamilan 8 minggu, apakah ia dihukumi nifas atau dihukumi darah lainnya, semisal darah istihadah. Untuk menjawabnya, terlebih dahulu marilah kita lihat bagaimana pengertian nifas dalam fiqih Islam dan ilmu kedokteran. Para ulama Islam sepakat mendefinisikan nifas sebagai darah yang keluar dari alat vital wanita sesaat setelah ia melahirkan. Madzhab Maliki kemudian menambahkan bahwa darah nifas selain keluar setelah proses kelahiran, juga merupakan darah yang keluar saat melahirkan itu sendiri. Madzhab Hanbali juga menghitung darah yang keluar dua atau tiga hari sebelum persalinan sebagai darah nifas (Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah: vol. 41/5). Secara umum dapat dikatakan bahwa dalam ilmu fiqih nifas diartikan sebagai darah yang keluar dari alat vital wanita disebabkan karena persalinan, baik sebelum, ketika atau sesudah berlangsungnya persalinan tersebut. Dalam ilmu kedokteran masa nifas atau disebut puerpurium dihitung sejak satu jam setelah lahirnya plasenta (tali pusar) sampai dengan 6 minggu (42 hari) setelah itu (Ilmu Kebidanan, R. Soerjo Hadijono, 2008: 356).
Berangkat dari definisi fiqih dan kedokteran tersebut, maka darah wanita yang melahirkan, baik dalam kondisi normal ataupun karena abortus, tetap dihukumi sebagai darah nifas. Memang ada sementara ulama yang baru menghitung darah sebagai nifas jika usia janin telah lebih dari 80 hari (al-Mughni: vol. I, 249, Mughni al-Muhtaj, vol. III, 389). Pendapat tersebut mereka ambil karena mereka menganggap bahwa setelah hari ke-80 organ tubuh bayi sudah mulai terbentuk. Menurut mereka, apabila janin meninggal sebelum masa pembentukan organ tubuh maka darah yang keluar dari rahim wanita tidaklah dianggap sebagai darah nifas. Pendapat ini tidak kami pilih, karena menurut hemat kami, baik dalam kacamata syar’i maupun kaca mata kedokteran, usia janin (bayi dalam perut) tidak memiliki kaitan sama sekali dengandarah nifas. Hanya saja, janin yang lahir di bawah usia kandungan 9 bulan secara otomatis akan mengakibatkan sang ibu mengalami masa nifas lebih singkat dari wanita yang melahirkan janin secara normal. Penjelasan kedokteran dari hal tersebut adalah bahwa pada kelahiran normal, uterus (rahim) memiliki bobot 900 gram, berdiameter 12,5 cm dan berada pada posisi 33 cm di atas kondisi ketika rahim tidak sedang mengalami kehamilan (Kebidanan Postpartum, 2003: 7, Anatomi dan Fisiologi Terapan dalam Kebidanan, 1996: 164). Kehamilan yang tidak mencapai usia tersebut akan membentuk posisi dan kondisi uterus yang berbeda. Sebuah kaidah bisa dibuat di sini bahwa semakin tua usia kandungan, maka rahim akan semakin membuka, dan secara otomatis akan menyebabkan sang ibu mengalami masa nifas lebih lama.
Sebaliknya, dalam kondisi kelahiran karena abortus, masa involusi atau pengerutan uterus akan berlangsung lebih cepat, sehingga masa nifasnya pun akan berlangsung lebih sebentar. Secara fiqih hal tersebut dimungkinkan terjadi, karena baik Hadits maupun para ulama tidak pernah membuat batasan tentang masa paling sebentar/waktu minimal (aqallu muddah) dalam nifas (Fiqh al-Sunnah, 2006: vol. I/84).
Dalam fiqih hanya diatur masa paling lama/waktu maksimal (athwalu muddah) dari waktu nifas, yaitu empat puluh hari. Sehingga jika lewat dari empat puluh hari, darah yang keluar dari sang ibu dihitung darah istihadah. Pembatasan waktu maksimal dari masa nifas tersebut didasarkan pada Hadits: Salamah, ia berkata: Wanita-wanita yang mengalami masa nifas duduk (tidak melakukan ibadah khusus) selama 40 hari atau 40 malam” (H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan al-Daruquthni).
Dengan demikian, wanita yang mengalami abortus dalam usia kehamilan 8 minggu, seperti yang saudara tanyakan, tetap dikenai hukum nifas dengan jangka waktu sampai darah tersebut berhenti keluar. Karena si ibu mengalami hukum nifas, maka berlaku pula baginya hukum-hukum yang berkaitan dengan nifas, yaitu dilarang berhubungan suami istri, berpuasa, shalat dan tawaf.
2. Perawatan jenazah dalam Islam adalah satu rangkaian dari proses pengurusan jenazah yang terdiri dari memandikan janazah, mengkafani, menyalatkan dan memakamkannya dengan tata cara seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Dalam hal wanita yang mengalami abortus ketika usia kehamilan baru 8 minggu, pertanyaan yang muncul adalah, apakah bayi yang keluar dari rahim ibu tersebut terhitung berhak mendapatkan perlakuan seperti umumnya manusia dewasa yang meninggal?
Sepanjang penelitian kami, belum ada preseden serupa yang pernah terjadi di zaman Rasulullah saw. yang bisa kita jadikan dalil spesifik untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sehingga dalam kasus ini, kita harus melakukan istinbath (penggalian hukum) dari beberapa dalil umum yang datang kepada kita. Dalam hal ini ada satu Hadits yang bisa dijadikan acuan. Rasulullah saw pernah bersabda: Artinya: “Bayi yang keguguran dishalatkan, dan kedua orangtuanya didoakan agar mendapatkan ampunan dan rahmat dari Allah” (H.R. Abu Dawud dan al-Nasai).
Hadits tersebut datang dalam bentuk umum alias tidak membawa berita spesifik tentang umur janin yang meninggal karena keguguran yang layak untuk dimandikan, dikafani, disalatkan dan dimakamkan seperti jenazah lainnya pada umumnya. Sehingga muncul beberapa kemungkinan dalam menerjemahkan Hadits tersebut. Pertama, yang dimaksud dengan al-siqthu (bayi yang keguguran) dalam Hadits itu adalah hasil proses pembuahan atau bertemunya sel ovum dengan sel sperma di rahim wanita. Tanpa mempedulikan umur janin dan bagaimana bentuknya, jika janin tersebut meninggal, ia sudah berhak mendapatkan perlakuan sesuai dengan tuntunan Islam dalam merawat jenazah orang dewasa. Kedua, perawatan jenazah janin mempersyaratkan janin telah masuk fase tertentu setelah fase al-nutfhah (pembuahan) terlebih dahulu, yaitu fase nafkh ruh atau telah ditiupkannya nyawa kepada si janin.
Pada kemungkinan kedua ini, perawatan jenazah dilakukan bukan sematamata karena janin yang telah ‘wujud’ dalam rahim sang ibu, namun karena ia telah bernyawa. Oleh karenanya, jenazah janin yang lahir sebelum memasuki fase bernyawa, tidak wajib diperlakukan seperti jenazah dewasa pada umumnya. Ketiga, perawatan jenazah janin selain mempersyaratkan janin telah terisi oleh nyawa terlebih dahulu, juga mempersyaratkan janin telah keluar dari rahim ibu dalam keadaan hidup. Dengan kata lain, janin yang berhak dimandikan, dikafani, dishalatkan dan dimakamkan adalah janin yang meninggal di luar rahim sang ibu.
Jika mengacu pada keumuman Hadits di atas, maka sesungguhnya janin yang meninggal pada fase apa pun setelah fase pembuahan, wajib dimandikan, dikafani, disalatkan dan dimakamkan. Namun, dalam penelitian kami ada beberapa dalil lain yang mengkhususkan (mukhasshish) Hadits tersebut. Sehingga pemaknaan al-siqhtu (janin yang keguguran) seperti termaktub dalam Hadits di atas, harus ditarik kepada pengertian janin yang telah memasuki fase nafkh al-ruh (memiliki nyawa) terlebih dahulu.
Dalil yang mengkhususkan Hadits tersebut adalah:
a. Firman Allah SwT: Artinya: “Kemudian Dia (Allah) mematikannya, lalu menguburkannya” (Abasa: 21). Ayat tersebut menyebutkan jenazah yang dimakamkan adalah yang sebelumnya mengalami proses kehidupan dan kematian. Sehingga, dengan demikian, janin yang masih berada pada fase embrio (usia janin 1 s.d. 8 minggu) dan fase fetus yang belum memiliki nyawa, secara otomatis tidak wajib mendapatkan pemakaman dengan tata cara yang umumnya berlaku bagi jenazah dewasa.
b. Hadits Nabi Muhammad saw: Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: apabila bayi telah menangis, maka ia telah berhak untuk disalatkan dan diwarisi” (HR. Nasai dan Ibnu Majah) Sepintas dua Hadits di atas tampak tumpang tindih atau membawa informasi yang bertentangan. Hadits pertama menerangkan bahwa janin yang keguguran berhak disalatkan, tanpa melihat berapa pun umurnya. Hadits kedua menjelaskan bahwa bayi yang disalatkan adalah bayi yang keluar hidup dari rahim ibu, lalu kemudian meninggal. Hadits- Hadits tersebut kedua-duanya berkualitas sahih. Sehingga harus ditempuh jalur kompromi (al-jam’u wa al-tawfiq) untuk menghindari kontradiksi antara keduanya.
Cara mengkompromikannya adalah dengan mengambil pendapat bahwa bayi yang disalatkan adalah bayi yang telah ditiupkan ruh (nyawa) oleh Allah. Cara kompromi ini akan menjadi penengah yang tidak mengabaikan kedua Hadit tersebut. Inilah pendapat yang dipegangi oleh jumhur (mayoritas) ulama Islam (al-Mughni, vol. II, 393) Lalu pertanyaannya, kapan fase nafkh al-ruh itu dimulai, atau dengan kata lain, sejak bayi berumur berapa bulan, ia terhitung harus dimandikan, dishalatkan dan dimakamkan?
Dalam Al-Qur'an dan Hadits nabi terdapat beberapa keterangan tentang fase-fase penciptaan manusia. Dalam Al-Qur'an surat Al-Mukminun ayat 12-14, Allah berfirman: Artinya:”Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kukuh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian jadikan dia makhluk (yang) berbentuk lain. Maka Maha Suci Allah Pencipta Yang Paling Baik”.
Dalam beberapa kitab tafsir, kalimat “khalqan akhar” pada ayat tersebut dimaknai sebagai fase nafkhu al-ruh (peniupan ruh) ke dalam janin. Artinya, Allah meniupkan ruh di dalam janin sehingga ia menjadi makhluk yang berbentuk lain, yang mempunyaipendengaran, penglihatan, rasa, gerakan, dan keguncangan (Tafsir Ibnu Jarir al-Thabariy: vol. IXX, 18, Tafsir Ibnu Katsir: vol. V, 365). Ibnu Katsir dengan mengutip pendapat dari sahabat Ali bin Abi ThalibRa. menafsirkan terjadinya fase khalqan akhar atau nafkh al-ruh setelah bayi melewati bulan keempat.
Ibnu Hajar al-Asqalani (Fathu al-Bari: vol. XI, 481) menyebutkan bahwa semua ulama sepakat berpandangan bahwa fase ditiupkannya ruh ke janin adalah bulan keli kelima, atau setelah janin melewati masa empat bulan (120 hari). Hal itu berdasarkan pada sebuah Hadits Rasulullah saw: Artinya: “Abdullah berkata, Rasulullah saw. yang jujur dan dapat dipercaya telah bersabda: sesungguhnya tiap-tiap di antara kalian dikumpulkan penciptaannya (dari ovum dan sperma) di dalam perut ibunya selama empat puluh hari, kemudian ia menjadi segumpal darah dalam jangka waktu yang sama (40 hari), kemudian menjadi segumpal daging dalam jangka waktu yang sama (40 hari), kemudian setelah itu Allah mengutus seorang Malaikat. Allah menyuruhnya tentang empat perkara, tulislah amalan, rizki, ajal dan kebahagiaan dan kesengsaraan hidup, kemudian ia pun ditiupkan ruh.” (H.R. Muttafaq alaih).
Dengan demikian, berangkat dari penjelasan di atas, selama bayi masih berada pada usia di bawah 120 hari (4 bulan), maka berarti ia belum ditiupkan ruh. Jika ia meninggal pada fase tersebut, ia pun tidak wajib untuk diperlakukan dengan tatacara seperti kita memperlakukan jenazah orang dewasa, yaitu dimandikan, dikafani, dishalatkan dan dimakamkan di pemakaman khusus. Namun, bagi yang ingin melakukannya sebagai bentuk penghormatan terhadap makhluk Allah, tidak ada masalah baginya untuk melakukannya.
3. Pemberian nama dan aqiqah adalah amalan yang dilakukan ketika janin lahir dari rahim ibu dalam keadaan hidup (selamat)
Semata-mata telah terjadi pembuahan pada fase al-nuthfah (bertemunya sel ovum dan sperma), yang berlanjut pada berkembangnya janin menuju fase alaqah (segumpal darah), mudghah (segumpal daging), lalu dibungkus dengan tulang (izham) dan ditiupkan ruh (nafkh al-ruh) tidak menjadi penyebab orang tua dibebani syariah memberi nama dan melakukan aqiqah terhadap anak (janin) nya. Sehingga, meninggalnya janin karena abortus (pada fase apapun) menjadi penghalang (al-mani) bagi orangtua untuk dikenai syariah- syariah tersebut. Dasar dari hal tersebut adalah Hadits Nabi Muhammad saw: Artinya: “Diriwayatkan dari Samurah bin Jundub bahwasanya Rasulullah saw bersabda: setiap bayi tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan (kambing) untuknya pada hari ketujuh, (kepalanya) dicukur dan ia diberi nama” (H.R. Abu Dawud, Nasai, Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Hadits tersebut menunjukkan pentingnya aqiqah dan pemberian nama, sehingga dari Hadits tersebut para ulama menghukumi aqiqah itu sendiri dengan sunnah muakkadah. Hadits tersebut menunjukkan pula bahwa waktu pelaksanaan aqiqah adalah hari ke tujuh dari kelahiran bayi. Sehingga dengan logika mafhum mukhlafah dapat disimpulkan bahwa janin yang meninggal karena abortus (tidak mengalami hari ketujuh) tidak perlu diaqiqahi dan diberi nama. Sisi lain (wajh al-istidlal) yang dapat dijadikan argumen dari Hadits tersebut adalah penggunaan redaksi “ghulam”, yaitu redaksi yang menunjukkan makna bayi yang lahir hidup-hidup. Dalam bahasa Arab, ghulam diartikan sebagai bayi, pemuda dan orang dewasa (Lisanul Arab: vol. XII, 440), bukan semata-mata janin dalam rahim ibu. Karena jika memang sebelum keluar dari rahim ibu si janin sudah menyebabkan orangtuanya dikenai syariat aqiqah dan pemberian nama, maka sudah barang tentu Hadits tersebut semestinya menggunakan istilah lain yang lebih umum seperti al-maulud, al-janin dan atau al-shabiy.
Dalam penelitian kami, dari 12 sunnah qauliyah yang menerangkan tentang aqiqah, 11 di antaranya menggunakan kata ghulam, dan hanya satu yang menggunakan redaksi al-maulud. Makna al-maulud lebih umum, mencakup bayi yang mati karena hasil abortus maupun bayi yang hidup. Artinya: “Diriwayatkan dari Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwasanya Nabi Saw. menyuruh untuk memberi nama bayi yang dilahirkan pada hari ketujuh, membersihkan kotorannya dan mengaqiqahinya. (HR Tirmidzi, dengan komentar “ini adalah Hadits hasan gharib”). Kami menyimpulkan bahwa Hadits yang menggunakan redaksi al-maulud diatas adalah Hadits yang diriwayatkan oleh sahabat atau perawi pada tingkatan lainnya secara bil makna yang melibatkan interpretasi pribadi mereka. Qarinah (indikasi) dari hal tersebut adalah ia menyalahi 11 redaksi Hadits lainnya dan penggunaan kata amara (memerintahkan), bukan qala (bersabda) yang menunjukkan kalimat langsung dan kepastian bahwa Hadits tersebut benar-benar perkataan nabi. Dalam ilmu Hadits disebutkan bahwa Hadits yang menggunakan redaksi qala lebih tinggi derajatnya dari pada Hadits yang menggunakan redaksi amara. Selain itu, kualitas Hadits ini juga patut dipertanyakan, karena hanya mencapai derajat hasan.
Kaidah al-baraah al-ashliyyah (hukum asal) juga bisa kita gunakan sebagai argumen penguat. Sepanjang tidak ada dalil spesifik (khas) yang memerintahkan aqiqah dan pemberian nama sebelum kelahiran bayi dalam keadaan selamat, maka hal tersebut tidak menjadi beban tersendiri bagi orang tua si bayi. Dalil lainnya adalah makna aqiqah itu sendiri. Seperti banyak disebutkan oleh para ulama, aqiqah disyariatkan Allah sebagai sarana untuk bersyukur atas nikmat yang diberikan-Nya berupa kelahiran seorang anak (Ahkamu al-Aqiqah: vol. I, 8). Ketika menjelaskan tentang hikmah aqiqah, para ulama biasanya menghubungkannya dengan ayat Al- TANYA JAWAB AGAMA Qur'an surat Ibrahim ayat 7. Makna syukur tersebut tentu tidak terdapat dalam kondisi orang yang anaknya meninggal karena abortus dan keguguran.
Berangkat dari jawaban kami di atas, maka janin yang keluar dari rahim ibunya dalam keadaan tidak bernyawa atau telah meninggal terlebih dahulu, tanpa melihat berapapun usia dalam kandungan, tidaklah menyebabkan orangtuanya dikenai kewajiban memberi nama dan aqiqah.
Sebagai penutup, kami menganjurkan, sebagaimana pesan yang disampaikan oleh Hadits Rasulullah saw, agar ibu yang mengalami eguguran menerima musibah yang menimpanya dengan penuh kesabaran, karena kesabaran itu akan berbuah positif untuk irinya kelak di hari akhir. Dalam sebuah Hadits Rasulullah saw. bersabda: Artinya: “Sesungguhnya bayi yang keguguran akan membawa ibunya masuk surga dengan tali pusarnya jika ibunya menerimanya dengan sabar” (HR Ibnu Majah dan Ahmad).
Demikian jawaban dari kami.
1. Apakah setelah dikiret, ibu kena hukum nifas?
2. Apakah janin dirawat seperti jenazah pada umumnya atau cukup dikubur di halaman rumah?
3. Apakah janin sudah wajib diberi nama dan diaqiqahi?
Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan yang saudara ajukan. Sebelum kami menjawab pertanyaan saudara, terlebih dahulu kami sampaikan bahwa Majelis Tarjih dan Tajdid pernah mengeluarkan Putusan berkenaan dengan hukum abortus itu sendiri, yaitu ketika Muktamar Tarjih XXII di Malang. Saudara bisa merujuk Himpunan Putusan Tarjih terbitan PDM Malang. Di bawah ini adalah kesimpulan singkat dari Putusan tersebut; (1) bahwa abortus provocatus kriminalis atau aborsi yang dilakukan karena motif kriminal, sejak terjadinya pembuahan hukumnya adalah haram, (2) bahwa abortus provocatus medicinalis atau aborsi yang dilakukan karena alasan medis dapat dibenarkan lantaran darurat, yaitu adanya kekhawatiran atas keselamatan atau kesehatan ibu waktu mengandung dan melahirkan berdasarkan hasil konsultasi dengan para ahli yang bersangkutan.
Selanjutnya kami sampaikan beberapa jawaban pertanyaan saudara sebagai berikut: 1. Berkenaan dengan pertanyaan saudara tentang wanita yang mengalami abortus pada usia kehamilan 8 minggu, apakah ia dihukumi nifas atau dihukumi darah lainnya, semisal darah istihadah. Untuk menjawabnya, terlebih dahulu marilah kita lihat bagaimana pengertian nifas dalam fiqih Islam dan ilmu kedokteran. Para ulama Islam sepakat mendefinisikan nifas sebagai darah yang keluar dari alat vital wanita sesaat setelah ia melahirkan. Madzhab Maliki kemudian menambahkan bahwa darah nifas selain keluar setelah proses kelahiran, juga merupakan darah yang keluar saat melahirkan itu sendiri. Madzhab Hanbali juga menghitung darah yang keluar dua atau tiga hari sebelum persalinan sebagai darah nifas (Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah: vol. 41/5). Secara umum dapat dikatakan bahwa dalam ilmu fiqih nifas diartikan sebagai darah yang keluar dari alat vital wanita disebabkan karena persalinan, baik sebelum, ketika atau sesudah berlangsungnya persalinan tersebut. Dalam ilmu kedokteran masa nifas atau disebut puerpurium dihitung sejak satu jam setelah lahirnya plasenta (tali pusar) sampai dengan 6 minggu (42 hari) setelah itu (Ilmu Kebidanan, R. Soerjo Hadijono, 2008: 356).
Berangkat dari definisi fiqih dan kedokteran tersebut, maka darah wanita yang melahirkan, baik dalam kondisi normal ataupun karena abortus, tetap dihukumi sebagai darah nifas. Memang ada sementara ulama yang baru menghitung darah sebagai nifas jika usia janin telah lebih dari 80 hari (al-Mughni: vol. I, 249, Mughni al-Muhtaj, vol. III, 389). Pendapat tersebut mereka ambil karena mereka menganggap bahwa setelah hari ke-80 organ tubuh bayi sudah mulai terbentuk. Menurut mereka, apabila janin meninggal sebelum masa pembentukan organ tubuh maka darah yang keluar dari rahim wanita tidaklah dianggap sebagai darah nifas. Pendapat ini tidak kami pilih, karena menurut hemat kami, baik dalam kacamata syar’i maupun kaca mata kedokteran, usia janin (bayi dalam perut) tidak memiliki kaitan sama sekali dengandarah nifas. Hanya saja, janin yang lahir di bawah usia kandungan 9 bulan secara otomatis akan mengakibatkan sang ibu mengalami masa nifas lebih singkat dari wanita yang melahirkan janin secara normal. Penjelasan kedokteran dari hal tersebut adalah bahwa pada kelahiran normal, uterus (rahim) memiliki bobot 900 gram, berdiameter 12,5 cm dan berada pada posisi 33 cm di atas kondisi ketika rahim tidak sedang mengalami kehamilan (Kebidanan Postpartum, 2003: 7, Anatomi dan Fisiologi Terapan dalam Kebidanan, 1996: 164). Kehamilan yang tidak mencapai usia tersebut akan membentuk posisi dan kondisi uterus yang berbeda. Sebuah kaidah bisa dibuat di sini bahwa semakin tua usia kandungan, maka rahim akan semakin membuka, dan secara otomatis akan menyebabkan sang ibu mengalami masa nifas lebih lama.
Sebaliknya, dalam kondisi kelahiran karena abortus, masa involusi atau pengerutan uterus akan berlangsung lebih cepat, sehingga masa nifasnya pun akan berlangsung lebih sebentar. Secara fiqih hal tersebut dimungkinkan terjadi, karena baik Hadits maupun para ulama tidak pernah membuat batasan tentang masa paling sebentar/waktu minimal (aqallu muddah) dalam nifas (Fiqh al-Sunnah, 2006: vol. I/84).
Dalam fiqih hanya diatur masa paling lama/waktu maksimal (athwalu muddah) dari waktu nifas, yaitu empat puluh hari. Sehingga jika lewat dari empat puluh hari, darah yang keluar dari sang ibu dihitung darah istihadah. Pembatasan waktu maksimal dari masa nifas tersebut didasarkan pada Hadits: Salamah, ia berkata: Wanita-wanita yang mengalami masa nifas duduk (tidak melakukan ibadah khusus) selama 40 hari atau 40 malam” (H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan al-Daruquthni).
Dengan demikian, wanita yang mengalami abortus dalam usia kehamilan 8 minggu, seperti yang saudara tanyakan, tetap dikenai hukum nifas dengan jangka waktu sampai darah tersebut berhenti keluar. Karena si ibu mengalami hukum nifas, maka berlaku pula baginya hukum-hukum yang berkaitan dengan nifas, yaitu dilarang berhubungan suami istri, berpuasa, shalat dan tawaf.
2. Perawatan jenazah dalam Islam adalah satu rangkaian dari proses pengurusan jenazah yang terdiri dari memandikan janazah, mengkafani, menyalatkan dan memakamkannya dengan tata cara seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Dalam hal wanita yang mengalami abortus ketika usia kehamilan baru 8 minggu, pertanyaan yang muncul adalah, apakah bayi yang keluar dari rahim ibu tersebut terhitung berhak mendapatkan perlakuan seperti umumnya manusia dewasa yang meninggal?
Sepanjang penelitian kami, belum ada preseden serupa yang pernah terjadi di zaman Rasulullah saw. yang bisa kita jadikan dalil spesifik untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sehingga dalam kasus ini, kita harus melakukan istinbath (penggalian hukum) dari beberapa dalil umum yang datang kepada kita. Dalam hal ini ada satu Hadits yang bisa dijadikan acuan. Rasulullah saw pernah bersabda: Artinya: “Bayi yang keguguran dishalatkan, dan kedua orangtuanya didoakan agar mendapatkan ampunan dan rahmat dari Allah” (H.R. Abu Dawud dan al-Nasai).
Hadits tersebut datang dalam bentuk umum alias tidak membawa berita spesifik tentang umur janin yang meninggal karena keguguran yang layak untuk dimandikan, dikafani, disalatkan dan dimakamkan seperti jenazah lainnya pada umumnya. Sehingga muncul beberapa kemungkinan dalam menerjemahkan Hadits tersebut. Pertama, yang dimaksud dengan al-siqthu (bayi yang keguguran) dalam Hadits itu adalah hasil proses pembuahan atau bertemunya sel ovum dengan sel sperma di rahim wanita. Tanpa mempedulikan umur janin dan bagaimana bentuknya, jika janin tersebut meninggal, ia sudah berhak mendapatkan perlakuan sesuai dengan tuntunan Islam dalam merawat jenazah orang dewasa. Kedua, perawatan jenazah janin mempersyaratkan janin telah masuk fase tertentu setelah fase al-nutfhah (pembuahan) terlebih dahulu, yaitu fase nafkh ruh atau telah ditiupkannya nyawa kepada si janin.
Pada kemungkinan kedua ini, perawatan jenazah dilakukan bukan sematamata karena janin yang telah ‘wujud’ dalam rahim sang ibu, namun karena ia telah bernyawa. Oleh karenanya, jenazah janin yang lahir sebelum memasuki fase bernyawa, tidak wajib diperlakukan seperti jenazah dewasa pada umumnya. Ketiga, perawatan jenazah janin selain mempersyaratkan janin telah terisi oleh nyawa terlebih dahulu, juga mempersyaratkan janin telah keluar dari rahim ibu dalam keadaan hidup. Dengan kata lain, janin yang berhak dimandikan, dikafani, dishalatkan dan dimakamkan adalah janin yang meninggal di luar rahim sang ibu.
Jika mengacu pada keumuman Hadits di atas, maka sesungguhnya janin yang meninggal pada fase apa pun setelah fase pembuahan, wajib dimandikan, dikafani, disalatkan dan dimakamkan. Namun, dalam penelitian kami ada beberapa dalil lain yang mengkhususkan (mukhasshish) Hadits tersebut. Sehingga pemaknaan al-siqhtu (janin yang keguguran) seperti termaktub dalam Hadits di atas, harus ditarik kepada pengertian janin yang telah memasuki fase nafkh al-ruh (memiliki nyawa) terlebih dahulu.
Dalil yang mengkhususkan Hadits tersebut adalah:
a. Firman Allah SwT: Artinya: “Kemudian Dia (Allah) mematikannya, lalu menguburkannya” (Abasa: 21). Ayat tersebut menyebutkan jenazah yang dimakamkan adalah yang sebelumnya mengalami proses kehidupan dan kematian. Sehingga, dengan demikian, janin yang masih berada pada fase embrio (usia janin 1 s.d. 8 minggu) dan fase fetus yang belum memiliki nyawa, secara otomatis tidak wajib mendapatkan pemakaman dengan tata cara yang umumnya berlaku bagi jenazah dewasa.
b. Hadits Nabi Muhammad saw: Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: apabila bayi telah menangis, maka ia telah berhak untuk disalatkan dan diwarisi” (HR. Nasai dan Ibnu Majah) Sepintas dua Hadits di atas tampak tumpang tindih atau membawa informasi yang bertentangan. Hadits pertama menerangkan bahwa janin yang keguguran berhak disalatkan, tanpa melihat berapa pun umurnya. Hadits kedua menjelaskan bahwa bayi yang disalatkan adalah bayi yang keluar hidup dari rahim ibu, lalu kemudian meninggal. Hadits- Hadits tersebut kedua-duanya berkualitas sahih. Sehingga harus ditempuh jalur kompromi (al-jam’u wa al-tawfiq) untuk menghindari kontradiksi antara keduanya.
Cara mengkompromikannya adalah dengan mengambil pendapat bahwa bayi yang disalatkan adalah bayi yang telah ditiupkan ruh (nyawa) oleh Allah. Cara kompromi ini akan menjadi penengah yang tidak mengabaikan kedua Hadit tersebut. Inilah pendapat yang dipegangi oleh jumhur (mayoritas) ulama Islam (al-Mughni, vol. II, 393) Lalu pertanyaannya, kapan fase nafkh al-ruh itu dimulai, atau dengan kata lain, sejak bayi berumur berapa bulan, ia terhitung harus dimandikan, dishalatkan dan dimakamkan?
Dalam Al-Qur'an dan Hadits nabi terdapat beberapa keterangan tentang fase-fase penciptaan manusia. Dalam Al-Qur'an surat Al-Mukminun ayat 12-14, Allah berfirman: Artinya:”Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kukuh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian jadikan dia makhluk (yang) berbentuk lain. Maka Maha Suci Allah Pencipta Yang Paling Baik”.
Dalam beberapa kitab tafsir, kalimat “khalqan akhar” pada ayat tersebut dimaknai sebagai fase nafkhu al-ruh (peniupan ruh) ke dalam janin. Artinya, Allah meniupkan ruh di dalam janin sehingga ia menjadi makhluk yang berbentuk lain, yang mempunyaipendengaran, penglihatan, rasa, gerakan, dan keguncangan (Tafsir Ibnu Jarir al-Thabariy: vol. IXX, 18, Tafsir Ibnu Katsir: vol. V, 365). Ibnu Katsir dengan mengutip pendapat dari sahabat Ali bin Abi ThalibRa. menafsirkan terjadinya fase khalqan akhar atau nafkh al-ruh setelah bayi melewati bulan keempat.
Ibnu Hajar al-Asqalani (Fathu al-Bari: vol. XI, 481) menyebutkan bahwa semua ulama sepakat berpandangan bahwa fase ditiupkannya ruh ke janin adalah bulan keli kelima, atau setelah janin melewati masa empat bulan (120 hari). Hal itu berdasarkan pada sebuah Hadits Rasulullah saw: Artinya: “Abdullah berkata, Rasulullah saw. yang jujur dan dapat dipercaya telah bersabda: sesungguhnya tiap-tiap di antara kalian dikumpulkan penciptaannya (dari ovum dan sperma) di dalam perut ibunya selama empat puluh hari, kemudian ia menjadi segumpal darah dalam jangka waktu yang sama (40 hari), kemudian menjadi segumpal daging dalam jangka waktu yang sama (40 hari), kemudian setelah itu Allah mengutus seorang Malaikat. Allah menyuruhnya tentang empat perkara, tulislah amalan, rizki, ajal dan kebahagiaan dan kesengsaraan hidup, kemudian ia pun ditiupkan ruh.” (H.R. Muttafaq alaih).
Dengan demikian, berangkat dari penjelasan di atas, selama bayi masih berada pada usia di bawah 120 hari (4 bulan), maka berarti ia belum ditiupkan ruh. Jika ia meninggal pada fase tersebut, ia pun tidak wajib untuk diperlakukan dengan tatacara seperti kita memperlakukan jenazah orang dewasa, yaitu dimandikan, dikafani, dishalatkan dan dimakamkan di pemakaman khusus. Namun, bagi yang ingin melakukannya sebagai bentuk penghormatan terhadap makhluk Allah, tidak ada masalah baginya untuk melakukannya.
3. Pemberian nama dan aqiqah adalah amalan yang dilakukan ketika janin lahir dari rahim ibu dalam keadaan hidup (selamat)
Semata-mata telah terjadi pembuahan pada fase al-nuthfah (bertemunya sel ovum dan sperma), yang berlanjut pada berkembangnya janin menuju fase alaqah (segumpal darah), mudghah (segumpal daging), lalu dibungkus dengan tulang (izham) dan ditiupkan ruh (nafkh al-ruh) tidak menjadi penyebab orang tua dibebani syariah memberi nama dan melakukan aqiqah terhadap anak (janin) nya. Sehingga, meninggalnya janin karena abortus (pada fase apapun) menjadi penghalang (al-mani) bagi orangtua untuk dikenai syariah- syariah tersebut. Dasar dari hal tersebut adalah Hadits Nabi Muhammad saw: Artinya: “Diriwayatkan dari Samurah bin Jundub bahwasanya Rasulullah saw bersabda: setiap bayi tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan (kambing) untuknya pada hari ketujuh, (kepalanya) dicukur dan ia diberi nama” (H.R. Abu Dawud, Nasai, Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Hadits tersebut menunjukkan pentingnya aqiqah dan pemberian nama, sehingga dari Hadits tersebut para ulama menghukumi aqiqah itu sendiri dengan sunnah muakkadah. Hadits tersebut menunjukkan pula bahwa waktu pelaksanaan aqiqah adalah hari ke tujuh dari kelahiran bayi. Sehingga dengan logika mafhum mukhlafah dapat disimpulkan bahwa janin yang meninggal karena abortus (tidak mengalami hari ketujuh) tidak perlu diaqiqahi dan diberi nama. Sisi lain (wajh al-istidlal) yang dapat dijadikan argumen dari Hadits tersebut adalah penggunaan redaksi “ghulam”, yaitu redaksi yang menunjukkan makna bayi yang lahir hidup-hidup. Dalam bahasa Arab, ghulam diartikan sebagai bayi, pemuda dan orang dewasa (Lisanul Arab: vol. XII, 440), bukan semata-mata janin dalam rahim ibu. Karena jika memang sebelum keluar dari rahim ibu si janin sudah menyebabkan orangtuanya dikenai syariat aqiqah dan pemberian nama, maka sudah barang tentu Hadits tersebut semestinya menggunakan istilah lain yang lebih umum seperti al-maulud, al-janin dan atau al-shabiy.
Dalam penelitian kami, dari 12 sunnah qauliyah yang menerangkan tentang aqiqah, 11 di antaranya menggunakan kata ghulam, dan hanya satu yang menggunakan redaksi al-maulud. Makna al-maulud lebih umum, mencakup bayi yang mati karena hasil abortus maupun bayi yang hidup. Artinya: “Diriwayatkan dari Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwasanya Nabi Saw. menyuruh untuk memberi nama bayi yang dilahirkan pada hari ketujuh, membersihkan kotorannya dan mengaqiqahinya. (HR Tirmidzi, dengan komentar “ini adalah Hadits hasan gharib”). Kami menyimpulkan bahwa Hadits yang menggunakan redaksi al-maulud diatas adalah Hadits yang diriwayatkan oleh sahabat atau perawi pada tingkatan lainnya secara bil makna yang melibatkan interpretasi pribadi mereka. Qarinah (indikasi) dari hal tersebut adalah ia menyalahi 11 redaksi Hadits lainnya dan penggunaan kata amara (memerintahkan), bukan qala (bersabda) yang menunjukkan kalimat langsung dan kepastian bahwa Hadits tersebut benar-benar perkataan nabi. Dalam ilmu Hadits disebutkan bahwa Hadits yang menggunakan redaksi qala lebih tinggi derajatnya dari pada Hadits yang menggunakan redaksi amara. Selain itu, kualitas Hadits ini juga patut dipertanyakan, karena hanya mencapai derajat hasan.
Kaidah al-baraah al-ashliyyah (hukum asal) juga bisa kita gunakan sebagai argumen penguat. Sepanjang tidak ada dalil spesifik (khas) yang memerintahkan aqiqah dan pemberian nama sebelum kelahiran bayi dalam keadaan selamat, maka hal tersebut tidak menjadi beban tersendiri bagi orang tua si bayi. Dalil lainnya adalah makna aqiqah itu sendiri. Seperti banyak disebutkan oleh para ulama, aqiqah disyariatkan Allah sebagai sarana untuk bersyukur atas nikmat yang diberikan-Nya berupa kelahiran seorang anak (Ahkamu al-Aqiqah: vol. I, 8). Ketika menjelaskan tentang hikmah aqiqah, para ulama biasanya menghubungkannya dengan ayat Al- TANYA JAWAB AGAMA Qur'an surat Ibrahim ayat 7. Makna syukur tersebut tentu tidak terdapat dalam kondisi orang yang anaknya meninggal karena abortus dan keguguran.
Berangkat dari jawaban kami di atas, maka janin yang keluar dari rahim ibunya dalam keadaan tidak bernyawa atau telah meninggal terlebih dahulu, tanpa melihat berapapun usia dalam kandungan, tidaklah menyebabkan orangtuanya dikenai kewajiban memberi nama dan aqiqah.
Sebagai penutup, kami menganjurkan, sebagaimana pesan yang disampaikan oleh Hadits Rasulullah saw, agar ibu yang mengalami eguguran menerima musibah yang menimpanya dengan penuh kesabaran, karena kesabaran itu akan berbuah positif untuk irinya kelak di hari akhir. Dalam sebuah Hadits Rasulullah saw. bersabda: Artinya: “Sesungguhnya bayi yang keguguran akan membawa ibunya masuk surga dengan tali pusarnya jika ibunya menerimanya dengan sabar” (HR Ibnu Majah dan Ahmad).
Demikian jawaban dari kami.
Wallahu a’lamu biShawab.
Post a Comment