Beramar Ma’ruf dalam Islam

AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR YANG BENAR 
 
“Paparan Al-Habib Ali Al-Jufriy Tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang Benar”

Imam al-Ghazali Ra. mengatakan bahwa ada 3 sifat yang harus diterapkan dalam beramar ma’ruf nahi munkar. Tanpa 3 sifat ini, amar ma’ruf nahi munkar sulit terwujud. Ketiga sifat itu ialah:

1. Ilmu: Yaitu hendaknya para da’i memiliki ilmu (mengetahui) tentang apa yang dia ajak kepadanya atau larang darinya. Bisa jadi ia mengajak kepada sesuatu yang disangka baik padahal itu buruk, atau melarang sesuatu yang sepatutnya tidak ia larang. Hal ini tidak layak terjadi. Oleh karena itu hendaknya ilmu lebih diutamakan daripada amal, termasuk dalam amar ma’ruf nahi munkar.

2. Wara’: Yaitu hendaknya berdakwah itu bukan ditujukan untuk mencari kedudukan atau kehormatan, menunjukkan kekuatan jasmani dan ruhani, atau yang lainnya. Sifat wara’ yaitu kita beramal hanya karena Allah Swt.

3. Akhlak Mulia: Ini merupakan kunci dari ketiga sifat ini. Tanpa akhlak mulia, amar ma’ruf nahi munkar tidak akan berkesan, sekalipun da’i adalah seorang yang berilmu dan wara’. Salah satu bentuk akhlak mulia ialah bersabar. Bersabar merupakan sifat yang sangat penting dikala amar ma’ruf nahi munkar dibalas dengan celaan dan cacian.

Terdapat sebuah ungkapan dari Ibnu Taimiyah dalam hal bersabar ketika beramar ma’ruf nahi munkar. Beliau mengatakan: “Jika kamu tidak bersabar, kamu akan mendapatkan 2 hal :

a. Kemungkinan kamu akan berhenti dalam mengajak kepada kebaikan dan melarang dari kemunkaran, hal seperti ini sudah banyak terjadi.


b. Pelaku kemunkaran melakukan kemunkaran yang lebih buruk lagi daripada kemunkaran yang pernah kamu cegah. Na’udzu billah.

Mengenai hal ini, terdapat sebuah hadits Nabi Saw., ketika suatu saat beliau menyaksikan ada seorang badui yang tidak tahu apa-apa memasuki Masjid Nabi lalu kencing di salah satu bagian masjid.

Para sahabat yang juga mengetahuinya marah dan ingin segera melemparkannya keluar dari masjid. Namun tidak demikian sikap Nabi Saw., beliau bersabda kepada para sahabat: “Jangan, janganlah engkau menghentikan kencingnya.”

Lalu Nabi Saw. membiarkan badui tadi menyelesaikan kencingnya sedangkan para sahabat masih menahan marah. Setelah usai menunaikan hajatnya, Nabi Saw. menghampiri badui tadi. Beliau Saw. bersabda dengan penuh kelembutan: “Wahai orang badui, sesungguhnya masjid ini rumah Allah dan bangunan untuk beribadah dan berdzikir, ia tidak dibangun untuk perkara ini (menunaikan hajat).”

Melihat kelembutan Nabi Saw., si badui tadi lantas berdoa: “Ya Allah rahmatilah aku dan Muhammad, dan jangan Engkau rahmati orang-orang yang bersama kami (para sahabat).”

Nabi Saw. kemudian bersabda: “Jangan kamu mempersempit rahmat Allah yang luas itu.”

Nabi Saw. lalu memerintahkan para sahabat mengambil seember air untuk mengguyur air kencing tersebut. Beliau Saw. bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk membuat kemudahan, dan tidak diutus untuk membuat kesulitan.” (HR. al-Bukhari, Muslim, Ahmad dan yang lainnya).



Hukum dan Tabi’at Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
 
Mengajak kepada kebaikan dan mencegak kemungkaran adalah fardhu kifayah, artinya jika seorang telah melakukan, maka gugurlah kewajiban bagi yang lain. Akan tetapi jika tidak ada seorang pun yang melakukan, maka semua ikut berdosa. Allah Ta’ala berfirman, “Dan hendaklah ada di antara kamu, segolongan umat yang menyeru pada kebajikan, menyeru yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Mereka lah orang-orang yang beruntung” (Ali Imran:104). Maka, walau seorang atau sekelompok umat Islam telah melakukannhya, maka gugurlah kewajiban bagi yang lain, dan “keberuntungan” dikhususkan bagi mereka yang melakukannya.

Syaikh Al Islam, Ibnu Taimiyah (728 H) menyatakan,”Dan hal ini (amar ma’ruf nahi mungkar), wajib atas setiap mukmin yang mampu. Ini adalah wajib kifayah. Bisa menjadi fardhu ‘ain, kepada mereka yang mampu, dan tidak ada yang melakukan.” (Majmu’ Al Fatawa, vol. 28, hal.126).


Tidak Dikhususkan Kepada Aparat

 
“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak bisa melakukannya dengan tangannya, hendaklah ia mengubahnya dengan lisannya. Jika tidak bisa melakukannya dengan lisannya, hendaklah ia melakukan dengan hatinya. Itulah iman yang paling lemah” (HR. Muslim)
Maka, menurut kemumuman hadits di atas, kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar berlaku bagi siap saja, yang memiliki kemampuan.

Syeikh Al Islam, Imam An Nawawi (626 H) menyatakan, “Ulama telah menyatakan bahwa amar ma’ruf nahi mungkar tidak dikhususkna kepada ashabul wilayah (aparat pemerintah), akan tetapi boleh bagi muslim secara individu”. (Shahih Muslim, Syarh An Nawawi, vol.2, hal. 23)

Dalil lain disebutkan oleh Imam Al Haramain, di zaman awal Islam dan setelahnya selain penguasa telah melakukan amar makruf nahi mungkar, hal itu disetujui oleh umat Islam, dan tidak mencela mereka yang berbuat. Ini menunjukkan bahwa masalah ini sudah masuk dalam ijma’. (Shahih Muslim, Syarh An Nawawi, vol.2, hal. 23).

Imam As Syaukani (1250 H) menyebutkan, “Setiap muslim, wajib kepadanya jika melihat kemungkaran untuk mengubah dengan tangannya, dan jika tidak bisa, maka dengan lisan, jika tidak bisa maka dengan hatinya”. (As Sail Al Jarrar, 567).

Bahkan Hujjah Al Islam, Imam Al Ghazali (505 H) menentang pensyaratan adanya izin dari penguasa untuk melakukan amar ma’ruf. “Ini adalah pensyaratan yang fasid (rusak), karena ayat-ayat dan khabar-khabar yang telah kami utarakan menunjukkan bahwa siapa saja yang melihat kemungkaran, dan ia diam, maka ia telah bermaksiat. Maka wajib ia melarangnya dimana, dan dalam keadaan bagaimana pun. Maka Pengkhususan dengan syarat izin dari imam, adalah hukum yang tidak memiliki asal”. (Ihya’ Ulum Ad Din, vol.2, hal. 342).


Mengubah Kemungkaran Bukan Menghukum

Dalam praktik nahi mungkar, tidak diperkenankan melakukan-hal-hal diluar kebutuhan. Karena target dari nahi mungkar itu hilangnya kemungkaran, bukan memberi hukuman. Yang pertama adalah hak bagi setiap Muslim, sedangkan yang ke dua hak bagi penguasa.

Al Ghazali menyatakan,”Tidak berhak bagi warga sipil, kacuali menghilangkan kemungkaran, dan tidak melakukan hal-hal yang labih dari itu, termasuk memberi hukuman atau cekal, karena hal itu adalah hak penguasa, bukan rakyat” (Ihya’ Ulum Ad Din, vol.2, hal. 359).

Kamudian Al Ghazali menerangkan tahapan-tahapan nahi mungkar. Awal mula yang dilakukan adalah ta’rif, atau memberi tahu, kepada pelaku bahwa yang dilakukannya adalah kemungkaran, kemudian menasehati, lalu memberi peringatan dengan keras, kemudian mulailah dengan menggunakan tangan, jika tetap tidak bisa mulailah memikil dengan tanpa senjata, jika tidak bisa maka meminta bantuan dan menggunakan senjata. Dan Al Ghazali memberi peringatan, bahwa tidak boleh beranjak kepada tahan di atasnya, kecuali setelah gagal dengan menggunakan tahapan sebelumnya. Maka, mengubah keumungkaran sesuai dengan kebutuhan.

Beliau memberi contoh, jika dengan menarik tangan pelaku, kemungkaran bisa dicegah, maka tidak diperbolehkan menarik kaki. Begitu pula tidak perlu membakar alat-alat maksiat, cukup dirusak, hingga tidak bisa lagi digunakan. Cukup menumpahkan minuman-minuman keras, dan menghindari untuk memecah cawan-cawan, jika dengan begitu kemungkaran bisa hilang.

Mengenai pemukulan dengan tangan, tendangan dengan kaki Al Ghazali mengatakan,”Itu dibolehkan jika terpaksa dan dilakukan seperlunya. Jika kemungkaran sudah bisa dicegah, maka hal itu tidak diperlukan”. Imam As Syukani dan Ibnu Al Arabi juga menyatakan hal yang sama, cuma untuk melakukan peperangan, Ibnu Al Arabi menyerahkan masalah ini kepada penguasa (Lihat, Ihya’ Ulum Ad Din, vol.2, hal. 342, As Sail Al Jarrar, 586, Ahkam Al Qur’an, vol. 1, hal. 293)


Mempertimbangan Kemampuan dan Maslahat

Amar ma’ruf nahi mungkar adalah sebuah kewajiban, akan tetapi pelaksanaannya harus mempertimbangkan kemampuan. Allah Ra’ala berfirman,”Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya” (Al Baqarah: 286).
Tapi bukan berarti, harus meninggalkan ingkar sama sekali. Dalam posisi ini ingkar dengan hati wajib (Lihat, Al Qurthubi, vol. 4, hal 48, Ihya’ Ulum Ad Din vol.2, hal. 346-347).

Maslahat juga harus dipertimbangkan. Jika dengan nahi mungkar, mafsadat menjadi lebih besar, maka hal itu lebih baik ditangguhkan. Di sini berlaku daf’u a’dham al mafsadatain (menghindari, dua mafsadat (kerusakan) yang lebih besar). Sebagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wasalam tidak membunuh Abdullah bin Ubai bin Salul, dedengkot munafiqin di saat itu. Hal itu untuk menghindari mafsadat yang lebih besar, yaitu manusia akan mengatakan bahwa Muhammad membunuh saudaranya. Begitu pula Rasulullah melarang umat Islam mencela sembahan kaum musyrik, karena hal itu akan menyebabkan kaum musyirk memperolok-olok Allah.

Sebagaiman Ibnu Qayyim Al Jauziyah (751 H) menyebutkan, bahwa Ibnu Taimiyah membiarkan para prajurit Tatar minum khamr, karena jika dilarang akan timbul mafsadat yang lebih besar, karena jika tidak mabuk, mereka akan membunuhi para wanita dan anak-anak. Dengan menum khamr, maka hal itu mencegah mereka dari melakukan pembunuhan. (Lihat, I’lam Al Muwaqqi’in, vol. 4, hal. 16).

Dengan demikian, jika hendak melakukan nahi mungkar, seyogyanya umat Islam memperhitungkan dengan cermat,


Maslahat dan Mafsadatnya.

Nahi Mungkar Tidak Berlaku terhadap Masalah Khilafiyah
Para ulama seperti Al Ghazali, Ibnu Taimiyah, As Suyuthi berpendapat bahwa masalah ijtihadiyah, yang di dalamnya terdapat khilaf, tidak boleh diingkari. Sebagaiman para ulama juga menetapkan qaidah la yungkaru al mukhtalaf fih, wa inama yungkaru al majma’ ‘alaihi (tidak boleh diingkari masalah-masalah yang terdapat khilaf di dalamnya, pengingkaran hanya terdapat pada masalah- yang telah disepakati hukumnya). (Lihat, Majmu’ Al Fatawa, vol. 20, hal. 207, Ihya Ulum Ad Din, vol.2 hal. 253, Al Asybah wa An Nadzair, vol.1, hal. 341).
Ingkar dengan Hati Dalam Berbagai Kondisi

Pengingkaran dengan hati, tidak bisa dipengaruhi oleh paksaan, oleh karena itu ingkar dengan hati harus tetap ada, karena hilangnya ingkar dengan hati sama dengan lenyapnya iman, dikarenakan derajat ingkar ini adalah selemah-lemah iman.

Sabda Rasulullah, “…kemudian, setelah mereka (generasi penolong para rasul), generasi yang berkata apa yang tidak dikatakan rasul-rasul, berbuat apa yang tidak diperintahkan mereka. Barang siapa berjihad melawan mereka dengan tangan, maka ia Mukmin, barang siapa berjihad dengan lisannya, maka ia Mukmin, dan barang siapa berjihad dengan hatinya maka ia Mukmin, dan tidak ada setelah hal itu keimanan, walau sebiji sawi” (HR. Muslim).

Tentu, dari sini bisa disimpulkan, Islam tetap mewajibkan amar ma’ruf nahi mungkar, sekaligus mengatur tata caranya. Melaksanakannya dengan prosedur yang benar tidaklah memperburuk citra Islam, bahkan sebaliknya umat Islam akan menjadi khoiru ummah jika ber-amar ma’ruf nahi mungkar, ini dinyatakan Allah dalam Ali Imran:110.

Jika di hati sudah tidak ada kebencian terhadap kemungkaran yang ada di sekitar, semisal perjudian, miras, perzinaan, penyimpangan seksual seperti homoseks dan lesbi, yang memang merupakan tindakan mungkar menurut ijma, serta penodaan agama, maka itu merupakan tanda lenyapnya iman. Tentu lebih parah lagi nasib mereka yang terang-terangan membela kemaksiatan.

Islam tidak “ngawur” dalam menghadapi maksiat. Tapi Islam juga tidak diam ketika maksiat merajalela.

Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar