Hindari Kesyirikan, Pahami Tawassul yang syar'i

Tawassul

Pembaca muslimah yang semoga dirahmati Allah, tidak asing lagi bagi kita pembahasan seputar tawassul. Tawassul  adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan ketaatan kepadaNya, beribadah kepadaNya, mengikuti petunjuk RasulNya dan mengamalkan seluruh amalan yang dicintai dan di ridhaiNya, lebih jelasnya adalah kita melakukan suatu ibadah dengan maksud mendapatkan keridhaan Allah dan surgaNya. Tentu saja ini merupakan bentuk ibadah kepada Allah yang sering kali kita lakukan dalam kehidupan kita namun perlu diketahui bahwa tidak sedikit pula orang yang terjerumus kedalam tawassul yang itu sama sekali tidak di syari’atkan di dalam agama Islam. Ada sebagian orang yang mentakwil hadits-hadits tentang tawassul dengan berdasarkan akal pemikiran dan hawa nafsu belaka. Sehingga muncullah berbagai bentuk tawassul yang sama sekali tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam bahkan merupakan kesyirikan yang besar.

Untuk itulah di sini kita akan  membahas tentang berbagai macam bentuk tawassul yang sudah tersebar bahkan di lingkungan sekitar kita. Ahlussunnah wal jama’ah membolehkan tawassul yang syar’i di mana ini merupakan suatu bentuk ibadah kepada Allah yang sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam. Namun jelas ahlussunnah juga melarang dari berbagai bentuk tawassul yang bid’ah apalagi syirik yang ini pun juga sudah tersebar dan menjadi kebiasan bagi sebagian orang. Mereka menganggap dirinya sedang beribadah dan memohon ridhaNya namun ternyata sebaliknya, murka Allah lah baginya. Wal iyyadzu billah.

Dengan itu maka kita akan mulai mengkaji apa sebenarnya makna tawassul itu dan bagaimana yang disyari’atkan serta yang bagaimana yang terlarang. Tentunya agar kita tidak terjerumus ke dalamnya tanpa kita sadari karena kejahilan pada diri kita.


Pengertian tawassul

 
Tawassul adalah mengambil sarana/wasilah agar do’a atau ibadahnya dapat lebih diterima dan dikabulkan.  Al-wasilah menurut bahasa berarti segala hal yang dapat menyampaikan dan mendekatkan kepada sesuatu. Bentuk jamaknya adalah wasaa-il (An-Nihayah fil Gharibil Hadiit wal Atsar :v/185 Ibnul Atsir). Sedang menurut istilah syari’at, al wasilah yang diperintahkan dalam alqur’an adalah segala hal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah Ta’ala, yaitu berupa amal ketaatan yang disyariatkan.(Tafsir ath-Thabari IV/567 dan Tafsir Ibnu Katsir III/103)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
 
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan dii kepadaNya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalanNya agar kamu beruntung.”(QS.Al-Maidah: 35)

Mengenai ayat di atas Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhu berkata, ”Makna wasilah dalam ayat tersebut adalah al-qurbah (peribadatan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah).” Demikian pula yang diriwayatkan dari Mujahid, Ibnu Wa’il, al-Hasan, ‘Abdullah bin Katsir, as-Suddi, Ibnu Zaid, dan yang lainnya. Qatadah berkata tentang makna ayat tersebut, ”Mendekatlah kepada Allah dengan mentaatiNya dan mengerjakan amalan yang di ridhoiNya.” (Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari IV/567 dan Tafsir Ibnu Katsir III/103).

Adapun tawassul (mendekatkan diri kepada Allah dengan cara tertentu) ada tiga macam : yang sunnah, bid’ah, dan yang syirik.



Tawassul yang sunnah

Pertama : Bertawassul dengan menyebut asma’ul husna yang sesuai dengan hajatnya ketika berdo’a

 
Allah Ta’ala berfirman,

وَلِلّهِ الأَسْمَاء الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُواْ الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَآئِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
 
“Hanya milik Allah-lah asma’ul husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut asma’ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam menyebut nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjaan.”(QS. Al-A’raf:180).

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda dalam do’anya,

“Ya Allah, aku memohon kepadaMu dengan seluruh namaMu, yang Engkau menamakan diriMu dengan nama-nama tersebut, atau yang telah Engkau ajarkan kepada salah seorang hambaMu, atau yang telah Engkau turunkan dalam kitabMu, atau yang masih tersimpan di sisiMu.”(HR.Ahmad :3712)


Kedua : Bertawassul dengan sifat-sifat Allah Ta’ala

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda dalam do’anya,

“Wahai Dzat Yag Maha Hidup lagi Maha Berdiri sendiri, hanya dengan RahmatMu lah aku ber istighatsah, luruskanlah seluruh urusanku, dan janganlah Engkau serahkan aku kepada diriku sendiri walaupun sekejap mata.”(HR. An-Nasa’i, al-Bazzar dan al-Hakim)


Ketiga : Bertawassul dengan amal shalih

Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab shahih muslim, sebuah riwayat yang mengisahkan tentang tiga orang yang terperangkap dalam gua. Lalu masing-masing bertawassul dengan amal shalih mereka. Orang pertama bertawassul dengan amal shalihnya berupa memelihara hak buruh. Orang ke dua bertawassul dengan baktinya kepada kedua orang tuanya. Sedangkan orang ke tiga bertawassul dengan takutnya kepada Allah Ta’ala, sehingga menggagalkan perbuatan keji yang hendak dia lakukan. Akhirnya Allah Ta’ala membukakan pintu gua itu dari batu besar yang menghaanginya, hingga mereka bertigapun akhirnya selamat. (HR.Muslim 7125)


Keempat: Bertawassul dengan meminta do’anya orang shalih yang masih hidup

Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa ada seorang buta yang datang menemui Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Orang itu berkata, ”Wahai Rasulullah, berdo’alah kepada Allah agar menyembuhkanku (sehingga aku bisa melihat kembali)”. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menjawab, ”Jika Engkau menghendaki aku akan berdo’a untukmu. Dan jika engkau menghendaki, bersabar itu lebih baik bagimu”. Orang tersebut tetap berkata, ”Do’akanlah”. Lalu Rasulullah  shallallahu ’alaihi wa sallam menyuruhnya berwudhu secara sempurna lalu shalat dua raka’at, selanjutnya beliau menyuruhnya berdo’a dengan mengatakan, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu dan aku menghadap kepadaMu bersama dengan nabiMu, Muhammad, seorang nabi yang membawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap bersamamu kepada Tuhanku dalam hajatku ini, agar Dia memenuhi untukku. Ya Allah jadikanlah ia pelengkap bagi (do’a)ku, dan jadikanlah aku pelengkap bagi (do’a)nya.” Ia (perawi hadits) berkata, ”Laki-laki itu kemudian melakukannya, sehingga dia sembuh”. (HR.Ahmad dan Tirmidzi)


Kelima : Bertawassul dengan keimanannya kepada Allah Ta’ala

Allah Ta’ala berfirman,

رَّبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِياً يُنَادِي لِلإِيمَانِ أَنْ آمِنُواْ بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الأبْرَارِ 

”Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman (yaitu),’berimanlah kamu kepada Tuhanmu’. Maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti” (QS.Ali-Imran: 193)


Keenam: Bertawassul dengan ketauhidannya kepada Allah

Allah Ta’ala berfirman,

وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِباً فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنجِي الْمُؤْمِنِينَ

”Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa kami tidak akan mempersemptnya (menyulitkannya). Maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap,’bahwa tidak ada sesembahan (yang berhak disebah) selain Engkau, maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.’ Maka Kami telah memperkenankan do’anya dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan demikian Kami selamatkan orang-orang yang beriman.”(QS. Al-Anbiya: 87-88)


Tawassul yang bid’ah

Pertama : Tawassul dengan kedudukan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam atau kedudukan orang selain beliau.

Dalam shahih Bukhari terdapat hadits, “Dari Anas bin Malik, bahwasannya Umar bin Khaththab radhiyallahu ’anhu jika terjadi kekeringan, maka beliau berdo’a agar diturunkan hujan dengan bertawassul melalui perantaraan (do’a) al-‘Abbas bin Abdul Muthallib. Umar berkata,’Ya Allah dahulu kami bertawassul dengan nabi kami hingga Engkau menurunkan hujan kepada Kami. Dan sekarang kami bertawassul dengan paman nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami’. Kemudian turunlah hujan.” (HR.Bukhari 1010)

Maksud bertawassul dengan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bukanlah “Bertawassul dengan menyebut nama Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam atau dengan kedudukannya sebagaimana persangkaan sebagian orang. Akan tetapi maksudnya adalah bertawassul dengan do’a Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Oleh karena itu ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam telah wafat, para sahabat tidak bertawassul dengan nama atau keddukan Nabi, akan tetapi bertawassul dengan do’a paman Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam –yaitu ‘Abbas- yang saat itu masih hidup.

Kedua: Bertawassul dengan cara menyebutkan nama atau kemuliaan orang shalih ketika berdo’a kepada Allah Ta’ala.

Ini adalah bid’ah bahka perantara menuju kesyirikan. Contoh, ”Ya Allah, aku memohon kepadaMu dengan kemuliaan Syaikh Abdul Qadir Jailani, ampunilah aku.”

Ketiga: Bertawassul dengan cara beribadah kepada Allah Ta’ala di sisi kubur orang shalih

Ini merupakan bid’ah yang diada-adakan, dan bahkan merupakan perantara menuju kesyirikan.



Tawassul yang syirik dan dilarang


Tawassul yang syirik adalah menjadikan orang yang sudah meninggal sebagai perantara dalam beribadah seperti berdo’a kepada mereka, meminta hajat, atau memohon pertolongan kepada mereka. Contoh, ”Ya Sayyid Al-Badawi, mohonlah kepada Allah untuk kami”.

Perbuatan ini merupakan syirik akbar dan dosa besar yang paling besar, meskipun mereka menamakannya dengan “tawassul”. Hukum syirik ini dilihat dari hakikatnya yaitu berdo’a kepada selain Allah.


Tawassul yang terlarang adalah menggunakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan sesuatu yang tidak dijelaskan oleh syari’at. Tawassul yang terlarang dapat dikelompokkan menjadi dua macam :

a) Bertawassul dengan sesuatu yang tidak dijelaskan oleh syariat.

Tawassul jenis ini adalah tawassul yang terlarang, bahkan terkadang menyebabkan timbulnya perbuatan syirik. Misalnya seseorang bertawassul dengan kedudukan (jaah) Nabi ‘alaihis shalatu was salam atau kedudukan orang-orang shaleh di sisi Allah. Karena tawassul semacam ini berarti telah menetapkan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah yang tidak ada dasarnya dalam syariat. Karena kedudukan siapa pun di sisi Allah itu tidak mempengaruhi terkabulnya doa orang lain yang menggunakannya sebagai sarana tawassul. Kedudukan hanya bermanfaat bagi pemiliknya bukan orang lain. Kedudukan Nabi ‘alaihis shalatu was salam di sisi Allah hanya bermanfaat bagi do’a beliau saja dan bukan do’a orang lain. Maka do’a kita tidaklah menjadi cepat terkabul hanya gara-gara kita menyebut kedudukan Nabi ‘alaihis shalatu was salam atau orang shaleh.

Di antara bentuk tawassul semacam ini adalah tawassul yang dilakukan sebagian kaum muslimin pada saat membaca shalawat Badr. Dalam shalawat ini terdapat kalimat, yang artinya: “Kami bertawasul dengan sang pemberi petunjuk, Rasulullah dan setiap orang yang berjihad di jalan Allah, yaitu pasukan perang badar.”


Para ulama menjelaskan bahwa tawassul model semacam ini memiliki dua hukum:


[Pertama] Hukumnya bid’ah, karena tawassul termasuk salah satu bentuk ibadah. Sementara bentuk tawassul dengan cara ini belum pernah dipraktekkan di zaman Nabi ‘alaihis shalatu wa sallam dan para sahabat.


[Kedua] Jika diyakini dengan menggunakan tawassul jenis ini menyebabkan do’anya menjadi cepat terkabul maka hukumnya syirik kecil. Karena orang yang menggunakan kedudukan orang lain di sisi Allah berarti menjadikan sebab tercapainya sesuatu yang pada hakekatnya itu bukan sebab. Pendek kata, tawassul ini termasuk kedustaan atas nama syari’at.
Namun, jika bertawassul dengan menyebut nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tetapi maksudnya adalah untuk menunjukkan keimanannya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti ini dibolehkan. Karena ini termasuk bertawasul dengan amal shaleh yaitu beriman kepada nabi.

b) Tawassul dengan ruh orang shaleh, jin, dan malaikat

Tawassul jenis kedua ini adalah model tawassul yang dilakukan oleh orang-orang musyrik jahiliyah. Mereka meng-agung-kan berhala, kuburan, petilasan orang-orang shaleh karena mereka yakin bahwa ruh orang shaleh tersebut akan menyampaikan do’anya kepada Allah ta’ala. Bahkan bentuk tawassul semacam ini merupakan bentuk kesyirikan yang pertama kali muncul di muka bumi. Kesyirikan yang terjadi pada kaumnya Nabi Nuh ‘alaihi salam. Sebagaimana keterangan Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma ketika menjelaskan awal terjadinya kesyirikan di saat beliau menafsirkan surat Al Baqarah ayat 213. Ibnu Abbas mengatakan, “Jarak antara Adam dan Nuh ada 10 abad. Semua manusia berada di atas syariat yang benar (syariat tauhid). Kemudian mereka berselisih (dalam aqidah). Akhirnya Allah mengutus para Nabi sebagai pemberi peringatan.”

Ibnu Abbas juga memberi keterangan tentang nama-nama sesembahan kaum Nuh, Wad, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nashr, Ibnu Abbas mengatakan, “Mereka adalah orang-orang shaleh di zaman Nuh. Ketika mereka mati, setan membisikkan kaum Nuh untuk memasang batu prasasti di tempat ibadahnya orang-orang shaleh tersebut dan diberi nama dengan nama mereka masing-masing. Kemudian mereka melaksanakannya namun batu itu belum disembah. Sampai ketika generasi ini (kelompok yang memasang batu) telah meninggal dan generasi berikutnya tidak tahu asal mula batu itu, akhirnya batu itu disembah.”

Demikian pula, kesyirikan yang dilakukan kaum musyrikin jahiliyah. Mereka meyakini bahwa Lata, Uzza, Manat, Hubal, malaikat, jin dan beberapa sesembahan lainnya adalah orang-orang shaleh yang akan mendekatkan diri mereka kepada Allah. Allah menceritakan jawaban mereka ketika didakwahi untuk meninggalkan perbuatan tersebut:

Orang-orang musyrikin mengatakan (yang artinya), “Mereka semua (ruh orang shaleh itu) adalah para pemberi syafaat bagi kami di sisi Allah.” (QS. Yunus: 18)
   
Orang-orang musyrikin mengatakan (yang artinya), “Tidaklah kami beribadah kepada mereka kecuali agar mereka mendekatkan diri kami kepada Allah lebih dekat lagi.” (QS. Az Zumar:3)

Artinya orang musyrik tersebut masih meyakini bahwa yang berkuasa mengabulkan do’a adalah Allah. Sedangkan orang-orang shaleh tersebut hanyalah sarana mereka untuk berdo’a.

Berdasarkan keterangan dari dua ayat di atas, ada satu hal penting yang perlu dicatat bahwasanya menjadikan ruh orang shaleh sebagai wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah termasuk di antara bentuk beribadah kepada selain Allah yang nilainya syirik besar dan menyebabkan pelakunya menjadi kafir.




Referensi:

- Prinsip-Prinsip Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas Mutiara Faedah Kitab Tauhid, Abu Isa Abdullah bin Salam Khudz ‘Aqidataka minal Kitabi wa Sunnatis Shahihi, Muhammad bin Jamil Zainu
- Buletin At-Tauhid, Penulis: Ummu Yusuf, Muroja’ah : M. A. Tuasikal


Setelah kita mengetahui bahaya kesyirikan yang sangat besar di dunia dan akhirat, kita perlu mengetahui secara rinci bentuk-bentuk kesyirikan yang banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat kita.

Di antara bentuk-bentuk yang banyak terjadi pada mereka adalah berdo’a dan meminta pada kuburan-kuburan yang dianggap keramat, kepada orang-orang shalih yang telah mati atau kepada jin-jin dan malaikat-malaikat. Banyak pula di antara mereka yang bertawassul (mengambil perantara) dengan ruh atau kedudukan nabi dan bertawassul dengan kemuliaan para wali dan orang-orang shalih (yang sudah mati).

Jika kita mencermati nash-nash dalam al-Qur’an maupun sunnah, maka akan kita dapati pula hal demikian ini pada zaman jahiliyah dulu ketika Rasulullah diutus. Kaum musyrikin di zaman jahiliyah dulu ataupun pada zaman kita ini selalu beralasan bahwa mereka tidak menyembah sesembahan-sesembahan tadi melainkan hanya sebagai taqarruban (mendekatkan diri) dan wasilah (perantara) kepada Allah.

Allah mengkisahkan jawaban mereka ketika diperingatkan dari kesyirikan dalam firman-Nya (yang artinya):

“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (QS. Az-Zumar: 3)

Siapakah yang lebih sesat daripada orang-orang yang meminta sesuatu kepada selain Allah dimana mereka tidak mungkin akan dapat mengabulkannya sampai hari kiamat. Mereka telah mati, telah terputus hubungannya dengan kita dan berbeda alamnya. Bahkan Mereka di alam barzakh (alam kubur-red.) disibukkan dengan urusannya sendiri.

Firman Allah, yang artinya :
 
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (do'a) nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) do'a mereka?” (QS. Al Ahqaaf: 5)

Mengapa tidak meminta secara langsung kepada yang Maha Mendengar dan Maha Melihat?

Firman Allah, yang artinya :

“Dan Rabb-mu berfirman: "Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina." (QS. Az-Zumar: 60)


Mereka yang dianggap oleh sebagian masyarakat dapat menyampaikan harapannya kepada Allah, dalam keadaan sedang sibuk mendekatkan diri mereka sendiri kepada-Nya, mengharapkan rahmat dari-Nya dan takut akan adzab-Nya. Dan mereka tidak dapat mendengarkan do’a mereka. Bahkan jika mereka adalah orang-orang yang shalih ketika hidup di dunia, tentu akan mengingkari kesyirikan ini pada hari kiamat kelak.

Firman Allah, yang artinya :

“Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalaupun mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan pada hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (QS. Faathir: 14)

Maka yang akan terjadi pada hari kiamat adalah mereka saling salah-menyalahkan sebagaimana dalam kelanjutan ayat dalam surat Al Ahqaaf di atas:

Firman Allah, yang artinya :

“Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat) niscaya sembahan-sembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka.” (QS. Al Ahqaaf: 6)

Untuk itu perlu kita bahas makna tawassul dan wasilah. Karena jika terjadi kesalahan dalam masalah ini dapat menjerumuskan seseorang dalam kesyirikan besar yang dapat menggugurkan seluruh amalannya
.


Tawassul yang Disyariatkan

Ada beberapa macam tawassul yang disyari’atkan dan dicontohkan oleh Rasulullah, yaitu:

1. Bertawassul dengan nama-nama Allah ta‘ala, sifat-sifat-Nya dan perbuatan-Nya (Asmaul Husna)


Firman Allah, yang artinya  :

“Hanya milik Allah asmaaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu …” (QS. Al Anfaal: 18)


Berdasarkan ayat tersebut, dianjurkan bagi setiap yang hendak berdo’a untuk memuji Allah terlebih dahulu dengan menyebut nama-namaNya yang mulia dan disesuaikan dengan isi do’a. Misalnya do’a minta ampunan dan rahmat, maka dianjurkan untuk menyebut nama Allah: Al Ghafur Ar Rahiim.

Diantara tawassul dengan nama-nama Allah adalah ucapan Rasulullah :

Ya Allah, aku adalah hamba-Mu, anak hamba-Mu yang laki-laki dan anak hamba-Mu yang perempuan. Ubun-ubunku ada di tangan-Mu. Hukum-Mu telah berlaku atasku. Ketentuan-Mu telah adil bagiku. Aku memohon kepada-Mu, ya Allah, dengan semua nama yang Engkau miliki yang Engkau namakan diri-Mu dengannya. Atau yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu. Atau yang Engkau ajarkan kepada salah seorang dari hamba-Mu. Atau yang Engkau khususkan dalam ilmu ghaib di sisi-Mu. Jadikanlah Al Qur’an Al Adhim sebagai penyejuk hatiku, cahaya dadaku, penghilang kesedihan dan kegelisahanku. (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)

Di antara tawassul dengan menyebutkan sifat-Nya adalah doa beliau :

Aku berlindung dengan kemuliaan dan kekuasaan Allah dari kejelekan yang aku jumpai dan aku takuti. (HR. Muslim)

Dan di antara tawassul dengan perbuatan-perbuatan Allah adalah shalawat yang diajarkan oleh Rasulullah yang dikenal dengan shalawat Ibrahimiyah yaitu :

Ya Allah, berilah shalawat kepada Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah memberikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarganya.

Kalimat “kama Shallaita” dalam hadits di atas yang artinya “sebagaimana Engkau memberi shalawat” merupakan salah satu perbuatan Allah.



2. Bertawassul dengan keimanan kepada Allah dan rasul-Nya (shalawat)

 
Firman Allah, yang artinya :“Ya Rabb kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Rabb-mu", maka kami pun beriman. Ya Rabb kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti.” (QS. Ali Imran: 193)

Dari ayat di atas disebutkan bahwa dengan sebab keimanan kami kepada rasul-Mu maka ampunilah dosa kami. Maka jadilah iman kepada Allah dan rasul-Nya menjadi wasilah atau sebab diampuni dosa-dosa.


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua do’a tertutupi (tidak bisa naik ke langit) sampai dibacakan shalawat untuk Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. At Thabrani dalam Al Ausath dan dihasankan Al Albani)



3. Bertawassul dengan keadaan orang yang berdo’a,  memeilih waktu dan tempat yang mustajab.


Yaitu seorang yang berdo’a bertawassul dengan keadaannya, seperti pernyataan seseorang ketika berdo’a :

Ya Allah, sesungguhnya aku ini faqir sangat membutuhkanmu. Ya Allah sesungguhnya aku ini tawanan (budak) milikmu….

Adapun dalilnya adalah firman Allah (yang artinya) :
"Ya Rabb-ku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku." (QS. Al Qashash: 24)



Ada beberapa waktu yang mustajab untuk berdo’a, di antaranya :

• Waktu antara adzan dan iqamah, berdasarkan hadits, “Do’a di antara adzan dan iqamah tidak ditolak, maka berdo’alah.” (HR. At Tirmidzi dan dishahihkan Al Albani)

• Di akhir shalat fardhu sebelum salam, berdasarkan riwayat ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Kapankah do’a seseorang itu paling didengar?” Beliau menjawab, “Tengah malam dan akhir shalat fardhu.” (HR. At Tirmidzi dan dihasankan Al Albani). Yang dimaksud “akhir shalat fardlu” adalah setelah tasyahud sebelum salam.

• Satu waktu di hari jum’at setelah ‘Ashar, berdasarkan hadits, “Hari jum’at itu ada 12 jam. Di antaranya ada satu waktu yang jika seorang muslim memohon kebaikan kepada Allah pada waktu tersebut pasti Allah beri. Cari waktu itu di akhir hari setelah ashar.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan Al Hakim dengan disetujui Ad Dzahabi)

Demikian sekelumit penjelasan tentang kesempatan yang baik untuk berdo’a. Masih terlalu banyak keterangan tentang waktu dan tempat yang mustajab untuk berdo’a yang tidak bisa dipaparkan pada kesempatan ini.





4. Bertawassul dengan do’anya orang yang mungkin dikabulkan doanya


Adapun dalilnya adalah ketika seseorang yang meminta Rasulullah untuk berdo’a kepada Allah agar diturunkan hujan, orang itu berkata: “Wahai Rasulullah, telah binasa harta benda kami dan terputus jalan-jalan maka mohonkanlah kepada Allah agar menurunkan hujan”. Maka Rasulullah mengangkat kedua tangannya, lalu berdoa: “Ya Allah turunkanlah hujan, ya Allah turunkanlah hujan”. (HR. Muslim)

Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa syarat orang yang diminta untuk berdo’a adalah :

1. Hadir atau dapat mendengar permintaan orang tersebut.
2. Masih hidup dan dapat melakukan do’a tersebut.
3. Hati harus tetap yakin bahwa Allah-lah yang akan menentukan segala sesuatunya. Tidak ada kecenderungan hati kepada selain-Nya.




Namun ada beberapa hal yang perlu untuk diingat terkait dengan meminta orang lain agar mendo’akannya :

• Hendaknya tidak dijadikan kebiasaan. Atau bahkan dijadikan sebagai ucapan latah ketika ketemu setiap orang. Sering dijumpai ada orang yang setiap ketemu orang lain pasti minta agar dido’akan. Bahkan yang lebih baik dalam hal ini adalah berusaha untuk berdo’a sendiri dan tidak menggantungkan diri dengan meminta orang lain. Sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakr As Siddiq radhiallahu ‘anhu yang tidak meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendo’akan dirinya.

• Do’a yang diminta bukan murni masalah dunia dan untuk kepentingan pribadinya. Semacam lulus tes, banyak rizqi, dan semacamnya. Jika do’a itu untuk kepentingan pribadinya maka selayaknya yang diminta adalah akhirat. Sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat dengan meminta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dirinya dimasukkan ke dalam surga. Atau, jika do’a itu isinya kepentingan dunia, maka selayaknya bukan untuk kepentingan pribadinya namun untuk kepentingan umum, semacam meminta hujan atau keamanan kampung.


Adapun meminta dido’a-kan atau meminta disampaikan keinginannya kepada orang yang telah mati atau kepada kuburan-kuburan, atau kepada orang yang tidak hadir dan tidak mendengar walaupun masih hidup, maka yang demikian merupakan kesyirikan yang nyata.






5. Bertawassul dengan amal shalih

Yakni menyebutkan dalam do’anya amal shalih yang pernah dikerjakannya. Hal itu seperti yang ditunjukkan oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar, bahwa ada 3 orang laki-laki yang terkurung di dalam gua. Kemudian mereka berdoa dengan menyebutkan amalan shalihnya masing-masing agar dibukakan pintu gua tersebut dari batu yang menutupinya. Akhirnya Allah mengabulkan doa mereka, dan mereka dapat keluar dari gua tersebut

Demikianlah uraian ringkas tentang tawassul yang disyari’atkan dan peringatan terhadap bentuk-bentuk tawassul yang dapat menjerumuskan kita dalam kesyirikan. Semoga Allah senantiasa menjauhkan kita dari segala macam kesyirikan sehingga akan selamatlah amalan-amalan kita.


Aamiin.

Wallahu a’lam

Tidak ada komentar