Jemaat Islam Nusantara dan Neo Liberalisasi
Belum lama ini KH A Mustofa Bisri menyampaikan makalahnya di acara
Diskusi Panel bertema “Indonesia’s Role in Addressing Global Islamist
Extremism” yang diadakan oleh Jakarta Foreign Correspondents Club
(JFCC) di Jakarta, Kamis (28/05/2015), menyatakan bahwa Indonesia dapat
memainkan peran penting dalam upaya menciptakan perdamaian dunia dengan
menawarkan nilai-nilai “Islam Nusantara” sebagai model untuk umat Islam
di seluruh dunia.
“Pemerintah perlu juga kokohnya sistem nilai Islam Nusantara, mengingat mayoritas warganya beragama Islam dan wajib dijaga dari ancaman propaganda ekstremisme,” jelasnya. [Rais Aam PBNU: Islam Nusantara, Solusi Peradaban Dunia, www.nu.or.id, 30/05/2015]
Pernyataan dan kenyataan di atas mengisyaratkan bahwa “Islam Nusantara” yang merupakan kelanjutan dari ‘pribumisasi Islam’ – sedang dan akan terus bergulir layaknya bola salju yang terus menerus menggelinding, yang mana semakin lama semakin besar ukurannya yang berakibat semakin membahayakan agama dan umat Islam.
“Pemerintah perlu juga kokohnya sistem nilai Islam Nusantara, mengingat mayoritas warganya beragama Islam dan wajib dijaga dari ancaman propaganda ekstremisme,” jelasnya. [Rais Aam PBNU: Islam Nusantara, Solusi Peradaban Dunia, www.nu.or.id, 30/05/2015]
Pernyataan dan kenyataan di atas mengisyaratkan bahwa “Islam Nusantara” yang merupakan kelanjutan dari ‘pribumisasi Islam’ – sedang dan akan terus bergulir layaknya bola salju yang terus menerus menggelinding, yang mana semakin lama semakin besar ukurannya yang berakibat semakin membahayakan agama dan umat Islam.
JIN dan Neo Liberalisasi Agama
“Islam Nusantara” atau JIN, menurut penulis adalah gerakan Neo-liberalisasi agama. Penyebutan JIN ini meminjam istilah yang dipakai pendiri Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab saat ceramah dalam tabligh akbar menyambut bulan suci Ramadhan bertema “Bahaya Liberal”, Selasa, 2 Juni 2015 di Masjid Raya Al-Ittihaad Jalan Tebet Mas Indah 1, Jakarta Selatan. Kala itu ia mengatakan, “Untuk itu, Jemaat Islam Nusantara ini saya kasih julukan JIN.”
Sedang yang dimaksud Neo-liberalisasi agama di sini adalah gerakan baru dengan metode baru pengikut paham Islam liberal dan para simpatisannya di Indonesia dalam upaya untuk lebih mengefektifkan dan mengintensifkan proyek mereka yaitu liberalisasi ajaran Islam dan meliberalkan umat Islam Indonesia.
Gerakan baru ini diciptakan dan digunakan setelah mereka menemui kenyataan di lapangan proyek mereka menemui halangan dan tantangan berupa perlawanan dari para pejuang Islam yang secara ikhlas melawan gerakan, pemikiran dan paham sekular dan liberal yang sangat gencar, tepat sasaran, cerdas dan efektif.
Gerakan yang lama adalah “akal menundukkan sumber ajaran Islam”. Dengan meminjam metodologi dari para filsuf, kaum Mu’tazilah dan Ahlu Kalam, kelompok ini mempunyai dan menyebarkan ajaran dan keyakinan bahwa akal adalah segalanya.
Menurut mereka, jika sumber ajaran Islam tidak masuk akal atau bertentangan dengan akal, maka tidak dipergunakan atau dita’wilkan menurut kemauan akal mereka dengan bertumpu pada debat dan logika, atau teks-teks sumber ajaran Islam dipotong-potong untuk memuaskan sikap pragmatis mereka.
Sedangkan gerakan yang baru adalah “kearifan lokal (wisdom local) menundukkan sumber ajaran Islam.
Tentang bentuk-bentuk kearifan lokal, Sartini, dosen Filsafat Kebudayaan Fakultas Filsafat UGM dalam makalahnya “Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati” pada halaman 2 menjelaskannya dengan mengutip pendapat Prof. Nyoman Sirtha. Dalam artikelnya berjudul “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dalam http://www.balipos.co.id, Sirtha menyebutkan bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus.
Ungkapan Jawa othak athik mathuk atau gathuk (diotak-atik agar sesuai) pas untuk menggambarkan keduanya, dimana ajaran Islam diotak-atik oleh otak (baca: hawa nafsu) agar sesuai dan untuk disesuaikan dengan akal dan kearifan lokal (baca: keinginan hawa nafsu).
Deklarasi Agama “Islam Nusantara”
SALAH satu “pengamalan” dan “syi’ar” dari agama “Islam Nusantara” yang paling fenomenal adalah pembacaan Al-Qur’an dengan langgam Jawa pada pada acara Peringatan Isra’ Mi’raj di Istana Negara baru-baru ini dan dilanjutkan pada acara “Ngaji Qur’an Langgam Jawa & Pribumisasi Islam” yang digelar oleh Majlis Sholawat GUSDURian di Pendopo Hijau Yayasan LKiS di Sorowajan (Rabu, 27/05/2015).
Agama baru kelompok “Jemaaat Islam Nusantara” atau JIN adalah hasil dari pemikiran dan gerakan liberalisasi agama dan sekularisasi di Indonesia. Maka pasti “Jemaat Islam Nusantara” atau JIN diciptakan dan disebarluaskan dengan tujuan untuk meliberalisasi ajaran Islam dan meliberalkan umat Islam Indonesia. (Baca Satu Agama Islam Harga Mati)
Seorang wakil dari “Muslim” liberal bernama Rony Subayus dalam artikelnya berjudul “Merayakan Pluralisme Islam” yang dimuat di website resmi Jaringan Islam Liberal membenarkan (pernyataan penulis di atas) dengan menulis:
“Meminjam sudut pandang Hermeneutika Gadamerian, Islam adalah sebuah ”teks” yang terbuka untuk selalu direproduksi sesuai horison pembaca. Umat Islam Indonesia dengan warna-warni budayanya berada pada posisi sebagai pembaca ”teks Islam” sehingga memiliki otoritas penuh untuk menerjemahkan Islam secara berlainan dengan Islam masa awal atau corak Islam di kawasan dunia manapun. Umat Islam Indonesia berhak mereproduksi Islam dalam semangat keindonesiaan.”(http://islamlib.com/?site=1&aid=430&cat=content&title=kolom)
Menurut hemat penulis, pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an dengan langgam Jawa di kedua acara tersebut adalah deklarasi dari agama “Jemaat Islam Nusantara” atau JIN.
Selain deklarasi, aksi nyeleneh tersebut adalah starting point, awal dan pemanasan dari aksi-aksi yang lebih nyleneh dan berbahaya yang bisa saja akan dilakukan pada masa-masa mendatang.
Sinkretisme Agama
Bola salju agama “Jemaat Islam Nusantara” alias JIN bukan sekadar membuat umat Islam semakin liberal dalam beragama, tapi lebih dari itu. Agama baru “Jemaat Islam Nusantara” merupakan sinkretisme antara Islam dengan ajaran “Islam” liberal, dengan kearifan lokal dan (akan bisa pula) dengan agama-agama impor yang dianggap lebih sesuai untuk Nusantara, dengan kata lain yang lebih sesuai dengan kearifan lokal.
Semakin liberalnya umat Islam Indonesia dalam beragama di masa-masa mendatang bisa berupa pemakaian kemben (kain batik yang dililitkan badan perempuan Jawa untuk penutup badan tapi kelihatan dada dan lengan) oleh para Muslimah Jawa – dalam berbagai kesempatan, bahkan ketika menjalankan shalat -. Bisa berupa penerbitan dan pendistibusian Al-Qur’an berbahasa Jawa bahkan Sansekerta (bukan Al-Qur’an dengan terjemah dalam bahasa-bahasa tersebut). Bisa berupa meluasnya penerimaan dan pelaksanaan oleh umat Islam akan shalat dengan menggunakan bahasa-bahasa lokal.
Sinkretisme agama Islam dengan “Islam” Liberal, kearifan lokal dan agama-agama tersebut di atas bisa menyentuh segi aqidah, syari’ah dan ibadah dalam Islam. Sinkrestisme ajaran Islam dengan “Islam” Liberal telah terjadi. Sehingga agama “Islam Nusantara” mengajarkan tawassuth (moderat), tasaamuh (toleran), tawaazun (berimbang/obyektif) dan i’tidal (adil) – dalam perspektif “Islam” liberal.
Sinkretisme dengan kearifan lokal juga sudah terjadi berupa pembacaan Al-Qur’an dengan langgam Jawa. Sinkretisme dengan kearifan lokal yang lebih berbahaya dari pembacaan Al-Qur’an dengan langgam Jawa adalah berupa pemakaian kemben oleh para Muslimah Jawa, Al-Qur’an dan shalat dengan bahasa-bahasa lokal yang bisa saja terjadi di kemudian hari.
Di masa-masa yang akan datang bisa saja akan muncul aksi-aksi yang lebih berbahaya. Dengan alasan pribumisasi Islam, bisa saja kela ada patung Nabi Muhammad Shallallahu “alaihi Wassallam, pemujaan terhadap patungnya dan pemasangan patungnya di masjid-masjid dan rumah-rumah kaum Muslim di Indonesia, dan didirikannya shalat dengan menghadap ke patungnya sebagai hasil dari sinkretisme agama Islam dengan agama-agama yang dianggap lebih melokal dan mempribumi.
Memadamkan Api
Meminjam pernyataan Muhammad Natsir, jika mau memadamkan api, maka padamkanlah api sewaktu kecil. Jangan nunggu api semakin membesar, maka melihat betapa bahayanya agama baru hasil dari sinkretisme agama tersebut maka wajib bagi umat Islam Indonesia memadamkannya sedini mungkin dengan segala cara – yang dibenarkan agama dan negara – termasuk melakukan gugatan massal atas kaum munafiq kontemporer ke pengadilan dengan delik penistaan agama Islam.
Pemadaman ini penting untuk dilakukan agar agama sinkretisme baru tersebut mati sebelum berkembang, agar tidak berkembang seperti berkembangnya agama Kristen yang merupakan agama sinkritisme, yang mengasimilasi konsep Judaistis, Hellenistis dan Gnostik, sebagaimana digambarkan Gunkel, Harnadc dan Bultmann yang disebutkan dalam “Sinkretisme Dalam Pandangan Alkitab” (Jurnal Pelita Zaman, Volume 1 No. 1 Tahun 1986, http://alkitab.sabda.org/resource.php?res=jpz). Wallahu a’alam bish showab.
-----------------------------------
Oleh: Abdullah al-Mustofa
Penulis adalah anggota Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Kediri Jatim
Post a Comment