Malu itu Sebagian dari Iman
Rasulullah SAW bersabda: “Malu itu sebagian dari iman.” (HR. Muslim)
Malu yang yang biasanya terekspresi pada wajah manusia merupakan gambaran tentang malu yang ada dalam hati manusia, yaitu malu karena sesuatu dari Allah Ta’ala.
Sehingga malu terekspresi dari Malu Wajah dan Malu Qalbu, merupakan bagian dari iman kepada Allah Ta’ala, dimana kaum ‘arifin menjadikannya sebagai orientasi atas kelemahan dan cacat rahasia hatinya di hadapan Allah Ta’ala.
Malu yang yang biasanya terekspresi pada wajah manusia merupakan gambaran tentang malu yang ada dalam hati manusia, yaitu malu karena sesuatu dari Allah Ta’ala.
Sehingga malu terekspresi dari Malu Wajah dan Malu Qalbu, merupakan bagian dari iman kepada Allah Ta’ala, dimana kaum ‘arifin menjadikannya sebagai orientasi atas kelemahan dan cacat rahasia hatinya di hadapan Allah Ta’ala.
Karena itulah qalbu kaum ‘arifin merupakan perbendaharaan Allah Ta’ala di muka bumi, di dalam qalbu itu ada titipan rahasiaNya, kelembutan hikmahNya, kelembutan cintaNya, cahaya-cahaya ilmuNya dan amanah kema’rifatanNya.
Wacana kaum ‘arifin senantiasa muncul dari musyahadah qalbunya, aksentuasi dari pengetahuan rahasia, dan penjelasan mengenai amaliyah batin, berupa penjelasan mengenai pemisahan perkara dengan wushul, penjelasan faktor-faktor yang menganggu hubungan dengan Allah Ta’la, dan faktor-faktor yang yang mendorong menuju Allah Ta’ala.
Faktor pendorong pada kepentingan makhluk (selain Allah) adalah: Dunia, Nafsu dan Makhluk itu sendiri.
Sedangkan faktor yang mendorong kita menuju Allah Ta’ala adalah: Akal, Yaqin, dan Ma’rifat, sebagaimana disebutkan dalam hadits: “Siapa yang mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhannya. “ Yakni siapa yang mengenal apa yang mesti dilakukan untuk dirinya, ia mengenal apa yang harus dilaksanakan untuk Tuhannya.
Ungkapan para ‘arifin, berkisar pada lima arah :
1. Bihi (bersama Allah)
2. Lahu (bagi Allah)
3. Minhu (dari Allah)
4. Ilaihi (menuju Allah)
5. ‘Alaihi (bersandar pada Allah).
Dalam ucapan mereka tidak ada kata seperti: Aku, sesungguhnya diriku, kami, bagiku dan denganku. Karena kata-kata mereka bersifat manunggal (fardaniyah), Geraknya adalah serba bergantung padaNya (Shomadaniyah), Akhlaq mereka senantiasa merupakan manifestasi Robbaniyah (Robbaniyah), Kehendak mereka adalah kemanunggalan (Wahdaniyyah), Isyarat mereka tidak akan dikenal kecuali oleh orang yang hatinya membara kepadaNya, yang didalamnya ada rahasia-rahasia tersembunyi, mutiara-mutiara suci, pancaran-pancaran cahaya, lautan kasih, kunci-kunci keghaiban rahasia, wadah kerinduan dan taman kemesraan
Yahya bin Mu’adz, r.a, mengatakan: “Hati itu seperti periuk, wadah ciduknya adalah lisan. Setiap lisan senantiasa menciduk apa yang ada di periuk hatinya.”
Abu Bakr al-Wasithy, r.a, ditanya tentang pendapatnya seputar ucapan ahli ma’rifat. Ia menjawab, “Gambaran tentang ma’rifat sepetri cahaya dalam lampu dan lampu itu digantung di dalam rumah, sepanjang lampu itu ada dalam rumah, sepanjang itu pula terang. Ketika pintu rumah dibuka, maka cahaya lampu itu akan menerangi halaman.”
Kalam kaum ‘arifin senantiasa memancarkan cahaya kepada ahli cahaya, hingga air mata mereka meleleh, dan lisannya berdzikir.
﴿ وَإِذَا سَمِعُواْ مَآ أُنزِلَ
إِلَى ٱلرَّسُولِ تَرَىٰٓ أَعۡيُنَهُمۡ تَفِيضُ مِنَ ٱلدَّمۡعِ مِمَّا عَرَفُواْ مِنَ
ٱلۡحَقِّۖ يَقُولُونَ رَبَّنَآ ءَامَنَّا فَٱكۡتُبۡنَا مَعَ ٱلشَّٰهِدِينَ ٨٣ ﴾ [المائدة: 83]
"Dan
apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu
Lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Quran) yang
telah mereka ketahui (dari Kitab-Kitab mereka sendiri); seraya berkata:
"Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang
yang menjadi saksi (atas kebenaran Al-Qur'an dan kenabian Muhammad)". (QS al-Maaidah: 83).
Metafor jiwa kaum arif seperti rumah, hatinya seperti lampu, minyaknya adalah rasa yaqin, airnya dari kejujuran hati, pintalannya dari ikhlas, kacanya dari kebeningan dan kerelaan hati, dan gantungannya dari akal.Khauf itu adalah api dalam cahaya. Sedangkan Raja’ (harapan) adalah cahaya dalam api. Ma’rifat seperti cahaya dalam cahaya.
Lampu itu digantung di pintu lobang, jika seorang arif membuka mulutnya, akan muncul hikmah dari dalam hatinya, mengalirlah cahaya hati lewat mulutnya, lalu cahaya itu membias kepada mereka yang siap disemai cahaya, lalu cahaya saling bergantungan dengan cahaya.
Ada sebagian ucapan lebih dahsyat dibanding cahaya matahari, dan sebagian lebih gulita dibanding gelapnya malam. Kalam ahli ma’rifat senantiasa adalah perbendaharaan Tuhan Yang Maha Suci, dimana sumber-sumbernya adalah qalbu kaum ‘arifin, dimana Allah memerintahkan agar menginfaqkan cahaya itu kepada yang lain yang berhak menerimanya, dalam firmanNya: “Ajaklah mereka ke Jalan Tuhanmu dan dengan hikmah dan nasehat yang bagus berilah argumentasi dengan argument yang lebih bagus. Sesungguhnya Tuhanmu Dia lebih Tahu pada orang yang tersesat dari jalannya, dan ia Maha Tahu pada orang yang diberi hidayah.”
Sebagian ‘arifin ditanya, “Manakah cahaya yang lebih hebat ketimbang matahari?” “Ma’rifat,” jawabnya.
“Apa yang lebih berguna dibanding air?” “Ucapan ahli ma’rifat,” katanya.
“Apa yang lebih harum aromanya ketimbah minyak kesturi?” “Waktunya orang ‘arif.”
“Apa pekerjaan orang ‘arifin?” “Memandang pekerjaan Rububiyah dan panji-panji kelembutan qudrah,” jawabnya.
Hasrat Orang-Orang shaleh
Abu Sa’id al-Balkhi ra, ditanya: “Kenapa ucapan orang pendahulu (salaf) lebih utama dibanding orang akhir (khalaf)?”
“Karena kehendak mereka adalah memuliakan Islam, menyelamatkan jiwa, kasih sayang pada sesama saudara dan ridlo kepada Ar-Rahman…” jawabnya.
“Sedangkan kehendak kita adalah memanjakan hawa nafsu, mencari pujian orang dan mencari kenikmatan dunia,” tambahnya lagi.
Seorang hamba manakala taat pada Tuhannya Allah memberinya rejeki seteguk air dari sumber ma’rifat, lalu ia mengucapkan dengan lisannya. Namun jika ia meninggalkan taatnya, ia tidak akan merusak taat itu, namun tetap tersimpan di hatinya, dan tidak mengucapkannya dengan lisannya, agar ia tetap dalam sesalnya dan menjadi cobaan dengan berbagai ujian.
Tiada dua orang beriman yang bertemu, yang keduanya berdzikir kepada Allah, melainkan Allah menambah cahaya ma’rifatullah pada kedua hatinya, sebelum keduanya berpisah
Sesungguhnya Allah memunculkan ahli ma’rifat di atas puncak gelombang lautan intuisi qalbu dan memuliakan mereka di atas perbendaharaan rahasia serta rahasia pengetahuan yang tak terhingga jumlahnya, tidak pernah putus uraiannya, tidak pernah ditemukan ujung dalamnya, tidak sirna keajaibannya, hingga mereka menyelami cahaya ma’rifat, dalam kedalaman isyarat yang terpendam, dalam makna-maknanya yang tersembunyi, hingga keluar dengan keajaiban satriguna dan kelembutan bekal-bekal melimpahnya, hakikat-hakikat dan isyaratnya, yang membakar qalbu para pecinta, memesrakan ruh para penempuh.
Itulah cahaya dari cahaya hidayah, dimana seorang hamba meraih petunjuk dari kebajikan ri’ayah (penjagaan jiwa) jika meraih Taufiq dan ‘inayah.
Yahya bin Mu’adz ra berkata, “Aku bertemu kaum arifun yang dilmpahi hikmah, aku temukan mayoritas mereka tidak memiliki apa-apa, malah mereka dibiayai yang lain.”
Laits al-Mishry, r.a, punya saudara yang ada di Iskandariyah, ketika ia datang, saudaranya menjawab, “Aku sedang menghadap Allah.”
“Mana faedah dari peng-hadapanmu pada Tuhanmu?” Saudaranya diam.
Lalu Laits mengatakan, “Sang hamba jika menghadap pada Allah dengan keselarasan yang benar, Allah memberikan faedah-faedah yang tak pernah terlintas di hati manusia.”
Yahya bin Mu’adz , manakala bicara suatu hari, tiba-tiba ada orang yang berteriak keras di majelisnya, sembari merobek-robek bajunya.
“Hai! Apa yang kamu katakan?!”
“Kalam ahli ma’rifat, ketika muncul dari sumber rahasia kemanunggalan, ia menggali hati orang yang dibakar rindu dan cinta dengan apinya, lantas sifat-sifat manusiawi sirna.
Karena itu kalimat orang yang bertaqwa itu posisinya mendekati wahyu. Suatu ketika ada kata-kata terucap dari mereka, lalu ditanya, “Apa yang membuatmu bicara seperti ini?”
“Hatiku mengatakan demikian, bermula dari fikiranku, dari rahasia jiwaku, dari Tuhanku…” katanya.
Sandaran hikmah adalah wujudnya hikmah, yaitu barang berharga yang hilang dari penempuh, ketika ditemukan ia ambil. Ia tak peduli darimana pun wadahnya, dari mana pun diucapkannya, dari hati mana dinukil atau dari dinding mana terukir atau dari kafir mana di dengar. Nilai Hikmah (bukan ilmu hikmah, pent.)
Dalam sebuah hadits disebutkan, “Siapa yang ingin ilmu oleh Allah tanpa belajar, mendapatkan petunjuk tanpa hidayah, maka zuhudlah dari dunia.”
Setiap hikmah ada ahli dan zamannya, dan zaman itu telah berlalu dengan sejumlah besar ahlinya, sedangkan yang tersisa kini hanyalah musibah. Maka kami kepada Allah, dan kami kepadaNya kembali.
Carilah lampu-lampu kalam kaum ‘arifun sebelum mereka wafat, suatu nikmat yang kalian rasakan kemuliaannya, keutamaannya yang paripurna, dan Luqman dipilih oleh Allah dengan hikmah, karena kemuliaan hikmahnya. Hikmah itu shiddiqun, kebanggan muttaqun, firadus para ‘arifun, warisan para nabi dan Mursalun.
Burulah sebelum sirna. Dian-dian cahaya manusia di setiap bumi, Merekalah Ulama generasi mulia. Ilmunya memancarkan cahaya di setiap lembah Bagai purnama yang membias tanpa awan (Syeikh Ahmad ar-Rifa’y)
Post a Comment