Bertentangan Tidak Demokrasi Itu Dengan Agama?
Bertentangan nggak kalau Demokrasi itu dengan Agama al-Islam, mari kita lihat pembahasan oleh Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisiy
Demokrasi Adalah Agama
Oleh : Syaikh Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisiy
Penerjemah : Abu Sulaiman
Penerjemah : Abu Sulaiman
Pengantar Penerjemah
Segala puji hanya milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasul-Nya yang mulia, para keluarganya dan sahabatnya serta orang-orang yang berada di atas jalannya hingga hari kiamat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam kitab An Nubuwwat,hal 127: “Islam adalah berserah diri kepada Allah saja, tidak kepada yang lainnya, beribadah hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, tawakkal hanya kepada-Nya saja, hanya takut dan mengharap kepada-Nya, dan mencintai Allah dengan kecintaan yang sempurna, tidak mencintai makhluk seperti kecintaan kepada Allah. Siapa yang enggan beribadah kepada-Nya maka dia bukan muslim dan siapa yang di samping beribadah kepada Allah dia beribadah kepada yang lain maka dia bukan orang muslim”.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam kitabnya Thariqul Hijratain, hal 542 dalam Thabaqah yang ke tujuh belas:
“Islam adalah mentauhidkan Allah, beribadah kepada-Nya saja tidak ada sekutu bagi-Nya, iman kepada Allah dan kepada Rasul-Nya, serta mengikuti apa yang dibawanya, maka bila seorang hamba tidak membawa ini berarti dia bukan orang muslim, bila dia bukan orang kafir mu’aanid maka dia adalah orang kafir yang jahil, dan status orang-orang ini adalah sebagai orang-orang kafir yang jahil tidak mu’aanid (membangkang), dan ketidakmembangkangan mereka itu tidak mengeluarkan mereka dari status sebagai orang-orang kafir.”
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam Ad Durar As Saniyyah, 1/113: “Bila amalan kamu seluruhnya adalah bagi Allah maka kamu muwahhid, dan bila ada sebagian yang dipalingkan kepada makhluk maka kamu adalah musyrik”.
Beliau rahimahullah juga berkata dalam Ad Durar, 1/323 dan Minhaj At Ta’siis, hal 61: “Sekedar mengucapkan kalimat syahadat tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan tuntutannya maka itu tidak membuat mukallaf tersebut menjadi muslim, dan justeru itu menjadi hujjah atas dia. Siapa yang bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan dia itu beribadah kepada yang selain Allah (pula) maka kesaksiannya itu tidak dianggap meskipun dia itu shalat, zakat, shaum dan melaksanakan sebagian ajaran Islam.”
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah berkata dalam Al Qaul Al Fashl An Nafiis, hal 31: “Sesungguhnya syirik itu menafikan Islam, menghancurkannya, dan mengurai tali-talinya satu demi satu, ini berdasarkan apa yang telah dijelaskan bahwa Islam itu adalah penyerahan wajah, hati, lisan dan seluruh anggota badan hanya kepada Allah tidak kepada yang lainnya, orang muslim itu bukanlah orang yang taqlid kepada nenek moyangnya, guru-gurunya yang bodoh dan berjalan di belakang mereka tanpa petunjuk dan tanpa bashirah”.
Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam Taisiir Al ‘Aziz Al Hamid, hal 58: “Siapa yang mengucapkan kalimat ini (Laa ilaaha illallaah) dengan mengetahui maknanya, mengamalkan tuntutannya berupa menafikan syirik dan menetapkan wahdaniyyah hanya bagi Allah dengan disertai keyakinan yang pasti akan kandungan maknanya dan mengamalkannya, maka dia itu adalah orang muslim yang sebenarnya. Bila dia mengamalkannya secara dhahir tanpa meyakininya maka dia munafiq, dan bila dia mengamalkan apa yang menyalahinya berupa syirik, maka dia itu kafir meskipun mengucapkannya (Laa ilaaha illallaah)”.
Beliau mengatakan juga dalam kitab yang sama: “Sesungguhnya mengucapkan Laa ilaaha illallaah tanpa disertai pengetahuan akan maknanya dan tidak mengamalkan tuntutannya berupa iltizaam dengan tauhid dan meninggalkan syirik serta kufur kepada thaghut maka sesungguhnya pengucapan itu tidak bermanfaat dengan ijma para ulama.”
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atieq rahimahullah berkata dalam kitab Ibthalit Tandiid, hal 76: “Para ulama telah ijma bahwa sesungguhnya memalingkan satu dari dua macam doa kepada selain Allah, maka dia itu adalah musyrik meskipun dia mengucapkan Laa ilaaha illallaah Muhammadun Rasulullah, dia shalat, shaum dan dia mengaku muslim”.
Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan rahimahullah mengatakan dalam kitabnya Mishbahudh Dhalaam,hal 37: “Siapa yang beribadah kepada selain Allah, dan menjadikan tandingan bagi Tuhan-nya, serta menyamakan antara Dia dengan yang lainnya, maka dia itu adalah musyrik yang sesat bukan muslim meskipun dia memakmurkan lembaga-lembaga pendidikan, mengangkat para qadli, membangun mesjid, dan adzan, karena dia tidak berkomitmen dengan (tauhid)nya, sedangkan mengeluarkan harta yang banyak serta berlomba-lomba dalam menampakkan syi’ar-syi’ar amalan, maka itu tidak menyebabkan dia memiliki predikat sebagai muslim, bila dia meninggalkan hakikat Islam itu (tauhid)”.
Dan beliau berkata lagi hal 328: “Islam adalah berkomitmen dengan tauhid berlepas diri dari syirik, bersaksi terhadap kerasulan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan mendatangkan empat rukun Islam yang lainnya”.
Inilah sebagian perkataan ulama tentang Islam dan syirik. Sebelumnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengisyaratkan dua macam syirik yang akan melanda umat ini secara besar-besaran yaitu syirik ibadatil autsaan (syirkul qubuur/syirik kuburan) dan syirkulluhuuq bil musyrikiin (syirkul qushuur wad dustuur/syirik aturan). Kedua macam syirik ini telah merambah di tengah-tengah umat. Syirik yang pertama adalah syirik mutadayyiniin (syirik orang-orang yang masih rajin beribadah), ini bisa dilihat saat berjubelnya mereka di tempat-tempat dan kuburan-kuburan keramat. Sedangkan syirik yang ke dua adalah syirik ‘ilmaaniyyiin (orang-orang sekuler) dan Islamiyyin (orang-orang yang mengaku dari jama’ah-jama’ah dakwah Islamiyyah yang dengan dalih Mashlahat Dakwah, mereka masuk atau menggunakan sistem syirik yang ada).
Di antara kemusyrikan yang nyata lagi terang, yang sudah merambah dan mengakar adalah demokrasi, di mana intinya adalah yang berhak menentukan hukum dan perundang-undangan itu adalah rakyat atau mayoritas mereka yang menjadi wakilnya, sedangkan di dalam Islam di antara hak khusus Allah adalah hukum dan tasyri’ yang bila dipalingkan kepada selain-Nya maka itu adalah syirik.
Silahkan telaahlah buku ini mudah-mudahan syubhat yang masih ada di benak anda bisa hilang dengan adanya penjelasan dan bayaan, akan tetapi bila ini tidak bisa memuaskan dan anda malah terus mempertahankannya, maka yang bisa memuaskan anda adalah ‘adzaabunniiraan...
Wallaahul musta’aan.
Penerjemah : Abu Sulaiman
بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده و نستعينه و نستغفره و نعوذ بالله من شرور أنفسنا و من سيئات أعمالنا من يهد الله فهو المهتد و من يضلل فلن تجد له وليا ورشدا .. وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له هو حسبنا ونعم الوكيل….و أشهد أن محمدا عبده ورسوله هو قائدنا و أسوتنا صلى الله و سلم عليه وعلى آله و أصحابه و أتباعه إلى يوم الدين…وبعد:
Ini adalah lembaran-lembaran yang telah saya tulis dengan singkat sebelum menjelang tibanya masa pemilihan para anggota parlemen (majlis/dewan perwakilan rakyat) yang syirik itu. Parlemen (dewan/majlis) itu ada setelah manusia terfitnah (terpedaya) dengan fitnah demokrasi dan adanya pembelaan secara mati-matian yang dilakukan oleh para pengusungnya dari kalangan thaghut-thaghut -yang mana mereka itu sudah lepas dari ikatan Islam-, atau bahkan dibela oleh sebagian kalangan yang katanya ahli agama dan sebagai juru dakwah[1]. Mereka kaburkan kebatilan dengan kebenaran, terkadang mereka menamakan demokrasi ini sebagai kebebasan, terkadang juga mereka menamakannya sebagai syuraa (musyawarah),[2] terkadang mereka berdalih dengan jabatan Nabi Yusuf ‘alaihissalamdi sisi rajanya, terkadang mereka berdalih juga dengan kekuasaan Najasyi, dan terkadang berdalih dengan dalih mashlahat[3] dan istihsan (anggapan baik). Dengan dalih-dalih itu mereka mengaburkan kebenaran dengan kebatilan di hadapan orang-orang bodoh (awam), dan mencampuradukkan cahaya dengan kegelapan, syirik dengan tauhid dan Islam.[4]
Syubhat-syubhat itu dengan taufiq Allah telah kami bantah, dan kami juga telah menjelaskan bahwa demokrasi itu adalah agama baru di luar agama Allah dan ajaran yang berseberangan dengan tauhid, dan kami juga telah menegaskan bahwa majlis-majlis perwakilannya itu tidak lain kecuali adalah lembaga kemusyrikan dan sarang paganisme yang wajib dijauhi demi merealisasikan tauhid yang merupakan kewajiban hamba terhadap Allah, bahkan wajib berusaha untuk menghancurkan (sarang dan lembaga kemusyrikan) itu, memusuhi orang-orangnya, membenci, dan memeranginya. Semua bukanlah masalah ijtihadiyyah sebagaimana yang sering didengungkan oleh sebagian orang yang suka mengaburkan kebenaran,[5] akan tetapi ini adalah kemusyrikan yang jelas lagi terang dan kekafiran yang nampak lagi tidak diragukan yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala hati-hatikan darinya di dalam Al Qur’an, dan telah diperangi oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam selama hidupnya.
Wahai muwahhid, berusahalah engkau untuk menjadi bagian dari para pengikut Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para penolong (agama)nya yang selalu memerangi kemusyrikan dan para pemeluknya. Bersegeralah engkau pada saat keterasingan ini untuk bergabung dengan rombongan kelompok yang selalu menegakkan dienullah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang kelompok itu:
(لا تزال طائفةٌ من أُمتي قائمةً بأمر الله لا يضرهم من خذلهم ولا من خالفهم حتى يأتي أمر الله)
“Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku ini yang menegakkan perintah Allah, orang-orang yang mengucilkan dan menyelisihi mereka tidak membuat mereka gentar hingga datang ketentuan Allah”.
Semoga Allah menjadikan saya dan engkau termasuk kolompok itu. Segala puji di awal dan di akhir adalah hanya milik Allah.
Catatan Kaki
---------------
[1] Seperti yang dilakukan oleh sebagian tokoh Ikhwanul Muslimin pada masa sekarang dan partai-partai yang menisbatkan diri kepada Islam, sedangkan Islam itu sendiri berlepas diri dari mereka dan perbuatannya.pent
[2] Sebagian ulama kaum musyrikin itu sengaja mendalili majlis syirik demokrasi itu dengan ayat-ayat dan atsar-atsar yang menganjurkan syuraa, layaknya Dawud Ibnu Jirjis yang mendalili perbuatan syirik kubur dengan ayat-ayat tentang perintah mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan perantaraan amal shalih, tak jauh berbeda antara ulama kaum musyrikin itu dengan Dawud Ibnu Jirjis yang sudah divonis kafir mulhid murtad oleh Aimmatuddakwah Tauhid, hanya saja yang menjadi perbedaannya adalah bahwa Dawud Ibnu Jirjis mendalili syirkul qubur (syirik kuburan) sedangkan mereka mendalili syirkul qushur wad dustuur (syirik dewan dan aturan).pent
[3] Mashlahat pada masa kini telah menjadi thaghut yang disembah oleh sebagian kelompok yang katanya ingin memperjuangkan penegakan hukum Islam dengan dalih mashlahat, maka mereka ikut berkecimpung secara aktif dan melebur dalam dunia syirik demokrasi dan parlemen, qaatalahumullah illaa an yahtaduu.Pent.
[4] Shalat, shaum, zakat, haji, qiyamullail, tilawatul qur’an dan amalan ibadah lainnya bila dilakukan oleh orang yang jatuh kedalam satu macam syirik akbar, maka itu semua tidak ada artinya.
• Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhabrahimahullah berkata dalam Ad Durar As Saniyyah, 1/113: “Bila amalan kamu seluruhnya hanya bagi Allah maka kamu adalah muwahhid, dan bila ada sesuatu dari amalan itu dipalingkan kepada makhluk maka kamu adalah orang musyrik”.• Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhabrahimahullah berkata dalam Syarah Ashli Dinil Islam (lihat dalam Majmu’atut Tauhid, atau ‘Aqidatul Muwahhidin, atau Al Jami’ul Fariid, atau dalam Ad Durar,2/131): “Sesungguhnya orang yang melakukan syirik itu, maka berarti dia telah meninggalkan tauhid, karena keduanya adalah dua hal yang saling bertentangan yang tidak bisa bersatu”.
• Syaikh Abdullathif Ibnu Abdurrahman Ibnu Hasanrahimahullah berkata dalam Mishbahudhdhallam,37: “Siapa orangnya menyembah selain Allah, menjadikan tandingan Tuhan-nya, dan menyamakan Allah dengan yang lainnya dalam hak khusus Allah, maka dia itu layak dinamakan orang musyrik yang sesat bukan orang muslim, meskipun dia itu banyak mengelola madrasah (lembaga pendidikan agama), mengangkat para qadli, banyak membangun mesjid, dan mengumandangkan seruan (adzan atau dakwah), karena dia tidak konsisten dengan Islam itu, sedangkan banyaknya berderma harta dan berlomba dalam menampakkan amalan kalau dia itu meninggalkan hakikat Islam itu (tauhid), maka hal itu tidak menjadikan dia berstatus sebagai orang Islam”.
Sedangkan rela, atau ikut bergabung dalam majelis syirik, atau mendukung demokrasi yang intinya penyandaran hukum kepada selain Allah (padahal hukum/tasyri’ itu adalah hak khusus Rububiyyah atau Uluuhiyyah Allah), atau memperindahnya di hadapan manusia, atau menegakkan syubhat untuk membolehkannya, atau bahkan melindunginya, maka itu adalah kekufuran dan kemusyrikan. Pent.
• Syaikh Muhammad rahimahullah berkata dalam suratnya kepada Hamd At Tuwaijiriy (Mishbahudhdhalam, 104): “Dan kami hanya mengkafirkan orang yang menyekutukan Allah dalam uluuhiyyah-Nya setelah jelas bagi dia hujjah akan batilnya syirik, dan begitu juga kami mengkafirkan orang yang memperindah syirik itu di hadapan manusia, atau menegakkan syubhat-syubhat yang batil untuk memperbolehkannya, dan begitu juga (kami mengkafirkan) orang yang menggunakan pedangnya (senjata dan atau kekuatannya) untuk melindungi tempat-tempat kemusyrikan yang di sana Allah disekutukan dan dia memerangi orang yang mengingkarinya dan berusaha untuk menghancurkannya”.
Lihat empat macam orang dalam hal itu: Para pelaku (pemainnya), juru dakwah, tokoh intelektual dan para pelindungnya dari kalangan aparat keamanan (tentara/polisi), barisan, dan laskar yang merupakan tameng para thaghut.Pent.
[5] Dari kalangan ulama suu’ yang mengobok-obok masalah tauhid. Di antara contoh ulama suu’ ini adalah Doktor Yusuf Al Qardlawiy – semoga Allah memberikan hidayah kepadanya – dia telah memfatwakan saat terjadi gempuran pasukan salib dan kaum murtaddin yang bersekongkol dengan mereka terhadap kaum muslimin di Afghanistan dan pemerintahan Islam Thaliban, dia memfatwakan bahwa tentara muslim Amerika !!! boleh bergabung dengan pasukan salib Amerika untuk memerangi kaum muslimin di Afghanistan dengan dalih bahwa loyalitas nasionalisme dan kebangsaan harus didahulukan atas loyalitas agama dan aqidah. Al Qardlawi dengan fatwa ini telah terjatuh dalam dua pembatal keislaman: Pertama dia membolehkan dan menghalalkan sesuatu yang sudah jelas lagi pasti keharamannya (bahkan kekufurannya), yaitu mendukung orang-orang musyrik untuk menindas kaum muslimin. Ke dua dia telah mendahulukan loyalitas nasionalisme dan kebangsaan atas agama dan ‘aqidah Islamiyyah. Di samping itu diapun bersama-sama dengan pasukan salib memikul setiap tetes darah kaum muslimin yang tertumpah di Afghanistan. Inikah ‘aqidah orang yang menjadi rujukan segala hukum di kalangan Islamiyyin yang mengusung parlemen? Lihat Al Hijrah Masaail wa Ahkam 50-51. pent.
Post a Comment