Fitrah Dalam Perspekti Al Quran
Allah menciptakan manusia dalam struktur yang paling baik diantara makhluk yang lain. Struktur manusia terdiri dari jasad dan ruhaniah atau unsur fisiologis dan unsur psikologis.
Dalam struktur jasad dan ruhiyat itu Allah memberikan seperangkat kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan berkembang yang dalam psikologis disebut potensial atau disposisi, yang menurut aliran psikologis behaviorisme disebut prepoten reflexesi (kemampuan dasar yang secara otomatis dapat berkembang).
Dalam pandangan Islam, pada dasarnya manusia itu dilahirkan dalam keadaan suci. Kesucian manusia itu dikenal dengan istilah futrah.
Di dalam al-Quran dan al-Sunnah Rasul, terdapat perspektif tentang fitrah manusia. Tidak ada seorangpun yang menggunakan istilah fitrah selain disebutkan di dalam al-Quran.
A. Pengertian fitrah dalam Perspektif Al Quran.
Kata fitrah disebut dalam al-Quran, s. Ar-Rum/ 30 : 30.
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus ; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.
Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi. (Al-Quran. S. Al-Amam / 6 : 79)
Apabila langit terbelah. (Al-Quran. S. Al-Infitar/ 82 : 1)
Langit (pun) menjadi pecah belah pada hari itu karena Allah. Adalah janji-Nya itu pasti terlaksana. (Al-Quran, s. Al-Muzzammil/ 73:18).
Dalam bahasa Arab, Fitrah (fitrah) dengan segala bentuk derivasinya mempunyai arti belahan (syiqah), muncul (thulu), kejadian (al ibtida), dan penciptaan (khalqun).[1] Sifat pembawaan yang sejak lahir. [2]
Jika dihubungkan dengan manusia maka yang dimaksud dengan fitrah adalah apa yang menjadi kejadian atau bawaan manusia sejak lahir atau keadaan semula jadi[3]. Ditegaskan pula bahwa fitrah mengandung pengertian bahwa Allah menciptakan ciptaan-Nya (makhluk) dan menentukan tabiatnya untuk berbuat sesuatu[4]. Dengan demikian pengertian fitrah secara semantik berhubungan dengan hal penciptaan (bawaan) sesuatu sebagai bagian dari potensi yang dimiliki.
Kata fitrah dengan berbagai bentuk derivasinya disebut 28 kali, 14 kali disebut dalam kontek uraian tentang bumi dan langit, sedang yang lainnya disebut dalam konteks pembicaraan tentang manusia, baik yang berhubungan dengan fitrah penciptaan maupun fitrah keagaman yang dimilikinya.
Lafal fitrah dengan berbagai bentuk derivasinya , banyak disebut dalam al-Quran, misalnya dalam ayat di atas, yang dalam konteks ini berarti al-khalq dan al-ibtida. Al-khalq itu sendiri identik dengan al-bitida (yang memiliki arti menciptakan sesuatu tanpa contoh). Hanya saja yang menyebutkannya dalam bentuk ini (fitrah), yakni yang mengikuti pola filah, hanya satu ayat terdapat dalam al-Quran, s. Ar-Ruum/ 30 : 30 [5].
Lafal fitrah yang berkaitan dengan keadaan manusia dan hubungan keadaan tersebut dengan agama, yakni yang disebutkan dalam al-Quran, s. Ar-Ruum/ 30:30 : Fitrah Allah yang menceritakan manusia menurut fitrah itu, mengandung arti keadaan yang dengan itu manusia diciptakan. Artinya Allah telah menciptakan manusia dengan keadaan tertentu, yang di dalamnya terdapat kekhususan-kekhususan yang ditetapkan Allah dalam dirinya saat dia diciptakan, dan keadaan itulah yang menjadi fitrahnya.
Sistem redaksi ayat 30 surat Ar-ruum, memperlihatkan kejelasan pengertian fitrah bahwa manusia diciptakan dengan membawa fitrah (potensi) keagamaan yang hanif, yang benar, dan tidak bisa menghindar meskipun boleh jadi ia mengabaikan atau tidak mengakuinya. Dengan demikian ayat ini menghubungkan makna fitrah dengan agama Allah (din) yang saling melengkapi diantara keduanya.
Pengertian-pengertian lain dapat didekati dengan memenggal beberapa kalimat kunci pada ayat tersebut. Fa aqim wajhaka liddini hanifan Al-Kurtubi mengartikan bentuk amr dalam ayat tersebut sebagai petintah untuk mengikuti agama yang lurus.
Dengan memperhatikan sistem di atas, maka dapat ditangkap bahwa kalimat amr di atas menggambarkan perintah Allah kepada segenap manusia agar beusaha menghadapkan diri (jiwa-raga) kepada ketentuan-ketentuan Allah yang terangkum dalam istilah agama (din) agar mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan. Peringatan semacam ini juga mengisyaratkan bahwa pada diri manusia telah ada benih-benih (potensi-potensi) kekuatan yang dapat menyampaikannya pada penegakkan ketentuan-ketentuan Allah tersebut dalam hidupnya. Dalam ayat lain Allah menegaskan bahwa dengan keadilan dan prinsip keseimbangan Allah tidak membebankan suatu kepada manusia, melainkan sesuai dengan kekuatan yang ada pada dirinya. Allah tidak membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya. (Q.S,. Al-Baqarah/ 2 : 28).
Peritah menegakkan agama Allah adalah sesuatu yang ada pada daerah kesanggupan manusia, terutama bila dihubungkan dengan persaksian yang telah dijelaskan Allah dalam al-Quran, s. Ar-Ruum/ 30:30.
Menurut at-Thabari kalimat fitratallaha ini merupakan masdhar kalimat fa aqim wajhaka, sebab bermakna bahwa Allah telah menciptakan penjelasan terhadap kalimat sebelumnya serta memberi pengertian tentang apa yang dimaksud al-Diin Haniif.
Berdasarkan kalimat ini dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud al Diin Haniif adalah sifat dasar dan sifat bawaan sebagai dasar penciptaan manusia untuk sampai pada pengenalan dan keyakinan terhadap ke-Esaan Allah. Dengan kata lain kecenderungan terhadap agama tauhid merupakan potensi dasar dari penciptaan manusia. Hal ini selaras dengan penciptaan manusia sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran, s. al-Dzariyat / 51 : ayat 56 :
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
Dengan penjelasan-penjelsan seperti itu, maka jelaslah kiranya bahwa pengenalan dan peng-Esaan Allah adalah potensi dasar yang telah dimiliki manusia yang memungkinnya untuk dapat bersikap dan bertindak sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah. Dengan kata lain manusia dapat menjadi seorang mukmin, muslim dan muhsin sejati karena memiliki potensi untuk itu.
Pengertian itu pun secara lebih rinci ditegaskan dalam al-Quran ,s. alAraf/ 7: 172 :
Dan (ingatlah), ketika Tuhan-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : Bukankah aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab : Betul (Enkau Tuhan kami). Kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari qiamat kamu tidak mengatakan : Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (ke-Esaan Tuhan).
Berdasarkan ayat ini Allah menegaskan bahwa Dia telah bertransaksi (mengadakan perjanjian) dengan manusia agar menjadikan-Nya sebagai llah dan sembahannya, dan inilah sifat dasar penciptaan yang dimiliki manusia sejak lahir atau bahkan sebelum lahir. Tabiat ini merupakan tabiat bawaannya. Berdasarkan ayat ini dapat ditangkap pengertian bahwa tauhidullah telah dimilki manusia secara potensial. Potensi tauhid inilah yang harus diperjuangkan dan dipeliharan manusia pada kehidupan selanjutnya agar mendapat kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena potensi tauhid telah ditanamkan dalam penciptaan manusia, maka tidak ada alasan bagi manusia untuk mengingkari-Nya, seperti dinyatakan pada bagian akhir surat Al-Araf ayat 172 di atas.
Dalam al-Quran ada sebuah surat yang berjudul fathir, artinya pencipta, yaitu Allah. Nama surat tersebut berasal dari kalimat yang mengawali ayat ke 1 Segala puji bagi Allah, pencipta langit dan bumi . Kata-kata fathir al-samawaat wal-ard, sering diterjemahkan sebagai the Originator, berasal dari kata the origin, yang awal sehingga maknanya adalahyang mengawali.
Kata ini terulang lima kali dalam al-Quran, (Q.,s. Yusuf/ 12: 101; Q.,s Ibrahim/ 14 : 10; Q.,s. Fathir/ 35 ; 1 ; Q.,s Al-Syura/ 42 ; 11)[6].
Dalam al-Quran, s. al-Anam / 6: 79 :
Sesungguhnya aku menghadapkan diriku dengan lurus (hanif), kepada Dzat yang menciptakan (fithara) langit dan bumi, dan aku bukanlah orang-orang yang menyekutukan (Tuhan).
Kata fitrah dalam konteks ayat ini (fathara) dikaitkan dengan pengertian hanif, yang jika diterjemahkan secara bebas menjadi cenderung kepada agama yang benar. Istilah ini dipakai al-Quran untuk melukiskan sikap kepercayaan Nabi Ibrahim a.s. yang menolak menyembah berhala, binatang, bulan atau matahari, karena semua itu tidak patut untuk disembah. Yang patut disembah hanyalah Dzat pencipta langit dan bumi. Inilah agama yang benar.[7]
Agama umat manusia yang asli adalah menyembah kepada Allah. Dengan bahasa ilmiah Empiris, kecenderungan asli atau dasar manusia adalah menyembah Tuhan yang satu. Ketika manusia mencari makna hidup, kecnderungan manusia adalah menemukan Tuhan Yang Esa. Mereka mampu menemukan Tuhan, walaupun lingkungannya bisa membelokkan pandangan kepada selain Tuhan ini. Firman Allah Swt, adalah al-Quran , s.Yusuf 12:105. Dan banyak sekali tanda (kekuasaan Allah) di langit dan bumi yang mereka alami, namun mereka selalu berpaling (mengingkari) dari pada-Nya. Tetapi sungguhpun demikian, kecenderungan fitrah manusia adalah kembali kepada Tuhan , sebagai wujud hakiki kecenderungan kepada kebenaran.
Islam yang artinya tunduk , berserah diri dan damai menurut al-Quran adalah agama yang benar bagi manusia, karena sesuai dengan fitrah kejadian manusia. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa pada hakekatnya anak itu dilahirkan kejadian manusia. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa pada hakekatnya anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah (kondisi yang suci):
Tidak ada seorang bayipun dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah (yang suci). Maka orang tuanyalah yang menjadikan anak itu Yahudi. Nasrani atau Majusi.[8]
Pada hakekatnya, hadits tersebut tidak hanya terfokus pada gerakan penyahudian, penasranian, dan majusisasi, tetapi lebih luas lagi yaitu menyangkut seluruh gerakan yang memungkinkan anak membelot dari fitrahnya yang suci.
Dalam al-Bidayah wa al-Nihayah karya Ibnu Al-Atsir yang dinukil oleh Murtadha Muththahhari dalam kitabnya, fitrah dikemukakan bahwa ketika mengemukakan hadits yang berbunyi . Setiap bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah, Ibnu Al-Atsir memberikan komentar sebagai berikut : Al-Fathr berarti menciptakan dan menjadikan (al-ibtida wa al-ikhtiara), dan fitrah merupakan keadaan yang dihasilkan dari penciptaan itu. Yakni, menciptakan sesuatu dalam wujud yang baru sama sekali, yang merupakan kebalikan dari membuat sesuatu dengan mengikuti contoh sebelumnya. Allah adalah Al-Fath. Dia adalah al-Mukhtar (yang menciptakan tanpa contoh), sedangkan manusia adalah al-taqlidi (membuat sesuatu dengan mengikuti contoh). Manusia hanyalah mengikuti, bahkan disaat ia membuat sesuatu yang baru sekalipun. Sebab hasil dari kreasinya pasti mengandung unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya[9].
Manusia mengambil contoh dari alam dan merancang sesuai pola-pola yang ada di alam semesta, lalu dia membuat sesuatu seperti yang ada pada contoh itu. Manusia kadang-kadang membuat sesuatu yang baru , sebab dia memang memiliki kemampuan untuk itu sekalipun begitu, tidak bisa tidak, dia pasti bersandar pada alam dan benda-benda yang ada di dalamnya, dan membuat sesuatu dengan cara menirunya.
Di dalam al-Quran terdapat tiga lapadz yang maknanya berkaitan dengan agama (ad-din) seperti yang terdapat dalam al-Quran, s. Ar-ruum/ 30:30: Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, yaitu (1) al-fithrah, (2) ash-shibghah, dan (3) al-haniif.[10]
Ketiga lapadz tersebut digunakan dengan arti agama (ad-din) atau ihwal beragama (at-tadayyun). Dalam al-Quran, s. al-Baqarah / 2: 138 :
Shibghah (celupan) Allah, dan siapakah yang lebih baik shibghah-nya dari pada shibghah Allah?.
Lafadz shibghah dalam ayat di atas mengikuti pola filah. Di antara derivatnya adalah ash-shabgh, ash-shabbagh, dan ash-shibghah, yang berarti sejenis pencelupan warna (at-talwin). Yang dimaksud dengan shibghah Allah ialah pemberian warna dengan cara pencelupan yang dilakukan oleh Allah. Sedangkan pemberian warna yang pertama kali dilakukan Allah terhadap manusia adalah pemberian warna agama. Ia merupakan warna ketuhanan yang diberikan oleh Allah saat pertama kali manusia diciptakan.
Di dalam al-Quran, s. Ali-Imran/ 3 : 67 :
Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani. Akan tetapi dia adalah seorang yang hanif lagi berserah diri.
Karena itu, al-Quran menegaskan bahwa ajaran yang disampaikan Nabi Nuh as. Adalah agama, dan namanya Islam; ajaran yang dibawa oleh Nabi Ibrahim as. Adalah agama, dan seluruh nabi adalah agama, dan namanya adalah Islam. Adapun nama-nama yang diberikan sesudahnya untuk agama tersebut adalah penyimpangan dari ajaran yang asli dan dari fitrah manusia yang asli. Itu sebabnya al-Quran menjelaskan dalam al-Quran, s. Ali-Imran/3:67 seperti disebutkan di atas.
Al-Quran tidak memaksudkan bahwa Nabi Ibrahim adalah seorang muslim seperti kaum muslim masa Nabi terakhir. Tetapi al-Quran ingin menegaskan bahwa agama Yahudi adalah penyimpangan dari agama Islam yang asli, demikian pula halnya dengan agama Nasrani, dan bahwa jalan yang lurus dan Islam itu hanyalah satu, tidak lebih dari itu. al-Quran bermaksud mengatakan: Tidak ada gunanya ucapan-ucapan dan baptis-baptis. Sebab, apakah mungkin fitrah manusia diubah dari satu warna ke warna lain?
Dengan demikian, yang disebut dengan shibghah adalah shibghah Allah, dan siapakah yang paling baik shibghahnya selain shibghah Allah?. Al-Quran, s.Ali Imran/3:67:
Kata hanif berasal dari kata kerja hanafa, yahnifu dan masdarnya haniifan, artinya condong, atau cenderung dan kata bendanya kecenderungan. Tetapi di dalam al-Quran, yang dimaksud adalah kecenderungan kepada yang benar. Arti yang spesifik dari kata haniif ini diberikan The Holy Quran, karya Hadrat Mirza Nazir Ahmad yang merujuk kepada beberapa sumber; (a) orang yang meninggalkan atau menjauhi kesalahan dan mengarahkan dirinya kepada petunjuk; (b) orang yang secara terus menerus mengikuti kepercayaan yang benar tanpa keinginan untuk berpaling dari padanya; (c) seseorang yang cenderung menata perilakunya secara sempurna menurut Islam dan terus menerus mempertahankannya secara teguh; (d) seseorang yang mengikuti agama Ibrahim; dan (e) yang percaya kepada seluruh Nabi-nabi[11]. Keterangan tersebut ditujukan kepada al-Quran, s. al-Baqarah/2:135:
Dan mereka berkata: Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi dan Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk. Katakanlah: Tidak. Kami mengikuti ajaran Ibrahim yang lurus (hanif). Bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan musyrik.
Kata haniif diterjemahkan dengan lurus. Tetapi kata lurus di situ agaknya memerlukan penjelasan. Hamka, dalam Tafsir al-Azhar-nya berkata : Agama Ibrahim adalah agama yang lurus. Demikian kita artikan kata haniif. Kadang-kadang diartikan orang juga condong, sebab kalimat itupun mengandung arti condong. Maksudnya satu lurus menuju Tuhan atau condong hanya kepada Tuhan. Tidak membelok kepada yang lain. Sebab itu di dalamnya terkandung juga makna tawhid.
Dalam konteks ayat tersebut, lurus maksudnya adalah, pertama tidak mengikuti ajaran Yahudi maupun Nasrani, dan kedua, tidak menganut politeisme atau menyembah berhala yang pada waktu itu berlaku di berbagai kalangan masyarakat, termasuk di antara orang-orang Arab[12].
Misi yang dibawa Raulullah Saw. Adalah menegakkan masyarakat baru berdasarkan kepercayaan tawhid atau pengesaan Tuhan sebagaimana diajarkan oleh Nabi Ibrahim dan nabi-nabi lainnya.
Tujuan yang lebih luas dari seruan kepada tawhid itu tercantum dalam surat al-Bayyinah, khususnya ayat 5, yang dalam hal ini berkaitan dengan hanif.
Dan mereka tidak disuruh selain untuk mengabdi (hanya) kepada Allah (saja), dengan ikhlas dan patuh kepada-Nya, dengan lurus (hanif), dan supaya menegakkan shalat dan membayar zakat (untuk membersihkan harta benda), dan itulah agama yang kuat dasar-dasarnya.
Selain condong kepada Allah, sebagai suatu kecenderungan yang benar, hanif dalam ayat tersebut dikaitkan dengan konsekuensi tindakannya, pertama berdimensi horizontal, yaitu dengan membersihkan pendapatan dan kedua kekayaan untuk kepentingan sesama manusia, sebagai perwujudan dari solidaritas sosial.
B. Macam-macam Fitrah
Berdasarkan al-Quran dan al-Hadits, dalam diri manusia terdapat berbagai macam fitrah, antara lain adalah fitrah agama, fitrah suci, fitrah berakhlak, fitrah kebenaran, fitrah estetika, fitrah kreasi (menemukan sesuatu yang baru).
1. Fitrah Agama
Dalam diri manusia sudah ada fitrah beragama yaitu fitrah agama Islam. Hal ini berdasarkan al-Quran, s. Al-Araf/7: 172. Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, yang artinya, tidaklah anak itu dilahirkan melainkan dalam keadaan fitrah. Orang tuanyalah yang menjadikan anak itu Yahudi, Nasrani, Majusi.
Dari hadits tersebut dapat diambil pengertian bahwa jika anak manusia ketika sudah lahir ke dunia menjadi beragama lain, misalnya Yahudi, Kristen, Majusi dan lainnya, maka hal itu disebabkan oleh orang tua atau lingkungannya. Agama yang diakui oleh Allah adalah agama Islam, sebagaimana firman Allah dalam al-Quran, s. Ali-Imran/3:19:
Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah agama Islam.
Jika manusia mencari agama selain Islam maka Allah tidak akan menerimanya dan dia termasuk orang-orang yang merugi di akhirat nanti.
2. Fitrah Suci
Dalam al-Quran dinyatakan bahwa yang membuat manusia menjadi kotor adalah dosa. Tercantum dalam al-Quran, s.Al-Muthaffifin/83:14:
Tidak, sekali-kali tidak, bahkan kotor (tertutup) hati mereka karena dosa-dosa yang mereka kerjakan.
Menurut Islam, manusia yang belum atau tidak berdosa adalah suci. Manusia baru akan berdosa apabila sudah baligh, kemudian melanggar hukum Allah. Manusia mempunyai kecenderungan untuk menuju ke arah kebenaran-kebenaran dan wujud suci, manusia tidak bisa hidup tanpa mensucikan dan memuja sesuatu.
3. Fitrah Berakhlak
Ajaran Islam menyatakan secara tegas bahwa Nabi Muhammad Saw diutus (oleh Allah) kepada manusia untuk menyempurnakan akhlak (moral) manusia, dalam arti bahwa pada mulanya manusia sudah mempunyai fitrah bermoral/berakhlak, sedangkan Nabi Muhammad Saw. Diutus oleh Allah untuk menyempurnakan atau mengembangkannya.
Dorongan lain yang tersembunyi dalam diri manusia adalah berpegang pada nilai-nilai moral, dan ini tergolong pada kategori nilai-nilai utama (akhlak yang baik). Manusia memiliki kecenderungan terhadap banyak hal, diantaranya ada yang memberi manfaat secara fisik kepadanya, misalnya senang terhadap harta. Sebab harta memberi manfaat kepada manusia dalam menutup berbagai kebutuhan materil. Kesenangan terhadap harta ini merupakan bagian egosentrisme, yakni dorongan untuk mempertahankan hidup.
Dengan demikian, manusia mempunyai ketergantungan terhadap banyak hal, bukan karena hal-hal itu bermanfaat, tetapi merupakan suatu keutamaan dan kebijakan, dalam arti ia tergolong sebagai kebaikan spiritual. Manfaat adalah kebaikan materil, sedangkan keutamaan adalah kebaikan spiritual. Manusia menyukai kejujuran karena ia baik, dan membenci kebohongan karena ia bertentangan dengan kejujuran. Ketergantungan terhadap kejujuran, amanah, ketakwaan, kesucian dan lain-lain adalah ketergantungan terhadap keutamaan. Ketergantungan jenis ini menurut Murtadha Muthahari terbagi menjadi dua bagian: individual dan sosial. Yang individual misalnya ketergantungan terhadap sistem dan stabilitas, penguasaan diri dan keberanian yang berarti kekuatan hati, bukan kekuatan tubuh. Sedangkan yang sosial semisal senang membantu, bekerjasama, kerja sosial, berbuat baik dan berkorban untuk orang lain, baik dengan jiwa maupun harta[13].
4. Fitrah Kebenaran
Manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui kebenaran. Dalam al-Quran, s. Al-Baqarah/2:26:
Maka adapun orang-orang yang beriman, mereka mengetahui bahwa itu benar-benar dari Tuhan mereka.
Karena manusia memiliki fitrah kebenaran, maka Allah memerintahkan kepada manusia untuk membuat solusi bagi setiap permasalahan secara benar, sebagaimana firman Allah Swt., dalam al-Quran, s. al-Baqarah/2:144:
Maka hendaklah kamu beri keputusan diantara manusia dengan kebenaran.
Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mencari dan mempraktekkan kebenaran.
Mencari kebenaran menurut Murtadha Muthahari, adalah sesuatu yang disebut dengan istilah pengetahuan, atau kategori penalaran terhadap alam luar. Dorongan ini ada dalam diri manusia, yaitu dorongan untuk menemukan berbagai hakikat seperti apa adanya, atau menalarnya sebagaimana mestinya. Artinya, manusia ingin memperoleh pengetahuan-pengetahuan tentang alam dan wujud benda-benda dalam keadaan yang sesungguhnya.
Dengan demikian, kebenaran adalah sesuatu yang dimaksud dengan istilah hikmah atau falsafah. Manusia tidak cenderung pada filsafat kecuali karena adanya kecenderungan dan dorongan untuk mengetahui dan menalar hakikat berbagai benda, sehingga kita dapat menyebutnya dengan kesadaran filosofis, atau pencarian kebenaran.[14]
Masalah pencarian kebenaran, dikalangan filosofis, adalah kesempurnaan teoritis itu sendiri. Manusia dengan fitrahnya, mencari kesempurnaan teoritis, yakni mengetahui hakikat alam semesta. Fitrah ini terdapat di dalam diri manusia dan dapat dilihat, yang di dalam disebut dengan dorongan mencari kebenaran, atau rasa ingin tahu.
Dengan demikian, keinginan untuk mengetahui sesuatu itu merupakan kesadaran yang tersembunyi di dalam diri manusia. Para ulama yang terus- menerus memelihara dan merawat kesadaran tersebut agar tetap hidup, dapat mencapai suatu derajat yang di situ mereka dapat merasakan nikmatnya penemuan suatu hakekat, yang kelezatannya melebihi apapun juga. Dan makna suatu kebenaran terletak pada kebebasan dan kesadaran, serta menjadi tahu tentang alam semesta ini.
5. Fitrah Estetika
Manusia tetarik secara total pada keindahan, baik keindahan dalam akhlak maupun keindahan dalam bentuk. Tidak ada manusia yang tidak mempunyai rasa suka pada keindahan. Keindahan, pada kenyataannya, dibutuhkan dengan sendirinya. Berpakaian bertujuan untuk melindungi tubuh dari panas dan dingin dan pasti meperhatikan keindahan dan estetika (seni keindahan. Manusia pada dasarnya menyukai keindahan. Bila terlihat air gemercik, kolam untuk berenang, atau lautan luas membentang, maka dia merasakan kenikmatan dan kenyamanan. Demikian halnya dengan seni, yang berarti bentuk-bentuk yang indah. Menurut M. Quraish Shihab, seni adalah keindahan. Ia merupakan ekspresi ruh dan budaya manusia yang mengandung dan mengungkapkan keindahan. Ia lahir dari sisi terdalam manusia yang didorong oleh kecenderungan seniman kepada yang indah, apapun jenis keindahan itu. Dorongan tersebut merupakan naluri manusia, atau fitrah yang dianugerahkan Allah kepada hamba-hamaba-Nya.[15]
Kemampuan berseni merupakan salah satu perbedaan manusia dengan mahluk lain. Jika demikian, Islam pasti mendukung kesenian selama penampilan lahirnya mendukung fitrah manusia yang suci. Maka Islam bertemu dengan seni dalam jiwa manusia. Sebagaimana seni ditemukan oleh jiwa manusia di dalam Islam.
Dikatakan bahwa inti dari segala uraian Al-Quran adalah memperkenalkan ke-Esa-an Allah Swt. Ini terlihat sejak wahyu pertama Al-Quran . Ketika wahyu tersebut memerintahkan untuk membaca dengan nama Tuhan yang diperkenalkannya sebagai Maha Pencipta, Maha Pemurah, serta Pengajar.
Untuk tujuan memperkenalkan-Nya, di samping tujuan yang lain, kitab suci Al-Quran mengajak manusia memandang ke seluruh jagat raya, antara lain dari sisi keserasian dan keindahannya, terdapat dalam Al-Quran, (s. Qap/ 50: 6; s. Al-Anam /6:99; s. Al-Nahl/ 16 : 14; s. Al-Nahl 16:6; s. Yunus / 10:24).
Hal ini dapat dipahami, karena keindahan alam raya dan peranannya merupakan pembuktian keesaan dan kekuasaan Allah. Dengan demikian mengabaikan sisi keindahan yang terdapat di alam raya ini, berarti mengabaikan salah satu dari bukti keesaan Allah Swt, dan mengekspresikannya dapat merupakan upaya pembuktian kebesarannya.
6. Fitrah Kreasi dan Penciptaan (menemukan sesuatu yang baru)
Dalam diri manusia terdapat sejumlah dorongan untuk membuat sesuatu yang belum ada dan belum dibuat orang. Benar, bahwa manusia membuat sesuatu dan berkreasi adalah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Tetapi sebagaimana halnya dengan ilmu yang dipandang sebagai sarana kehidupan, maka kreativitas pun sama.
Kreativitas dan daya cipta tersebut diaktualisasikan dalam bentuk yang berbeda-beda, seperti merekayasa masyarakat, mengatur negara, membangun kota, membuat perencanaan berbagai program, merancang metode dan silabus pendidikan, serta menulis buku.
Dengan demikian, kecenderungan seperti itu ada dalam diri semua orang, dan setiap orang pasti senang membuat dan mencipta sesuatu. Lebih dari itu adalah, seseorang membuat teori baru dan mendukungnya dengan bukti-bukti, kemudian teorinya diterima orang lain, dan dia diakui sebagai penemunya. Inilah salah satu jenis kreativitas dan penciptaan, misalnya orang yang menemukan teori gerakan atom dan mendukungnya dengan bukti-bukti.
C. Predisposisi Manusia
Al-Quran banyak membicarakan tentang manusia dari segi sifat-sifat dan predisposisinya. Ada predisposisi negatif dan ada predisposisi posotif. Ini bukan berarti ayat-ayat Al-Quran bertentangan satu dengan yang lainnya, tetapi ayat tersebut menunjukan beberapa kelemahan manusia yang harus dihindarinya, juga menunjukan bahwa manusia adalah mahluk yang mempunyai predisposisi untuk menempati tempat tertinggi sehingga ia terpuji atau berada di tempat yang rendah sehingga ia tercela.
1. Predisposisi negatif manusia
a. Cenderung kafir (mengingkari nikmat Allah)
Manusia telah diberi berbagai macam nikmat oleh Allah agar disyukuri, dalam arti menggunakan dan memanfaatkan nikmat yang Allah berikan secara proporsional. Manusia setelah diberi petunjuk agar mengikuti jalan yang benar sesuai dengan kehendak Allah, tetapi banyak manusia yang mengingkarinya dari nikmat dan petunjuk Allah, tidak bertanggung jawab atas amanat Allah yang memberikan posisi kepada manusia sebagai khalifah fi al-ard. Konsekuensinya adalah bahwa manusia yang ingkar akan mendapat murka Allah yang merupakan suatu kepastian, manusia akan hidup merugi di dunia dan di akhirat. Diterangkan dalam al-Quran ; s. Ibrahim/ 14 : 34.16
Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluan) dari segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nimat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nimat)
Al-Quran, s. Al-hajj/ 22:66:
Dan Dialah Allah yang telah menghidupkan kamu, kemudian mematikan kamu, kemudian menghidupkan kamu (lagi), sesungguhnya manusia itu, sangat mengingkari nikmat
Q. s. Az-Zukhruf/ 43 : 15 :
Dan mereka menjadikan sebahagian dari hamba-hamba-Nya sebagai bagian daripada-Nya. Sesungguhnya manusia itu benar-benar pengingkar yang nyata (terhadap rahmat Allah).
b. Bakhil
Manusia itu cenderung kikir apabila mendapatkan rizki dan semakin banyak rizki yang didapat, semakin kikir, karena takut miskin. Sifat tersebut didorong oleh nafsu serakah, tamak, menghalalkan segala cara untuk menumpuk-numpuk harta , mempunyai persepsi bahwa hartalah yang akan mengekalkan mereka. Padahal mereka telah tertipu oleh pemikirannya sendiri, hidupnya akan mengalami kegelapan hati, selalu ketakutan, merasa tidak aman dan tidak tentram.
Tercantum dalam Al-Quran :17
a. Al-Quran. S. Al-Israa/ 17: 100;
Katakanlah : Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya. Dan adalah manusia itu sangat kikir.
b. Al-Quran. S. Al-Maarij / 70: 19;
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.
c. Banyak membantah/ mendebat
Manusia adalah makhluk yang banyak membantah dan menentang ajaran Allah yang telah menciptakannya dan yang telah memberi berbagai macam nikmat. Ia telah diberi alat-alat potensial , seperti : panca indera, akal pikiran,dan alat potensial lainnya, tidak digunakan untuk memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah, tetapi digunakan untuk membantah dan menentang kebenaran ajaran Tuhannya. Tercantum dalam Al-Quran.18
s. Al-Kahfi/ 18 : 54 :
Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam al-Quran ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.
s. An-Nahl/ 16:4 :
Dia telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba menjadi pembantah yang nyata.
s. Yaasin/ 36:77:
Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakan dari setitik air (mani), maka tiba-tiba menjadi penentang yang nyata?
d. Resah gelisah dan segan membantu
Manusia itu mudah gelisah dan banyak keluh kesah serta sangat kikir, dalam arti manusia itu mudah cemas dan tidak tabah dalam menghadapi musibah, sangat mudah merasa resah dan gelisah serta kehilangan keseimbangan mental ketika ditimpa musibah. Tetapi ketika diberi rahmat oleh Tuhan, yang berupa rizki yang melimpah, maka bersifat serakah, loba dan sangat kikir, tidak memiliki kepedulian sosial, tercantum dalam Al-Quran :19
s.Al-Maaarij/ 70 ; 19-21;
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.
e. Tidak berterima kasih, tercantum dalam al-Quran .20
s. Al-Adiyaat/ 100:6; Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar tidak berterima kasih kepada Tuhannya.
f. Berbuat dosa, tecantum dalam al-Quran :21
- S. Al-Alaq/ 96 :6;
Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-banar melampaui batas.
- S. Al-Qiyaamah/ 75 :5;
Bahkan manusia itu hendak membuat maksiat terus menerus.
g. Zhalim, Bodoh
Manusia itu suka menganiaya diri sendiri, suka membangkang, tidak suka meletakkan sesuatu pada tempatnya (tidak proporsional), tidak mau taat dan tunduk pada ajaran Allah dan Rasul-Nya sehingga merugikan dirinya sendiri. Manusia telah diberi berbagai alat potensial dan potensi dasar untuk ditumbuhkembangkan melalui aktivitas pendidikan dan untuk diaktualisasikan dalam kehidupan nyata, tetapi masih banyak yang acuh tak acuh dan masa bodoh, berkhianat terhadap amanat Allah dan sebagai konsekuensinya adalah menimbulkan malapetaka yang membahayakan bagi diri, masyarakat dan laingkungan hidupnya. Tercantum dalam Al-Quran,22 s. Al-Ahzab/ 33 : 72;
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Dan dipikulah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.
h. Tergesa-gesa
Manusia suka menuntut sesuatu kebaikan dan keuntungan apa saja secara instan, suka mengambil jalan pintas dalam meraih sesuatu, reaktif, emosional yang mendominasi di dalam membuat solusi dari suatu permasalahan tercantum dalam al-Quran :23
- S. Al-Israa/ 17 :11 :
Dan manusia mendoakan untuk kejahatan sebagaimana ia mendoakan untuk kebaikan. Dan adalah besifat tergesa-gesa.
- S. Al-Anbiya/21:37 :
Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa. Kelak akan Aku perlihatkan kepadamu tanda-tanda (azab)-Ku. Maka janganlah kamu minta kepada-Ku mendatangkannya dengan segera.
i. Bersusah payah dan menderita, tercantum dalam Al-Quran :24
- S. Al-Insyiqaaq/ 84:6:
Hai manusia,sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.
- S. Al-Balaad/ 90:4:
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.
j. Meragukan hari Qiamat, tercantum dalam Al-Quran , s. Maryam/ 19:66:
Dan berkata manusia : Betulkah apabila aku telah mati, bahwa aku sungguh-sungguh akan dibangkitkan menjadi hidup kembali.
2. Predisposisi positif manusia
Dalam struktur jasad dan ruhiyat itu Allah memberikan seperangkat kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan berkembang yang dalam psikologis disebut potensial atau disposisi, yang menurut aliran psikologis behaviorisme disebut prepoten reflexesi (kemampuan dasar yang secara otomatis dapat berkembang).
Dalam pandangan Islam, pada dasarnya manusia itu dilahirkan dalam keadaan suci. Kesucian manusia itu dikenal dengan istilah futrah.
Di dalam al-Quran dan al-Sunnah Rasul, terdapat perspektif tentang fitrah manusia. Tidak ada seorangpun yang menggunakan istilah fitrah selain disebutkan di dalam al-Quran.
A. Pengertian fitrah dalam Perspektif Al Quran.
Kata fitrah disebut dalam al-Quran, s. Ar-Rum/ 30 : 30.
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus ; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.
Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi. (Al-Quran. S. Al-Amam / 6 : 79)
Apabila langit terbelah. (Al-Quran. S. Al-Infitar/ 82 : 1)
Langit (pun) menjadi pecah belah pada hari itu karena Allah. Adalah janji-Nya itu pasti terlaksana. (Al-Quran, s. Al-Muzzammil/ 73:18).
Dalam bahasa Arab, Fitrah (fitrah) dengan segala bentuk derivasinya mempunyai arti belahan (syiqah), muncul (thulu), kejadian (al ibtida), dan penciptaan (khalqun).[1] Sifat pembawaan yang sejak lahir. [2]
Jika dihubungkan dengan manusia maka yang dimaksud dengan fitrah adalah apa yang menjadi kejadian atau bawaan manusia sejak lahir atau keadaan semula jadi[3]. Ditegaskan pula bahwa fitrah mengandung pengertian bahwa Allah menciptakan ciptaan-Nya (makhluk) dan menentukan tabiatnya untuk berbuat sesuatu[4]. Dengan demikian pengertian fitrah secara semantik berhubungan dengan hal penciptaan (bawaan) sesuatu sebagai bagian dari potensi yang dimiliki.
Kata fitrah dengan berbagai bentuk derivasinya disebut 28 kali, 14 kali disebut dalam kontek uraian tentang bumi dan langit, sedang yang lainnya disebut dalam konteks pembicaraan tentang manusia, baik yang berhubungan dengan fitrah penciptaan maupun fitrah keagaman yang dimilikinya.
Lafal fitrah dengan berbagai bentuk derivasinya , banyak disebut dalam al-Quran, misalnya dalam ayat di atas, yang dalam konteks ini berarti al-khalq dan al-ibtida. Al-khalq itu sendiri identik dengan al-bitida (yang memiliki arti menciptakan sesuatu tanpa contoh). Hanya saja yang menyebutkannya dalam bentuk ini (fitrah), yakni yang mengikuti pola filah, hanya satu ayat terdapat dalam al-Quran, s. Ar-Ruum/ 30 : 30 [5].
Lafal fitrah yang berkaitan dengan keadaan manusia dan hubungan keadaan tersebut dengan agama, yakni yang disebutkan dalam al-Quran, s. Ar-Ruum/ 30:30 : Fitrah Allah yang menceritakan manusia menurut fitrah itu, mengandung arti keadaan yang dengan itu manusia diciptakan. Artinya Allah telah menciptakan manusia dengan keadaan tertentu, yang di dalamnya terdapat kekhususan-kekhususan yang ditetapkan Allah dalam dirinya saat dia diciptakan, dan keadaan itulah yang menjadi fitrahnya.
Sistem redaksi ayat 30 surat Ar-ruum, memperlihatkan kejelasan pengertian fitrah bahwa manusia diciptakan dengan membawa fitrah (potensi) keagamaan yang hanif, yang benar, dan tidak bisa menghindar meskipun boleh jadi ia mengabaikan atau tidak mengakuinya. Dengan demikian ayat ini menghubungkan makna fitrah dengan agama Allah (din) yang saling melengkapi diantara keduanya.
Pengertian-pengertian lain dapat didekati dengan memenggal beberapa kalimat kunci pada ayat tersebut. Fa aqim wajhaka liddini hanifan Al-Kurtubi mengartikan bentuk amr dalam ayat tersebut sebagai petintah untuk mengikuti agama yang lurus.
Dengan memperhatikan sistem di atas, maka dapat ditangkap bahwa kalimat amr di atas menggambarkan perintah Allah kepada segenap manusia agar beusaha menghadapkan diri (jiwa-raga) kepada ketentuan-ketentuan Allah yang terangkum dalam istilah agama (din) agar mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan. Peringatan semacam ini juga mengisyaratkan bahwa pada diri manusia telah ada benih-benih (potensi-potensi) kekuatan yang dapat menyampaikannya pada penegakkan ketentuan-ketentuan Allah tersebut dalam hidupnya. Dalam ayat lain Allah menegaskan bahwa dengan keadilan dan prinsip keseimbangan Allah tidak membebankan suatu kepada manusia, melainkan sesuai dengan kekuatan yang ada pada dirinya. Allah tidak membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya. (Q.S,. Al-Baqarah/ 2 : 28).
Peritah menegakkan agama Allah adalah sesuatu yang ada pada daerah kesanggupan manusia, terutama bila dihubungkan dengan persaksian yang telah dijelaskan Allah dalam al-Quran, s. Ar-Ruum/ 30:30.
Menurut at-Thabari kalimat fitratallaha ini merupakan masdhar kalimat fa aqim wajhaka, sebab bermakna bahwa Allah telah menciptakan penjelasan terhadap kalimat sebelumnya serta memberi pengertian tentang apa yang dimaksud al-Diin Haniif.
Berdasarkan kalimat ini dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud al Diin Haniif adalah sifat dasar dan sifat bawaan sebagai dasar penciptaan manusia untuk sampai pada pengenalan dan keyakinan terhadap ke-Esaan Allah. Dengan kata lain kecenderungan terhadap agama tauhid merupakan potensi dasar dari penciptaan manusia. Hal ini selaras dengan penciptaan manusia sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran, s. al-Dzariyat / 51 : ayat 56 :
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
Dengan penjelasan-penjelsan seperti itu, maka jelaslah kiranya bahwa pengenalan dan peng-Esaan Allah adalah potensi dasar yang telah dimiliki manusia yang memungkinnya untuk dapat bersikap dan bertindak sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah. Dengan kata lain manusia dapat menjadi seorang mukmin, muslim dan muhsin sejati karena memiliki potensi untuk itu.
Pengertian itu pun secara lebih rinci ditegaskan dalam al-Quran ,s. alAraf/ 7: 172 :
Dan (ingatlah), ketika Tuhan-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : Bukankah aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab : Betul (Enkau Tuhan kami). Kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari qiamat kamu tidak mengatakan : Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (ke-Esaan Tuhan).
Berdasarkan ayat ini Allah menegaskan bahwa Dia telah bertransaksi (mengadakan perjanjian) dengan manusia agar menjadikan-Nya sebagai llah dan sembahannya, dan inilah sifat dasar penciptaan yang dimiliki manusia sejak lahir atau bahkan sebelum lahir. Tabiat ini merupakan tabiat bawaannya. Berdasarkan ayat ini dapat ditangkap pengertian bahwa tauhidullah telah dimilki manusia secara potensial. Potensi tauhid inilah yang harus diperjuangkan dan dipeliharan manusia pada kehidupan selanjutnya agar mendapat kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena potensi tauhid telah ditanamkan dalam penciptaan manusia, maka tidak ada alasan bagi manusia untuk mengingkari-Nya, seperti dinyatakan pada bagian akhir surat Al-Araf ayat 172 di atas.
Dalam al-Quran ada sebuah surat yang berjudul fathir, artinya pencipta, yaitu Allah. Nama surat tersebut berasal dari kalimat yang mengawali ayat ke 1 Segala puji bagi Allah, pencipta langit dan bumi . Kata-kata fathir al-samawaat wal-ard, sering diterjemahkan sebagai the Originator, berasal dari kata the origin, yang awal sehingga maknanya adalahyang mengawali.
Kata ini terulang lima kali dalam al-Quran, (Q.,s. Yusuf/ 12: 101; Q.,s Ibrahim/ 14 : 10; Q.,s. Fathir/ 35 ; 1 ; Q.,s Al-Syura/ 42 ; 11)[6].
Dalam al-Quran, s. al-Anam / 6: 79 :
Sesungguhnya aku menghadapkan diriku dengan lurus (hanif), kepada Dzat yang menciptakan (fithara) langit dan bumi, dan aku bukanlah orang-orang yang menyekutukan (Tuhan).
Kata fitrah dalam konteks ayat ini (fathara) dikaitkan dengan pengertian hanif, yang jika diterjemahkan secara bebas menjadi cenderung kepada agama yang benar. Istilah ini dipakai al-Quran untuk melukiskan sikap kepercayaan Nabi Ibrahim a.s. yang menolak menyembah berhala, binatang, bulan atau matahari, karena semua itu tidak patut untuk disembah. Yang patut disembah hanyalah Dzat pencipta langit dan bumi. Inilah agama yang benar.[7]
Agama umat manusia yang asli adalah menyembah kepada Allah. Dengan bahasa ilmiah Empiris, kecenderungan asli atau dasar manusia adalah menyembah Tuhan yang satu. Ketika manusia mencari makna hidup, kecnderungan manusia adalah menemukan Tuhan Yang Esa. Mereka mampu menemukan Tuhan, walaupun lingkungannya bisa membelokkan pandangan kepada selain Tuhan ini. Firman Allah Swt, adalah al-Quran , s.Yusuf 12:105. Dan banyak sekali tanda (kekuasaan Allah) di langit dan bumi yang mereka alami, namun mereka selalu berpaling (mengingkari) dari pada-Nya. Tetapi sungguhpun demikian, kecenderungan fitrah manusia adalah kembali kepada Tuhan , sebagai wujud hakiki kecenderungan kepada kebenaran.
Islam yang artinya tunduk , berserah diri dan damai menurut al-Quran adalah agama yang benar bagi manusia, karena sesuai dengan fitrah kejadian manusia. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa pada hakekatnya anak itu dilahirkan kejadian manusia. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa pada hakekatnya anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah (kondisi yang suci):
Tidak ada seorang bayipun dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah (yang suci). Maka orang tuanyalah yang menjadikan anak itu Yahudi. Nasrani atau Majusi.[8]
Pada hakekatnya, hadits tersebut tidak hanya terfokus pada gerakan penyahudian, penasranian, dan majusisasi, tetapi lebih luas lagi yaitu menyangkut seluruh gerakan yang memungkinkan anak membelot dari fitrahnya yang suci.
Dalam al-Bidayah wa al-Nihayah karya Ibnu Al-Atsir yang dinukil oleh Murtadha Muththahhari dalam kitabnya, fitrah dikemukakan bahwa ketika mengemukakan hadits yang berbunyi . Setiap bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah, Ibnu Al-Atsir memberikan komentar sebagai berikut : Al-Fathr berarti menciptakan dan menjadikan (al-ibtida wa al-ikhtiara), dan fitrah merupakan keadaan yang dihasilkan dari penciptaan itu. Yakni, menciptakan sesuatu dalam wujud yang baru sama sekali, yang merupakan kebalikan dari membuat sesuatu dengan mengikuti contoh sebelumnya. Allah adalah Al-Fath. Dia adalah al-Mukhtar (yang menciptakan tanpa contoh), sedangkan manusia adalah al-taqlidi (membuat sesuatu dengan mengikuti contoh). Manusia hanyalah mengikuti, bahkan disaat ia membuat sesuatu yang baru sekalipun. Sebab hasil dari kreasinya pasti mengandung unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya[9].
Manusia mengambil contoh dari alam dan merancang sesuai pola-pola yang ada di alam semesta, lalu dia membuat sesuatu seperti yang ada pada contoh itu. Manusia kadang-kadang membuat sesuatu yang baru , sebab dia memang memiliki kemampuan untuk itu sekalipun begitu, tidak bisa tidak, dia pasti bersandar pada alam dan benda-benda yang ada di dalamnya, dan membuat sesuatu dengan cara menirunya.
Di dalam al-Quran terdapat tiga lapadz yang maknanya berkaitan dengan agama (ad-din) seperti yang terdapat dalam al-Quran, s. Ar-ruum/ 30:30: Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, yaitu (1) al-fithrah, (2) ash-shibghah, dan (3) al-haniif.[10]
Ketiga lapadz tersebut digunakan dengan arti agama (ad-din) atau ihwal beragama (at-tadayyun). Dalam al-Quran, s. al-Baqarah / 2: 138 :
Shibghah (celupan) Allah, dan siapakah yang lebih baik shibghah-nya dari pada shibghah Allah?.
Lafadz shibghah dalam ayat di atas mengikuti pola filah. Di antara derivatnya adalah ash-shabgh, ash-shabbagh, dan ash-shibghah, yang berarti sejenis pencelupan warna (at-talwin). Yang dimaksud dengan shibghah Allah ialah pemberian warna dengan cara pencelupan yang dilakukan oleh Allah. Sedangkan pemberian warna yang pertama kali dilakukan Allah terhadap manusia adalah pemberian warna agama. Ia merupakan warna ketuhanan yang diberikan oleh Allah saat pertama kali manusia diciptakan.
Di dalam al-Quran, s. Ali-Imran/ 3 : 67 :
Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani. Akan tetapi dia adalah seorang yang hanif lagi berserah diri.
Karena itu, al-Quran menegaskan bahwa ajaran yang disampaikan Nabi Nuh as. Adalah agama, dan namanya Islam; ajaran yang dibawa oleh Nabi Ibrahim as. Adalah agama, dan seluruh nabi adalah agama, dan namanya adalah Islam. Adapun nama-nama yang diberikan sesudahnya untuk agama tersebut adalah penyimpangan dari ajaran yang asli dan dari fitrah manusia yang asli. Itu sebabnya al-Quran menjelaskan dalam al-Quran, s. Ali-Imran/3:67 seperti disebutkan di atas.
Al-Quran tidak memaksudkan bahwa Nabi Ibrahim adalah seorang muslim seperti kaum muslim masa Nabi terakhir. Tetapi al-Quran ingin menegaskan bahwa agama Yahudi adalah penyimpangan dari agama Islam yang asli, demikian pula halnya dengan agama Nasrani, dan bahwa jalan yang lurus dan Islam itu hanyalah satu, tidak lebih dari itu. al-Quran bermaksud mengatakan: Tidak ada gunanya ucapan-ucapan dan baptis-baptis. Sebab, apakah mungkin fitrah manusia diubah dari satu warna ke warna lain?
Dengan demikian, yang disebut dengan shibghah adalah shibghah Allah, dan siapakah yang paling baik shibghahnya selain shibghah Allah?. Al-Quran, s.Ali Imran/3:67:
Kata hanif berasal dari kata kerja hanafa, yahnifu dan masdarnya haniifan, artinya condong, atau cenderung dan kata bendanya kecenderungan. Tetapi di dalam al-Quran, yang dimaksud adalah kecenderungan kepada yang benar. Arti yang spesifik dari kata haniif ini diberikan The Holy Quran, karya Hadrat Mirza Nazir Ahmad yang merujuk kepada beberapa sumber; (a) orang yang meninggalkan atau menjauhi kesalahan dan mengarahkan dirinya kepada petunjuk; (b) orang yang secara terus menerus mengikuti kepercayaan yang benar tanpa keinginan untuk berpaling dari padanya; (c) seseorang yang cenderung menata perilakunya secara sempurna menurut Islam dan terus menerus mempertahankannya secara teguh; (d) seseorang yang mengikuti agama Ibrahim; dan (e) yang percaya kepada seluruh Nabi-nabi[11]. Keterangan tersebut ditujukan kepada al-Quran, s. al-Baqarah/2:135:
Dan mereka berkata: Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi dan Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk. Katakanlah: Tidak. Kami mengikuti ajaran Ibrahim yang lurus (hanif). Bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan musyrik.
Kata haniif diterjemahkan dengan lurus. Tetapi kata lurus di situ agaknya memerlukan penjelasan. Hamka, dalam Tafsir al-Azhar-nya berkata : Agama Ibrahim adalah agama yang lurus. Demikian kita artikan kata haniif. Kadang-kadang diartikan orang juga condong, sebab kalimat itupun mengandung arti condong. Maksudnya satu lurus menuju Tuhan atau condong hanya kepada Tuhan. Tidak membelok kepada yang lain. Sebab itu di dalamnya terkandung juga makna tawhid.
Dalam konteks ayat tersebut, lurus maksudnya adalah, pertama tidak mengikuti ajaran Yahudi maupun Nasrani, dan kedua, tidak menganut politeisme atau menyembah berhala yang pada waktu itu berlaku di berbagai kalangan masyarakat, termasuk di antara orang-orang Arab[12].
Misi yang dibawa Raulullah Saw. Adalah menegakkan masyarakat baru berdasarkan kepercayaan tawhid atau pengesaan Tuhan sebagaimana diajarkan oleh Nabi Ibrahim dan nabi-nabi lainnya.
Tujuan yang lebih luas dari seruan kepada tawhid itu tercantum dalam surat al-Bayyinah, khususnya ayat 5, yang dalam hal ini berkaitan dengan hanif.
Dan mereka tidak disuruh selain untuk mengabdi (hanya) kepada Allah (saja), dengan ikhlas dan patuh kepada-Nya, dengan lurus (hanif), dan supaya menegakkan shalat dan membayar zakat (untuk membersihkan harta benda), dan itulah agama yang kuat dasar-dasarnya.
Selain condong kepada Allah, sebagai suatu kecenderungan yang benar, hanif dalam ayat tersebut dikaitkan dengan konsekuensi tindakannya, pertama berdimensi horizontal, yaitu dengan membersihkan pendapatan dan kedua kekayaan untuk kepentingan sesama manusia, sebagai perwujudan dari solidaritas sosial.
B. Macam-macam Fitrah
Berdasarkan al-Quran dan al-Hadits, dalam diri manusia terdapat berbagai macam fitrah, antara lain adalah fitrah agama, fitrah suci, fitrah berakhlak, fitrah kebenaran, fitrah estetika, fitrah kreasi (menemukan sesuatu yang baru).
1. Fitrah Agama
Dalam diri manusia sudah ada fitrah beragama yaitu fitrah agama Islam. Hal ini berdasarkan al-Quran, s. Al-Araf/7: 172. Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, yang artinya, tidaklah anak itu dilahirkan melainkan dalam keadaan fitrah. Orang tuanyalah yang menjadikan anak itu Yahudi, Nasrani, Majusi.
Dari hadits tersebut dapat diambil pengertian bahwa jika anak manusia ketika sudah lahir ke dunia menjadi beragama lain, misalnya Yahudi, Kristen, Majusi dan lainnya, maka hal itu disebabkan oleh orang tua atau lingkungannya. Agama yang diakui oleh Allah adalah agama Islam, sebagaimana firman Allah dalam al-Quran, s. Ali-Imran/3:19:
Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah agama Islam.
Jika manusia mencari agama selain Islam maka Allah tidak akan menerimanya dan dia termasuk orang-orang yang merugi di akhirat nanti.
2. Fitrah Suci
Dalam al-Quran dinyatakan bahwa yang membuat manusia menjadi kotor adalah dosa. Tercantum dalam al-Quran, s.Al-Muthaffifin/83:14:
Tidak, sekali-kali tidak, bahkan kotor (tertutup) hati mereka karena dosa-dosa yang mereka kerjakan.
Menurut Islam, manusia yang belum atau tidak berdosa adalah suci. Manusia baru akan berdosa apabila sudah baligh, kemudian melanggar hukum Allah. Manusia mempunyai kecenderungan untuk menuju ke arah kebenaran-kebenaran dan wujud suci, manusia tidak bisa hidup tanpa mensucikan dan memuja sesuatu.
3. Fitrah Berakhlak
Ajaran Islam menyatakan secara tegas bahwa Nabi Muhammad Saw diutus (oleh Allah) kepada manusia untuk menyempurnakan akhlak (moral) manusia, dalam arti bahwa pada mulanya manusia sudah mempunyai fitrah bermoral/berakhlak, sedangkan Nabi Muhammad Saw. Diutus oleh Allah untuk menyempurnakan atau mengembangkannya.
Dorongan lain yang tersembunyi dalam diri manusia adalah berpegang pada nilai-nilai moral, dan ini tergolong pada kategori nilai-nilai utama (akhlak yang baik). Manusia memiliki kecenderungan terhadap banyak hal, diantaranya ada yang memberi manfaat secara fisik kepadanya, misalnya senang terhadap harta. Sebab harta memberi manfaat kepada manusia dalam menutup berbagai kebutuhan materil. Kesenangan terhadap harta ini merupakan bagian egosentrisme, yakni dorongan untuk mempertahankan hidup.
Dengan demikian, manusia mempunyai ketergantungan terhadap banyak hal, bukan karena hal-hal itu bermanfaat, tetapi merupakan suatu keutamaan dan kebijakan, dalam arti ia tergolong sebagai kebaikan spiritual. Manfaat adalah kebaikan materil, sedangkan keutamaan adalah kebaikan spiritual. Manusia menyukai kejujuran karena ia baik, dan membenci kebohongan karena ia bertentangan dengan kejujuran. Ketergantungan terhadap kejujuran, amanah, ketakwaan, kesucian dan lain-lain adalah ketergantungan terhadap keutamaan. Ketergantungan jenis ini menurut Murtadha Muthahari terbagi menjadi dua bagian: individual dan sosial. Yang individual misalnya ketergantungan terhadap sistem dan stabilitas, penguasaan diri dan keberanian yang berarti kekuatan hati, bukan kekuatan tubuh. Sedangkan yang sosial semisal senang membantu, bekerjasama, kerja sosial, berbuat baik dan berkorban untuk orang lain, baik dengan jiwa maupun harta[13].
4. Fitrah Kebenaran
Manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui kebenaran. Dalam al-Quran, s. Al-Baqarah/2:26:
Maka adapun orang-orang yang beriman, mereka mengetahui bahwa itu benar-benar dari Tuhan mereka.
Karena manusia memiliki fitrah kebenaran, maka Allah memerintahkan kepada manusia untuk membuat solusi bagi setiap permasalahan secara benar, sebagaimana firman Allah Swt., dalam al-Quran, s. al-Baqarah/2:144:
Maka hendaklah kamu beri keputusan diantara manusia dengan kebenaran.
Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mencari dan mempraktekkan kebenaran.
Mencari kebenaran menurut Murtadha Muthahari, adalah sesuatu yang disebut dengan istilah pengetahuan, atau kategori penalaran terhadap alam luar. Dorongan ini ada dalam diri manusia, yaitu dorongan untuk menemukan berbagai hakikat seperti apa adanya, atau menalarnya sebagaimana mestinya. Artinya, manusia ingin memperoleh pengetahuan-pengetahuan tentang alam dan wujud benda-benda dalam keadaan yang sesungguhnya.
Dengan demikian, kebenaran adalah sesuatu yang dimaksud dengan istilah hikmah atau falsafah. Manusia tidak cenderung pada filsafat kecuali karena adanya kecenderungan dan dorongan untuk mengetahui dan menalar hakikat berbagai benda, sehingga kita dapat menyebutnya dengan kesadaran filosofis, atau pencarian kebenaran.[14]
Masalah pencarian kebenaran, dikalangan filosofis, adalah kesempurnaan teoritis itu sendiri. Manusia dengan fitrahnya, mencari kesempurnaan teoritis, yakni mengetahui hakikat alam semesta. Fitrah ini terdapat di dalam diri manusia dan dapat dilihat, yang di dalam disebut dengan dorongan mencari kebenaran, atau rasa ingin tahu.
Dengan demikian, keinginan untuk mengetahui sesuatu itu merupakan kesadaran yang tersembunyi di dalam diri manusia. Para ulama yang terus- menerus memelihara dan merawat kesadaran tersebut agar tetap hidup, dapat mencapai suatu derajat yang di situ mereka dapat merasakan nikmatnya penemuan suatu hakekat, yang kelezatannya melebihi apapun juga. Dan makna suatu kebenaran terletak pada kebebasan dan kesadaran, serta menjadi tahu tentang alam semesta ini.
5. Fitrah Estetika
Manusia tetarik secara total pada keindahan, baik keindahan dalam akhlak maupun keindahan dalam bentuk. Tidak ada manusia yang tidak mempunyai rasa suka pada keindahan. Keindahan, pada kenyataannya, dibutuhkan dengan sendirinya. Berpakaian bertujuan untuk melindungi tubuh dari panas dan dingin dan pasti meperhatikan keindahan dan estetika (seni keindahan. Manusia pada dasarnya menyukai keindahan. Bila terlihat air gemercik, kolam untuk berenang, atau lautan luas membentang, maka dia merasakan kenikmatan dan kenyamanan. Demikian halnya dengan seni, yang berarti bentuk-bentuk yang indah. Menurut M. Quraish Shihab, seni adalah keindahan. Ia merupakan ekspresi ruh dan budaya manusia yang mengandung dan mengungkapkan keindahan. Ia lahir dari sisi terdalam manusia yang didorong oleh kecenderungan seniman kepada yang indah, apapun jenis keindahan itu. Dorongan tersebut merupakan naluri manusia, atau fitrah yang dianugerahkan Allah kepada hamba-hamaba-Nya.[15]
Kemampuan berseni merupakan salah satu perbedaan manusia dengan mahluk lain. Jika demikian, Islam pasti mendukung kesenian selama penampilan lahirnya mendukung fitrah manusia yang suci. Maka Islam bertemu dengan seni dalam jiwa manusia. Sebagaimana seni ditemukan oleh jiwa manusia di dalam Islam.
Dikatakan bahwa inti dari segala uraian Al-Quran adalah memperkenalkan ke-Esa-an Allah Swt. Ini terlihat sejak wahyu pertama Al-Quran . Ketika wahyu tersebut memerintahkan untuk membaca dengan nama Tuhan yang diperkenalkannya sebagai Maha Pencipta, Maha Pemurah, serta Pengajar.
Untuk tujuan memperkenalkan-Nya, di samping tujuan yang lain, kitab suci Al-Quran mengajak manusia memandang ke seluruh jagat raya, antara lain dari sisi keserasian dan keindahannya, terdapat dalam Al-Quran, (s. Qap/ 50: 6; s. Al-Anam /6:99; s. Al-Nahl/ 16 : 14; s. Al-Nahl 16:6; s. Yunus / 10:24).
Hal ini dapat dipahami, karena keindahan alam raya dan peranannya merupakan pembuktian keesaan dan kekuasaan Allah. Dengan demikian mengabaikan sisi keindahan yang terdapat di alam raya ini, berarti mengabaikan salah satu dari bukti keesaan Allah Swt, dan mengekspresikannya dapat merupakan upaya pembuktian kebesarannya.
6. Fitrah Kreasi dan Penciptaan (menemukan sesuatu yang baru)
Dalam diri manusia terdapat sejumlah dorongan untuk membuat sesuatu yang belum ada dan belum dibuat orang. Benar, bahwa manusia membuat sesuatu dan berkreasi adalah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Tetapi sebagaimana halnya dengan ilmu yang dipandang sebagai sarana kehidupan, maka kreativitas pun sama.
Kreativitas dan daya cipta tersebut diaktualisasikan dalam bentuk yang berbeda-beda, seperti merekayasa masyarakat, mengatur negara, membangun kota, membuat perencanaan berbagai program, merancang metode dan silabus pendidikan, serta menulis buku.
Dengan demikian, kecenderungan seperti itu ada dalam diri semua orang, dan setiap orang pasti senang membuat dan mencipta sesuatu. Lebih dari itu adalah, seseorang membuat teori baru dan mendukungnya dengan bukti-bukti, kemudian teorinya diterima orang lain, dan dia diakui sebagai penemunya. Inilah salah satu jenis kreativitas dan penciptaan, misalnya orang yang menemukan teori gerakan atom dan mendukungnya dengan bukti-bukti.
C. Predisposisi Manusia
Al-Quran banyak membicarakan tentang manusia dari segi sifat-sifat dan predisposisinya. Ada predisposisi negatif dan ada predisposisi posotif. Ini bukan berarti ayat-ayat Al-Quran bertentangan satu dengan yang lainnya, tetapi ayat tersebut menunjukan beberapa kelemahan manusia yang harus dihindarinya, juga menunjukan bahwa manusia adalah mahluk yang mempunyai predisposisi untuk menempati tempat tertinggi sehingga ia terpuji atau berada di tempat yang rendah sehingga ia tercela.
1. Predisposisi negatif manusia
a. Cenderung kafir (mengingkari nikmat Allah)
Manusia telah diberi berbagai macam nikmat oleh Allah agar disyukuri, dalam arti menggunakan dan memanfaatkan nikmat yang Allah berikan secara proporsional. Manusia setelah diberi petunjuk agar mengikuti jalan yang benar sesuai dengan kehendak Allah, tetapi banyak manusia yang mengingkarinya dari nikmat dan petunjuk Allah, tidak bertanggung jawab atas amanat Allah yang memberikan posisi kepada manusia sebagai khalifah fi al-ard. Konsekuensinya adalah bahwa manusia yang ingkar akan mendapat murka Allah yang merupakan suatu kepastian, manusia akan hidup merugi di dunia dan di akhirat. Diterangkan dalam al-Quran ; s. Ibrahim/ 14 : 34.16
Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluan) dari segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nimat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nimat)
Al-Quran, s. Al-hajj/ 22:66:
Dan Dialah Allah yang telah menghidupkan kamu, kemudian mematikan kamu, kemudian menghidupkan kamu (lagi), sesungguhnya manusia itu, sangat mengingkari nikmat
Q. s. Az-Zukhruf/ 43 : 15 :
Dan mereka menjadikan sebahagian dari hamba-hamba-Nya sebagai bagian daripada-Nya. Sesungguhnya manusia itu benar-benar pengingkar yang nyata (terhadap rahmat Allah).
b. Bakhil
Manusia itu cenderung kikir apabila mendapatkan rizki dan semakin banyak rizki yang didapat, semakin kikir, karena takut miskin. Sifat tersebut didorong oleh nafsu serakah, tamak, menghalalkan segala cara untuk menumpuk-numpuk harta , mempunyai persepsi bahwa hartalah yang akan mengekalkan mereka. Padahal mereka telah tertipu oleh pemikirannya sendiri, hidupnya akan mengalami kegelapan hati, selalu ketakutan, merasa tidak aman dan tidak tentram.
Tercantum dalam Al-Quran :17
a. Al-Quran. S. Al-Israa/ 17: 100;
Katakanlah : Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya. Dan adalah manusia itu sangat kikir.
b. Al-Quran. S. Al-Maarij / 70: 19;
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.
c. Banyak membantah/ mendebat
Manusia adalah makhluk yang banyak membantah dan menentang ajaran Allah yang telah menciptakannya dan yang telah memberi berbagai macam nikmat. Ia telah diberi alat-alat potensial , seperti : panca indera, akal pikiran,dan alat potensial lainnya, tidak digunakan untuk memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah, tetapi digunakan untuk membantah dan menentang kebenaran ajaran Tuhannya. Tercantum dalam Al-Quran.18
s. Al-Kahfi/ 18 : 54 :
Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam al-Quran ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.
s. An-Nahl/ 16:4 :
Dia telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba menjadi pembantah yang nyata.
s. Yaasin/ 36:77:
Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakan dari setitik air (mani), maka tiba-tiba menjadi penentang yang nyata?
d. Resah gelisah dan segan membantu
Manusia itu mudah gelisah dan banyak keluh kesah serta sangat kikir, dalam arti manusia itu mudah cemas dan tidak tabah dalam menghadapi musibah, sangat mudah merasa resah dan gelisah serta kehilangan keseimbangan mental ketika ditimpa musibah. Tetapi ketika diberi rahmat oleh Tuhan, yang berupa rizki yang melimpah, maka bersifat serakah, loba dan sangat kikir, tidak memiliki kepedulian sosial, tercantum dalam Al-Quran :19
s.Al-Maaarij/ 70 ; 19-21;
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.
e. Tidak berterima kasih, tercantum dalam al-Quran .20
s. Al-Adiyaat/ 100:6; Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar tidak berterima kasih kepada Tuhannya.
f. Berbuat dosa, tecantum dalam al-Quran :21
- S. Al-Alaq/ 96 :6;
Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-banar melampaui batas.
- S. Al-Qiyaamah/ 75 :5;
Bahkan manusia itu hendak membuat maksiat terus menerus.
g. Zhalim, Bodoh
Manusia itu suka menganiaya diri sendiri, suka membangkang, tidak suka meletakkan sesuatu pada tempatnya (tidak proporsional), tidak mau taat dan tunduk pada ajaran Allah dan Rasul-Nya sehingga merugikan dirinya sendiri. Manusia telah diberi berbagai alat potensial dan potensi dasar untuk ditumbuhkembangkan melalui aktivitas pendidikan dan untuk diaktualisasikan dalam kehidupan nyata, tetapi masih banyak yang acuh tak acuh dan masa bodoh, berkhianat terhadap amanat Allah dan sebagai konsekuensinya adalah menimbulkan malapetaka yang membahayakan bagi diri, masyarakat dan laingkungan hidupnya. Tercantum dalam Al-Quran,22 s. Al-Ahzab/ 33 : 72;
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Dan dipikulah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.
h. Tergesa-gesa
Manusia suka menuntut sesuatu kebaikan dan keuntungan apa saja secara instan, suka mengambil jalan pintas dalam meraih sesuatu, reaktif, emosional yang mendominasi di dalam membuat solusi dari suatu permasalahan tercantum dalam al-Quran :23
- S. Al-Israa/ 17 :11 :
Dan manusia mendoakan untuk kejahatan sebagaimana ia mendoakan untuk kebaikan. Dan adalah besifat tergesa-gesa.
- S. Al-Anbiya/21:37 :
Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa. Kelak akan Aku perlihatkan kepadamu tanda-tanda (azab)-Ku. Maka janganlah kamu minta kepada-Ku mendatangkannya dengan segera.
i. Bersusah payah dan menderita, tercantum dalam Al-Quran :24
- S. Al-Insyiqaaq/ 84:6:
Hai manusia,sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.
- S. Al-Balaad/ 90:4:
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.
j. Meragukan hari Qiamat, tercantum dalam Al-Quran , s. Maryam/ 19:66:
Dan berkata manusia : Betulkah apabila aku telah mati, bahwa aku sungguh-sungguh akan dibangkitkan menjadi hidup kembali.
2. Predisposisi positif manusia
a. Manusia adalah Khalifah Tuhan di bumi
b. Manusia sebagai hamba Allah
c. Manusia memiliki kesadaran moral. Mereka dapat membedakan yang baik dari yang jahat melalui inspirasi fitri yang ada pada mereka ,terdapat dalam Al-Quran , s.Asy-Syams/ 91:7-8
Dan jiwa serta penyempurnaannya (penciptaannya) maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan.
Dan jiwa serta penyempurnaannya (penciptaannya) maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan.
d. Manusia dikaruniai pembawaan yang mulia dan martabat. Tuhan pada kenyataannya, telah menganugerahi manusia dengan keunggulan atas makhluk-makhluk lain. Manusia akan menghargai dirinya sendiri hanya jika mereka mampu merasakan kemuliaan dan martabat tersebut, serta mau melepaskan diri mereka dari kepicikan segala jenis kerendahan budi, penghambatan, dan hawa nafsu, terdapat dalam Al-Quran. S. Al-isra/17 :70 :
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di Lautan, kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di Lautan, kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
e. Manusia mempunyai kapasitas intelegensia yang paling tinggi, terdapat dalam al-Quran, s. al-Baqarah/ 2: 31-33:
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukannya kepada para Malaikat lalu berfirman: Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar! Mereka menjawab : Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada Kami: sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Allah berfirman : Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini. Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman : Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?.
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukannya kepada para Malaikat lalu berfirman: Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar! Mereka menjawab : Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada Kami: sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Allah berfirman : Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini. Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman : Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?.
f. Manusia Mempunyai kecenderungan dekat dengan Tuhan.
Manusia sadar akan kehadiran Tuhan jauh di dasar sanubari mereka. Jadi, segala keraguan dan keingkaran kepada Tuhan muncul ketika manusia menyimpang dari fitrah mereka sendiri.27
Kesimpulannya, al-Quran menggambarkan manusia sebagai suatu makhluk pilihan Tuhan, sebagai khalifah-Nya di muka bumi, serta sebagai makhluk yang semi duniawi, yang di dalam dirinya ditanamkan sifat mengakui Tuhan, bebas, terpercaya, rasa tanggung jawab terhadap dirinya maupun alam semesta; serta karunia keunggulan atas alam semesta, langit dan bumi. Manusia dipusakai dengan kecenderungan ke arah kebaikan maupun kejahatan. Kemajuan mereka dimulai dari kelemahan dan ketidakmampuan, yang kemudian bergerak ke arah kekuatan, tetapi itu tidak akan menghapuskan kegelisahan mereka, kecuali jika mereka dekat dengan Tuhan dan mengingat-Nya. Kapasitas mereka tidak terbatas, baik dalam kemampuan belajar baik dalam menerapkan ilmu. Mereka memiliki suatu keluhuran dan martabat naluriah. Motivasi dan pendorong mereka, dalam banyak hal, tidak bersifat kebendaan. Akhirnya, mereka dapat secara leluasa memanfaatkan rahmat dan karunia yang dilimpahkan kepada mereka, namun pada saat uyang sama, mereka harus menunaikan kewajiban mereka kepada Tuhan.
MANUSIA
Semua binatang bertindak sesuai dengan kesadaran naluriah dan kehendak. Manusia sebagai mahluk yang paling istimewa, yang pemahamannya tidak terbatas pada persepsi indrawi, dan kehendaknya tidak melulu menuruti naluri-naluri alamiah. Ia mempunyai daya persepsi lain yang di sebut dengan akal, dan kehendaknya bersuluh pada cahaya akal. Singkatnya, yang membedakan manusia adalah pola pandang dan kecendrungan kecenderungannya sendiri.
Jadi, bila manusia mengurung diri pada persepsi indrawi dan tidak memakai kemampuan akalnya, lantas gerakannya semata-mata menuruti naluri kebinatangannya , maka dalam kenyataannya ia tidak lebih dari binatang.
Oleh sebab itu, manusia sejati senantiasa menggunakan akalnya dalam menentukan semua sisi penting nasibnya. Dengan begitu, secara umum dia akan mengetahui cara hidup, dengsan begitu dengan penuh keseriusan melangkah kedepan; dari mana ?, sedang dimana? Akan kemana?.
Pada akhir tahun 70-an terjadi berbagai peristiwa yang mengenaskan. Di Vietnam, para prajurit Amerika yang berpendidikan modern, menyerbu sebuah kampong. Mereka menembak semua penduduknya; orangtua , anak anak, orang sakit, perempuan, tanpa rasa bersalah sedikitpun. Seorang anak dengan dingin menyiramkan bensin kepada korban dan menyakitikan setelah menerima uang komisi 500 dolar.
Prajurit-prajurit itu seperti manusia modern lainnya, adalah makhluk yang memunja aturan yang mekanis yang berperilaku seperti mesin yang berwujud robot, yaitu patuh pada otoritas, kepatuhan yang kaku, kering dari emosi, tidak spontan-siap melakukan perintah apa saja yang diperintahkan dan ditugaskan tanpa berpikir sama sekali.
Setelah menjadi robot, manusia modern berkembang menjadi zombie-bodoh tidak punya makna terbawa oleh epek dari kultur yang tekno-mekanis.
Zombie hidup dalam keadaan tidak sadar - perasaannya telah di tumpulkan TV, majalah, dan berbagai media yag bersifat materil - bentuk fisik semata. Menghipnotis. Menghabiskan waktu untuk nonton TV, membaca, menyaksikan informasi yang tidakbermutu, tidak bermakna, sehingga menghipnotis.
Manusia modern seperti itu-untuk kompensasi dalam menghibur kegelisahan jiwanya, dengan mengkonsumsi produk-produk (berupa barang dan jasa? Yang mewah, atau melakukan wisata ke tempat-tempat yang menyenangkan, atau melakukan berbagai macam permainan, atau meneggelamkan diri pada kenikmatan seksual yang bersifat semu. Ynag semuanya dilakukan nya tanpa sadar. Dengan sepenuhnya, ia tunduk pada rekayasa psikologis-dari para pedagang kesenangan.
Kepribadian robot dan zombie-tidak orisinal, tidak otentik, tidak sesuai dengan fitrahnya-pengobatan yang salah karena tidak mengkonsumsi spiritualnya (obat jiwanya yangs akit) sesuai dengan fitrahnya.
Karena robot-hanyalah pelaksanan dari perintah siapa saja yang memegang otoritas dengan zombie-anak baik yang mengikuti siapa saja yang membujuknya.
Keduanya-manusia yang terpisah (dualitas) terpisah dari kodratnya sebagai manusia-tidak mempunyai kodrat kemanusiaannya lagi. Berbuat untuk berpikir, kodrat untuk merasa, kodrat untuk menentukan tindakan berdasarkan kemaunnya sendiri (kebebasan memilih) wahadainahunajdain.
Terpisah-tidak mampu memahami dunia orang, atau peristiwa-secara aktif.
Sikapnya reaktif, emosional-dunia menyerbunya tanpa ada kemampuan bgi dirinya untuk memberikan reaksi.
Jiwa terpisah dualisme sekuler menjadi sumber kecemasan, asing, tanpa makna.
Adanya kerinduan untuk bergabung, bersatu, untuk berpadu-dengan mentransendensikan kehidupan individualnya-kembali pada fitrahnya-hidup dengan menyembah Tuhan (habluminallah dan habluminannas).
Manusia modern manusia yang sudah dengan alam, dengan Tuhan, dengan sesame manusia dan dengan dirinya.
Manusia beragama ada dalam kesadaran diri untuk bertuhan dengan aplikasi pada kehidupan sehari-hari.
Hidup bermakna? mencari? dari mana? sedang di mana? akan ke mana?
Dengan jalan menemukan sumber-sumber makna hidup dan merealisasikannya.
Makna hidup seseorang yang dipandang penting, dirasakan berharga, dan diyakini sebagai sesuatu yang benar serta dapat dijadikan tujuan hidupnya.
Bila telah menemukan makna hidup dan menetapkan tujuan hidup, kemudian direalisasikan, maka kehidupan akan dirasakan sangat berarti (meaningfull) yang pada gilirannya akan menimbulkan kebahagiaan (happines).
Kebahagiaan adalah konsekuensi dari keberhasilan seseorang memenuhi arti hidupnya.
Sebaliknya, seseorang yang tidak berhasil menemukan dan merealisasikan arti hidup akan enghayati hidupnya hampa dan tak bermakna (meaningless) yang biasanya merupakan gerbang kea rah penderitaan hampa dan tak bermakna (prustasi). Hampa tak bermakna, perbuatannya semata-mata karena orang lain pun melakukannya (spilit personality)-punya kepribadian terbelah mudah kena arus, tidak punya pendirian dan tujuan yang jelas, teromabang-ambing mudah terbawa arus situasi dan pantang ketinggalan mode. Gairah kerja akan menurun, pesimis padahal taraf ekonominya bagus.
Pribadi totaliter dia berbuat sesuatu dan orang lain harus juga berbuat seperti dirinya dan mentaatinya.
Hampa putus asa mengapa dilahirkan ke dunia ini? aku sama sekali tidak mengharapkannya? lebih senang bila tidak dilahirakan , atau sirna dari dunia ini dari pada menanggung derita beban hidup ini!.
Namun terhadap kematian sikapnya mendua. Ia sering berpikir bahwa, bunuh diri merupakan jalan keluar terbaik untuk lepas dari penghayatan tak bermakna, tetapi untuk benar-benar melakukan bunuh diri ia merasakan negeri dan tidak siap mati! Hidup segan, mati tak mau!
Kita patut menempatkan keduanya, komplementer bahwa pengetahuan yang dicapai melalui wahyu ilahi dan pengetahuan yang diabsahkan perasaan dan akal sebagai dua sayap untuk bisa terbang menuju kesejahteraan hidup lahir dan bathin.
Hidup makna manusia membutuhkan keduanya dalam proses mengairi bumi manusia, salah satu darinya seperti air yang emmancar dari inti bumi dan mata air dan yang lainnya sebagai air hujan yang turun melimpah dari langit.
Manusia akan mengalami fase berikutnya setelah fase di dunia ini dunia hanya sementara persinggahan tempat beramal untuk tujuan akhir yaitu hari epmbalasan.
Fitrah (QS. Ar Rum/30: 30).
Fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut fitrah tiu mengandung arti; keadaan yang dengan itu manusia diciptakan artinya, Allah telah menciptakan manusia dengan keadaan tertentu yang didalamnya terdapat kekhususan yang ditempatkan Allah dalam dirinya saat dia diciptakan dan keadaan itulah yang menjadi fitrahnya.
QS. Ar Rum/30: 30- yakni, makna agama atu yang berkaitan dengan agama dalam maknanya yakni:
- al Fitrah (QS. Ar Rum/30: 30).
- Ash Shibghah (QS. 2: 138)
- Al Hanif (QS. )
Shibghah Allah adalah pemberian warna agama dengan cara pencelupan yang dilakukan oleh Allah. Dan pemberian warna yang pertama kali dilakukan Allah terhadap manusia adalah pemberian warna agama. Ia merupakan warna ketuhanan yang diberikan oleh Allah saat manusia pertamakali diciptakan.
Hidup bermakna hidup beragama, tujuan hidup yang jelas dengan mencari petunjuk-petunjuk-Nya untuk dapat hidayah Nya. Iqrabismirabbikalladikholaq..dst
Catatan Kaki :
---------------------------------
[1] Al Munjid Fi Lugghat, Dar El-Masyrik, Libanon, 1997, h. 588
[2] Ahmad Warson Munawar, Kamus Arab Indonesia al Munawir, Pustaka Progresif, Surabaya, 1997, cet 14, h. 1062.
[3] Ibnu Manzur, Lisanul Arab, Jilid v, h. 3442 - 3435
[4] Al Raghib al Isfahani, Mujam Mufradat Li Alfazh al Quran, Dar al Fikri, Beirut, h. 396
[5] Murtadhaa Muthahhari, Fitrah, Penerjemah, H. Afif Muhammad, Lentera, Jakarta, 2001, cet. III, h. 7
[6] Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al Quran, Jakarta, Paramaadina, 1996, h.40
[7] Ibid
[8] Shahih Bukhari, Kitab tafsir Quran, Daar al Fikri, Beirut, 1994, Jilid III, h. 177-178
[9] Lihat Murtadha Muthahhari, Op. Cit. h. 8 10.
[10] Ibid, h. 12
[11] Dawam rahardjo, Op. Cit. h. 62
[12] Ibid, h. 63
[13] Murtadha Muthahhari, Op. cit., h.56
[14] Murtadha Muthahhari, Op. Cit., h. 51-52
[15] m. Quraish Shihab, Wawasan al Quran, bandung, Mizan, 1996, cet III, h. 385
---------------------------------
[1] Al Munjid Fi Lugghat, Dar El-Masyrik, Libanon, 1997, h. 588
[2] Ahmad Warson Munawar, Kamus Arab Indonesia al Munawir, Pustaka Progresif, Surabaya, 1997, cet 14, h. 1062.
[3] Ibnu Manzur, Lisanul Arab, Jilid v, h. 3442 - 3435
[4] Al Raghib al Isfahani, Mujam Mufradat Li Alfazh al Quran, Dar al Fikri, Beirut, h. 396
[5] Murtadhaa Muthahhari, Fitrah, Penerjemah, H. Afif Muhammad, Lentera, Jakarta, 2001, cet. III, h. 7
[6] Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al Quran, Jakarta, Paramaadina, 1996, h.40
[7] Ibid
[8] Shahih Bukhari, Kitab tafsir Quran, Daar al Fikri, Beirut, 1994, Jilid III, h. 177-178
[9] Lihat Murtadha Muthahhari, Op. Cit. h. 8 10.
[10] Ibid, h. 12
[11] Dawam rahardjo, Op. Cit. h. 62
[12] Ibid, h. 63
[13] Murtadha Muthahhari, Op. cit., h.56
[14] Murtadha Muthahhari, Op. Cit., h. 51-52
[15] m. Quraish Shihab, Wawasan al Quran, bandung, Mizan, 1996, cet III, h. 385
Post a Comment