Bagaimana Jika Bersumpah Demi Ayah Ibu, Demi Cinta, Demi Kamu, Dan Demi Yang Lainnya
HUKUM BERSUMPAH ATAS NAMA SELAIN ALLAH
Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum bersumpah atas nama selain Allah Subhanahu wa Ta’ala ? Padahal telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum bersumpah atas nama selain Allah Subhanahu wa Ta’ala ? Padahal telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda.
“Artinya : Sungguh, demi ayahnya ! telah beruntunglah dia, jika dia benar (sungguh-sungguh)” (Muslim dalam kitab Al-Iman 9-11)
Jawaban.
Sersumpah atas nama selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti mengatakan “Demi hidupmu”, “Demi hidupku”, “Demi Tuan Pimpinan”, atau “Demi Rakyat”, semua itu diharamkan bahkan termasuk syirik sebab jenis pengagungan seperti ini hanya boleh dilakukan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Barangsiapa yang mengagungkan selain Allah dengan suatu pengagungan yang tidak layak diberikan selain kepada Allah, maka dia telah menjadi musyrik. Akan tetapi manakala si orang yang bersumpah ini tidak meyakini keagungan sesuatu yang dijadikan sumpahnya tersebut sebagaimana keagungan Allah, maka dia tidak melakukan syirik besar tetapi syirik kecil. Jadi, barangsiapa yang bersumpah atas nama selain Allah, maka dia telah berbuat kesyirikan kecil.
Sersumpah atas nama selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti mengatakan “Demi hidupmu”, “Demi hidupku”, “Demi Tuan Pimpinan”, atau “Demi Rakyat”, semua itu diharamkan bahkan termasuk syirik sebab jenis pengagungan seperti ini hanya boleh dilakukan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Barangsiapa yang mengagungkan selain Allah dengan suatu pengagungan yang tidak layak diberikan selain kepada Allah, maka dia telah menjadi musyrik. Akan tetapi manakala si orang yang bersumpah ini tidak meyakini keagungan sesuatu yang dijadikan sumpahnya tersebut sebagaimana keagungan Allah, maka dia tidak melakukan syirik besar tetapi syirik kecil. Jadi, barangsiapa yang bersumpah atas nama selain Allah, maka dia telah berbuat kesyirikan kecil.
Dalam hal ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya Allah Azza wa
Jalla melarang kalian bersumpah atas nama nenek moyang kalian ;
barangsiapa yang ingin bersumpah, maka bersumpahlah atas nama Allah atau
lebih biak diam” (Al-Bukhari secara ringkas dalam kitab Manaqib
Al-Anshar 3836, Muslim di dalam kitab Al-Iman III : 1646)
Beliau juga bersabda.
“Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Allah, sungguh ia telah musyrik,” (HR Ahmad, Hadist Shahih).
Oleh karena itu, janganlah bersumpah atas
nama selain Allah, siapa dan apapun sesuatu yang dijadikan sumpah
tersebut sekalipun dia adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jibril
atau para Rasul lainnya, malaikat atau manusia. Demikian juga mereka
yang dibawah kedudukan para Rasul. Jadi, janganlah bersumpah atas nama
sesuatupun selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sedangkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Sungguh, demi ayahnya ! telah beruntunglah dia, jika dia benar (sungguh-sungguh)”
Kata ‘Demi Ayahnya’ tersebut masih
diperselisihkan oleh para Hafizh (Ulama yang banyak menghafal hadits).
Di antara mereka ada yang mengingkari lafazh semacam itu dan menyatakan,
“ Tidak shahih berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Berdasarkan statement ini, maka tema yang dipertanyakan tersebut tidak
jadi masalah lagi sebab suatu Mu’aridh (lafazh yang bertentangan
maknanya dengan lafazh yang lebih masyhur, pent) harus efektif (sehingga
dapat berlaku), sebab bila tidak demikian, maka dia tidak dapat
diberlakukan dan tidak ditoleh alias tidak dapat dijadikan acuan.
Akan tetapi berdasarkan statement bahwa
kalimat ‘Demi Ayahnya’ tersebut valid/jelas, maka jawaban atasnya adalah
bahwa ini termasuk Musykil (sesuatu yang rumit) sementara masalah
bersumpah atas nama selain Allah termasuk Muhkam (sesuatu yang
valid/jelas) sehingga kita memiliki dua hal ; Muhkam dan Mutasyabih
(yang masih samar). Dan cara yang ditempuh oleh para ulama yang mumpuni
keilmuannya dalam hal ini adalah dengan meninggalkan yang Mutasyabih
tersebut dan mengambil yang Muhkam. Hal ini senada dengan firmanNya.
“Artinya : Dialah yang menurunkan
Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang
muhkamat itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada
kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mustasyabihat
untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal
tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang
yang mendalam ilmunya berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami” (Ali-Imran : 7)
Dan sisi kenapa ia dikatakan sebagai
Mutasyabih, karena di dalamnya terdapat banyak sekali
kemungkinan-kemungkinan ; bisa jadi, hadits tersebut ada sebelum
datangnya larangan tentang hal itu. Bisa jadi juga, ia khusus bagi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja (di dalam mengungkapkan
lafazh seperti itu, -pent) karena beliau sangat jauh dari melakukan
kesyirikan. Bisa jadi pula, ia hanya merupakan sesuatu yang terbiasa
diucapkan lisan tanpa maksud sebenarnya. Nah, manakala terdapat
kemungkinan-kemungkinan semacam ini terhadap dimuatnya kalimat tersebut
–jika ia memang shahih berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam-, maka menjadi kewajiban kita untuk mengambil sesuatu yang sudah
Muhkam, yaitu larangan bersumpah atas nama selain Allah.
Akan tetapi terkadang ada sebagian orang
yang mempertanyakan, “Sesungguhnya bersumpah atas nama selain Allah
telah terbiasa diucapkan lisan dan sangat sulit untuk meninggalkannya”
Apa jawabanya ?
Kita katakan, sesungguhnya itu bukanlah
suatu hujjah akan tetapi seharusnya berjuanglah melawan diri anda untuk
meninggalkan dan keluar dari kebiasaan tersebut.
Saya ingat dulu pernah melarang seorang
laki-laki mengatakan ‘Demi Nabi’. Ketika itu dia mengucapkan sesuatu
kepadaku sembari berkata, “Demi Nabi, aku tidak akan mengulanginya”. Dia
mengucapkan ini hanya untuk menguatkan bahwa dia tidak akan
melakukannya lagi akan tetapi terbiasa diucapkan lisannya. Maka kami
katakana “Berusahalah semampumu untuk menghapus ucapan seperti itu dari
lisanmu sebab ia adalah perbuatan syirik sedangkan perbuatan syirik amat
besar bahayanya sekalipun kecil”. Dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah bahkan pernah berkata, “Sesungguhnya kesyirikan tidak akan
diampuni Allah sekalipun kecil”.
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata,
“Sungguh, bahwa aku bersumpah atas nama Allah dalam kondisi berdusta
adalah lebih aku sukai daripada aku bersumpah atas nama selainNya dalam
kondisi jujur”
Syaikhul Islam mengomentari, “Hal itu, karena keburukan perbuatan syirik lebih besar (akibatnya) ketimbang keburukan besar”
Fatawa Syaikh Al-Utsaimin, Jld I
Disalin dari buku Al-Fatawa
Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad
Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa
Terkini, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq
sumber : http://www.almanhaj.or.id
Post a Comment